Mentari telah tenggelam di ufuk barat sejak sejam yang lalu. Gelap menyelimuti bentala, disertai kabut tipis dan hembusan semilir angin, dingin menusuk tulang.
Bualan malam ditengahi tawa yang tertahan, lumayan menghangatkan suasana. Seorang teman melempar canda di atas meja. Ia menertawakan nestapa baru-baru ini yang melandanya. Beruntun seperti takada habisnya.
Kusulut sebatang rokok, dia melanjutkan sebatang lain berikutnya. Kami bertukar tawa meskipun tertahan, beban derita terasa berat menderanya.
Dia memesan dua gelas kopi hitam, pahit. Aroma kopi menguar, bercampur asap tipis rokok kretek yang menari ditiup angin malam. Bualan lamat-lamat mengalir tersendat, segan sepucat sinar rembulan.
Dia menatap lekat ke pekat kopi hitam, yang kini hanya tersisa setengah gelas. Aku menatap bulan setengah, yang pucat terhalang kabut.
Remang malam sungguh cocok untuk menyamarkan suasana. Mungkin saja dia menangis, walaupun samar kulihat seperti tertawa. Dia aku terdiam.
Kopi hampir tandas, bulan setengah hampir tertutup sepenuhnya. Takjelas kapan kami akan beranjak pergi. Kami hanya bertukar ujar, gelas kosong dan abu rokok besok pagi saja dibereskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H