Perhiasannya terdiri dari sepasang gelang tangan, sepasang gelang kaki, bura (kalung) dan gendit (ikat pinggang), serta perembah (kain gendongan).
Ada yang unik terkait dengan kalung (bura, bahasa Karo) yang terbuat dari bahan perak dalam tradisi ini.Â
Liontin (mainan kalung) berupa sekeping koin perak dari mata uang Gulden. Tidak jelas sebabnya, mengapa mata uang Gulden yang dipakai sebagai bagian perhiasan dalam Ngelegi Bayang-bayang ini.
Bila bahan untuk kalung dan untuk sepasang gelang kaki terbuat dari perak, maka bahan gelang untuk tangan terbuat dari bahan suasa. Namun, tidak terbatas pada bahan-bahan itu, bagi pihak keluarga yang mampu, bisa saja membuat perhiasan dari bahan emas murni.
Lalu bagaimana dengan anak kedua, ketiga, dan seterusnya? Maka cukup perhiasan yang dari anak sulung itu saja yang dipakaikan oleh orangtua si anak kepada adik-adiknya.
2. Makna dan Manfaat
Bayang-bayang (perhiasan) dan perembah (kain gendongan) yang diberikan kepada anak sulung bisa dikatakan merupakan utang, tanggung jawab, atau kewajiban dari kalimbubu (pihak pemberi istri atau orangtua dari ibu si bayi) kepada keluarga anak perempuan dan menantunya.
Dikatakan sebagai utang, tanggung jawab, atau kewajiban orangtua ibu si bayi, hal ini sehubungan dengan tangung jawab yang melekat saat orangtua dari ibu si bayi menerima mahar atau yang disebut "batang unjuken," pada saat pesta adat perkawinan anak perempuanya.
Secara rohani, bayang-bayang itu bisa dimaknai sebagai tanda ungkapan syukur atas kelahiran anak sulung khususnya, dan anak secara umum. Ada unsur rasa bangga sebagai orangtua juga dalam pemaknaan itu.
Selain itu, ada juga manfaat praktis dari sepasang gelang kaki yang dipakaikan ke anak sulung yang dilengkapi dengan lonceng kecil, yang disebut juga kerding-kerding.Â
Bunyi lonceng-lonceng kecil pada sepasang gelang kaki itu bermanfaat untuk memberikan keyakinan hati kepada orangtua si anak, apabila si anak dibawa bepergian mengunjungi handai taulan/ kerabat, sehubungan dengan bunyi lonceng-lonceng kecil di kakinya.