Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat dari Dekat Sisi Lain Keunikan Rumah Adat Karo di Desa Dokan

2 Maret 2021   01:51 Diperbarui: 2 Maret 2021   17:23 2642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Denah rumah adat Karo, STUDI TATA RUANG RUMAH ADAT "SIWALUH JABU" DESA LINGGA|Sumber: Modifikasi B.A Simanjuntak

Desa Dokan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, adalah salah satu desa di mana masih berdiri rumah adat Karo. Jumlahnya sebelumnya ada 5 unit. Namun, salah satu di antaranya, telah dipindahkan ke Berastagi.

Nama rumah yang dipindahkan itu adalah Rumah Gugung. Pemindahan ini, termasuk bagian dari inisiasi Pastor Leo Joosten Ginting, yang telah banyak berkiprah dalam rangka pelestarian kekayaan budaya Karo.

Pastor Leo Joosten meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021 pukul 02.28 WIB dalam usia 79 tahun. 

Ia dikebumikan pada Selasa, 2 Maret 2021 di Pemakaman Kapusin Sinaksak, kota Pematang Siantar.

Mengenai kisah inspiratif dan karya Pastor Leo Joosten Ginting dapat dibaca di "Mengenali dan Mencintai Budaya Sendiri Melalui Sosok Pater Leo Ginting."

Dengan demikian, rumah adat Karo yang tersisa di Desa Dokan seluruhnya tinggal 4 unit. Masing-masing rumah adat itu memiliki nama, yakni Rumah Mbelin, Rumah Ketek, Rumah Sendi, Rumah Tengah, dan Rumah Mbaru.

Berdasarkan jumlah keluarga yang mendiami rumah adat itu, tiga rumah adat, selain Rumah Ketek, dihuni oleh delapan kepala keluarga, sehingga disebut Rumah si Waluh Jabu. Sedangkan, Rumah Ketek hanya dapat dihuni oleh empat kepala keluarga.

Pada hari Senin,1 Maret 2021, kami diberi kesempatan memasuki bagian dalam Rumah Mbelin. Sama dengan namanya, mbelin berarti besar. 

Pada salah satu bagian khusus dalam rumah adat ini dihuni oleh pembesar desa, yang disebut pengulu Dokan yang bermarga Ginting Munte.

Rumah Mbelin, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)
Rumah Mbelin, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)
Kami cukup beruntung, sebab kunjungan kali ini dibarengi penjelasan oleh dua orang pemudi yang merupakan warga desa Dokan. 

Mereka bersama keluarganya menempati rumah adat yang merupakan salah satu simbol kebanggaan orang Karo ini.

Fani br Barus, seorang mahasiswi yang kuliah pada jurusan agro teknologi Universitas Lampung. Temannya yang satu lagi bernama Anggita Florensia br Sitepu. Dia masih duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Pertama Tigapanah, Kabupaten Karo.

Penjelasan dari Fani Br Barus, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)
Penjelasan dari Fani Br Barus, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)
Hari ini mereka belajar dari rumah, sehubungan dengan kebijakan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi yang belum berubah. 

Demi menyambut salam khas Karo, "Mejuah-juah" yang kami ucapkan saat menaiki anak tangga menuju teras rumah yang disebut "ture". Fani menutup notebook yang mungkin baru saja digunakannya untuk mengerjakan tugas kuliah secara luring. Dia membalas salam kami dengan mengucapkan, "Mejuah-juah."

Kami menunduk masuk ke dalam melalui pintu rumah yang memang dibiarkan terbuka lebar. Penutup pintu ini adalah dua buah daun pintu dari kayu yang cukup tebal. 

Untuk bisa melewati pintu, kita harus menginjak semacam tatakan kayu tebal yang disebut danggulen.

Tampilan daun pintu rumah adat Karo sebelah dalam, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)
Tampilan daun pintu rumah adat Karo sebelah dalam, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)

Danggulen, pijakan untuk bisa memasuki pintu rumah adat Karo, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)
Danggulen, pijakan untuk bisa memasuki pintu rumah adat Karo, Dokan, 1/3/2021 (Dokumentasi pribadi)
Berikut ini adalah beberapa hal unik tentang rumah adat Karo yang kami dapatkan saat mewawancarai kedua narasumber kita yang sangat ramah dan komunikatif ini. Mari kita simak satu persatu....

1. Hubungan antara Penghuni Rumah dengan Beberapa Bagian Rumah Adat yang Mulai Hilang
Tidak semua rumah adat di desa ini terawat dengan baik. Sebabnya bukan semata karena sikap tidak peduli masyarakat desa. 

Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, cara hidup yang lebih "praktis" membuat warga desa memilih tidak tinggal di rumah adat.

Keharusan untuk bolak-balik mengambil air dari kamar mandi umum untuk keperluan memasak saja mungkin sudah menjadi perkara yang terlalu boros waktu pada saat ini. 

Struktur dan denah bagian dalam bangunan yang berasal dari zaman purba ini, mungkin tidak cocok untuk kamar mandi, baik pribadi maupun komunal, ada di dalam rumah.

Akibat beberapa rumah yang tidak lagi penuh ditempati, maka beberapa bagian interior rumah adat sudah tidak utuh lagi, bahkan ada yang sudah mulai lapuk. 

Asap yang dihasilkan dari proses aktivitas menggunakan api di dalam rumah, berperan besar dalam menjaga daya tahan bahan-bahan bangunan dari rumah yang berdiri tegak tanpa menggunakan sebuah paku pun pada setiap bagiannya.

Fungsi paku digantikan oleh pasak dari kayu pada rumah ini. Namun, arsitektur indah ini secara ajaib tampil dalam detail bangunan, mulai dari kaki-kakinya, lantai, dinding, pintu, jendela, atap, bagian interior, dengan berbagai ukiran dan pahatan yang indah dan penuh makna.

Contoh bagian rumah adat yang menggunakan pasak (Dokumentasi pribadi)
Contoh bagian rumah adat yang menggunakan pasak (Dokumentasi pribadi)
Kaki-kaki rumah adat Karo yang dirangkai dengan sistem pasak (Dokumentasi pribadi)
Kaki-kaki rumah adat Karo yang dirangkai dengan sistem pasak (Dokumentasi pribadi)
Pada Rumah Mbaru, misalnya. Fani menjelaskan bahwa tidak ada lagi dijumpai para di sana. Itu adalah bagian tempat penyimpanan multi fungsi yang posisinya berada di atas tungku dapur. 

Sementara itu, Anggi menjelaskan bahwa setiap tingkatan para mempunyai fungsi tersendiri. Secara berurutan mulai dari tingkat paling bawah, adalah para kitik, yang berfungsi untuk penyimpanan padi yang akan dijadikan benih.

Tingkatan selanjutnya adalah para tuhur, sebagai tempat menyimpan ranting-ranting kayu bakar yang akan digunakan untuk memasak. 

Kemudian, para ganjang, yang digunakan sebagai tempat meyimpan ranting-ranting kayu bakar yang ukurannya lebih besar.

Rumah Tengah (Dokumentasi pribadi)
Rumah Tengah (Dokumentasi pribadi)
Lain lagi halnya dengan Rumah Tengah. Menurut Fani, pada rumah itu tinggal satu keluarga saja yang memasak menggunakan dalikan, yakni tungku atau dapur untuk memasak dengan menggunakan kayu bakar. Keluarga lainnya yang menempati rumah itu sudah menggunakan kompor gas.

Rumah Tengah (Dokumentasi pribadi)
Rumah Tengah (Dokumentasi pribadi)
2. Ada Alat Penghasil Garam di Rumah Mbelin
Menurut Fani, ada satu lagi ciri khas yang hanya dimiliki oleh Rumah Mbelin yang ditempati oleh pengulu Dokan. 

Di rumah ini ada semacam perkakas kuno, berupa kudin, atau bisa dikatakan periuk atau kendi, yang dapat menghasilkan garam. 

Namanya Sira Sendawa, tapi bentuk garamnya bukan berupa kristal-kristal, melainkan berbentuk agak memanjang menyerupai stalagmit atau stalagtit.

Tempat penyimpanan Sira Sendawa ini ada dua, satu disebut Kudin Dilaki (pria), dan yang satu lagi disebut Kudin Diberu (wanita). 

Kudin Dilaki ditempatkan pada bagian atas, sedangkan Kudin Diberu ditempatkan di bawahnya.

Mereka pernah diberi tahu, bahwa  Kudin Diberu itu adalah jelmaan seorang wanita beru Pakkar atau Sembiring. Maksudnya, wanita dari klan atau marga Sembiring.

Sira Sendawa ini ditempatkan pada bagian tengah atas bubungan atap rumah adat. Tempatnya cukup tinggi, sehingga hanya bisa dijangkau dengan menggunakan tangga.

Tangganya berupa sebatang bambu dengan takik-takik atau lubang-lubang pada setiap ruasnya yang berfungsi sebagai anak tangga. Mirip dengan tangga untuk memanjat pohon nira yang akan diambil airnya.

Anak tannga menuju Sira Sendawa (Dokumentasi pribadi)
Anak tannga menuju Sira Sendawa (Dokumentasi pribadi)
Ada yang unik terkait Sira Sendawa ini. Kalau wadah penghasil garam itu akan diturunkan, maka warga satu kampung harus diberi makan. Baik satu saja, atau keduanya yang akan diturunkan.

Hanya bedanya, bila Kudin Diberu yang diturunkan, maka warga kampung harus diberi makan selama sehari. Sedangkan, bila Kudin Dilaki yang diturunkan maka warga satu kampung harus diberi makan dan diadakan pesta 7 hari 7 malam.

Tidak dijelaskan dalam acara apa saja biasanya Sira Sendawa ini diturunkan. Namun, menurut mereka terakhir kali diturunkan pada perhelatan Dokan Art Festival yang ketiga pada 11 Mei 2017.

Biaya untuk melakukan pesta dan jamuan makan saat menurunkan Sira Sendawa ini kata mereka bisa saja berasal dari donatur, atau hasil gotong royong warga desa. 

Namun, haruslah dengan persetujuan tetua adat, dan tentu saja pengulu Dokan bermarga Ginting Munte, yang merupakan pihak terhormat di rumah adat si waluh jabu itu.

3. Cara Unik Sekaligus Berbahaya Untuk Bersalin di Rumah Adat Karo
Pada masa lalu, seorang ibu yang melahirkan pada suku Karo sungguh adalah sebuah perkara yang jauh lebih berbahaya dibandingkan masa kini. 

Sang ibu akan didudukkan pada semacam tatakan kayu tebal yang disebut danggulen, yang ada di depan pintu rumah yang ditutupi sedemikian rupa.

Untuk membantu sang ibu mengeluarkan jabang bayi dari rahimnya saat kontraksi, ibu itu akan berpegangan pada "bendi-bendi".

Itu adalah semacam pegangan berukir yang ada di sisi kanan dan kiri pintu rumah adat. Berfungsi juga sebagai pegangan saat kita hendak memasuki rumah sambil menunduk.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Saat kita harus menunduk apabila masuk ke rumah adat Karo, bagiku membawa sebuah bayangan tafsir, bahwa hal itu mungkin ada kaitannya dengan peristiwa pertaruhan hidup mati yang terjadi di depan pintu ini. 

Ketika seorang ibu bertaruh nyawa untuk melahirkan buah hatinya di danggulen rumah adat. Untuk tambahan informasi, bahwa tali pusat atau ari-ari si bayi yang lahir pada masa lalu itu, akan dipotong dengan sembilu yang diambil dari pegangan tangga bambu yang biasa di tempatkan di atas para rumah adat.

(Dokpri)Bagian tangga bambu yang diambil sembilunya untuk proses persalinan pada masa lalu (Dokumentasi pribadi)
(Dokpri)Bagian tangga bambu yang diambil sembilunya untuk proses persalinan pada masa lalu (Dokumentasi pribadi)

Orang harus menunduk saat masuk lewat pintu rumah. Manusia perlu menghormati nyawanya dan nyawa ibu yang melahirkannya

Sebab barang siapa pongah dan jemawa, saat masuk rumah tanpa sikap hormat menunduk, dipastikan jidatnya akan benjol. Bagian ini adalah refleksi pribadi saya atas cerita unik yang tampak cukup mengenaskan ini.

4. Cerita Unik tentang Hubungan Keluarga dan Struktur Denah Rumah Adat Si Waluh Jabu
Anggi yang masih duduk di bangku kelas 3 SMP itu menjelaskan dengan sangat baik nilai filosofis yang dibangun terkait rumah tangga dan hubungannya dengan rumah adat yang unik ini. 

Sudah umum di kalangan suku mana saja, bahwa orang yang sudah berumah tangga akan tinggal terpisah dengan orang tuanya. Pada suku Karo hal itu disebut dengan njayo.

Mungkin mendapatkan pengajaran dari orang tuanya, Anggi mengingat sebuah pesan mulia yang katanya begini, "Si mbaru erjabu, njayo ku rumah adat, gelah eradat." Maksudnya, orang yang baru berumah tangga perlu tinggal di rumah adat, agar mengetahui apa itu adat.

Maksud dalam penjelasan Anggi ini adalah bahwa setiap rumah tangga atau keluarga yang tinggal di rumah adat, akan belajar tentang arti hidup rukun dan harus mampu bertenggang rasa. Hal ini tidak terlepas dari makna struktur dan denah bagian dalam rumah adat ini.

Tidak ada sekat atau pembatas terlihat yang memisahkan setiap keluarga yang menempati rumah adat. Pembatasnya hanyalah aturan adat yang tidak terlihat, tapi bermakna dan terasa.

Denah rumah adat Karo, STUDI TATA RUANG RUMAH ADAT
Denah rumah adat Karo, STUDI TATA RUANG RUMAH ADAT "SIWALUH JABU" DESA LINGGA|Sumber: Modifikasi B.A Simanjuntak

Mereka yang menempati rumah adat si waluh jabu, dalam artian delapan keluarga itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bagian paling ujung rumah sebelah hulu disebut jabu bena kayu. Ditempati oleh pemimpin yang memberi keputusan atas segala permasalahan yang ada di rumah adat. Pada Rumah Mbelinditempati oleh pengulu Dokan, bermarga Ginting Munte.

2. Bagian paling ujung rumah sebelah hilir disebut jabu ujung kayu. Ditempati oleh anak beru (yang mempersunting anak perempuan dari pihak jabu bena kayu). Tugas penghuni jabu ujung kayu adalah menyampaikan masukan dan membantu semua penghuni lainnya.

3. Penghuni rumah yang berseberangan bilik dengan jabu bena kayu disebut jabu lepar bena kayu. Batas bilik mereka adalah balok kayu besar (papan tonggal) yang melintang persis sepanjang bagian tengah bangunan dan berfungsi sebagai tempat berjalan, yang disebut labah.Jabu lepar bena kayu ditempati oleh saudara penghuni jabu bena kayu. Tugasnya adalah menyampaikan berita yang didapat dari luar rumah.

4. Penghuni rumah yang berseberangan bilik dengan jabu ujung kayu disebut jabu lepar ujung kayu, yang dihuni oleh kalimbubu (pihak keluarga dari istri atau keluarga dari ibu, dan berhak mendapatkan penghormatan). Bilik mereka pun terpisah oleh labah.

5. Penghuni rumah yang tungkunya berhadap-hadapan dalam satu dapur dengan jabu bena kayu disebut jabu sedapuren bena kayu. Tugasnya adalah mendengarkan segala pembicaraan dan keputusan dalam musyawarah di dalam rumah adat.

6. Penghuni rumah yang tungkunya berhadap-hadapan dalam satu dapur dengan jabu ujung kayu disebut jabu sedapuren ujung kayu. Ditempati oleh saudara kalimbubu jabu bena kayu. Dia dianggap sebagai pemberi ketenteraman kepada seluruh penghuni rumah.

7. Penghuni rumah yang tungkunya berhadap-hadapan dalam satu dapur dengan jabu lepar bena kayu disebut jabu sedapuren lepar bena kayu. Dia bertindak sebagai dukun yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan ritual adat dan kepercayaan.

8. Penghuni rumah yang tungkunya berhadap-hadapan dalam satu dapur dengan jabu lepar ujung kayu disebut jabu sedapuren lepar ujung kayu. Tugasnya adalah membantu penghuni jabu bena kayu untuk menjamu tamu

Denah rumah adat Karo(Sumber: blogpictures.99.co)
Denah rumah adat Karo(Sumber: blogpictures.99.co)

Apa yang kemudian menarik sehubungan dengan sususan ini, antara lain diungkapkan oleh Anggi sebagai berikut:

1. Kalau masak lauk atau makanan enak, misalnya memasak ayam, maka para pihak keluarga (jabu) yang biliknya saling berhadapan atau berseberangan, atau tungkunya saling berhadap-hadapan dalam satu dapur, harus saling berbagi masakan atau makanan enak mereka.

Dengan demikian, 4 keluarga yang letak biliknya ada di tengah adalah pihak yang paling banyak berbagi, yakni dengan 3 keluarga lainnya. Sementara itu, 4 keluarga yang masing-masing menempati keempat sudut rumah, hanya akan berbagi dengan 2 keluarga lainnya. Hmmm, unik ya.

Ketika saya bertanya, apa yang akan terjadi ketika keluarga ini tidak berbagi sesuai dengan susunan struktur dan denah rumah itu. Anggi menjawab sambil tersipu, "Tidak akan terjadi apa-apa, tapi itu tidak bagus, karena setiap orang akan diam-diaman."

2. Susunan rumah yang tanpa sekat fisik, melainkan hanya sekat adat itu membuat suami istri susah untuk bertengkar atau cek-cok. Maka, ada nasihat bagi suami istri yang menempati rumah adat, sebagaimana dijelaskan Anggi. Katanya, "Kalau mau bertengkar, bertengkarlah di ladang, atau bisik-bisik saja di bilik kalian."

Apabila ada pertengkaran di rumah adat, dan salah satu (suami atau istri) hendak pergi (melewati labah), maka pasangan yang bertengkar itu harus "membayar hutang" kepada seisi rumah. Bisa berupa "mentraktir makan" atau "membeli garam."

Kelihatannya sepele, tapi pada masa lalu memang susah mendapatkan garam. Lihat saja biaya yang harus dikeluarkan bila ingin menurunkan Sira Sendawa, sumber garam di Rumah Mbelin itu, harus memberi makan orang sekampung. Lagi pula, tampaknya itu adalah bentuk kearifan lokal nenek moyang suku Karo untuk mendidik suami istri dalam rumah tangga agar senantiasa berusaha akur dan harmonis.

Demikin dulu ceritanya. Mohon maaf bila terasa melelahkan dan cukup panjang. Sebab selalu akan tampak tidak akan cukup ruang untuk menjelaskan sejuta keunikan dalam sebuah kesempatan singkat, tentang sebuah maha karya, yang keberadaan dan kelangsungannya mungkin sudah, sedang, dan akan senantiasa terancam. Mejuah-juah.

(Dokpri)
(Dokpri)

Rujukan:

STUDI TATA RUANG RUMAH ADAT "SIWALUH JABU" DESA LINGGA

Erwin Ardianto Halim, Tessa Eka Darmayanti, Citra Amelia. 2017. Kajian Elemen Estetis Pada Rumah Adat Karo. Universitas Kristen Maranatha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun