Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat dari Dekat Sisi Lain Keunikan Rumah Adat Karo di Desa Dokan

2 Maret 2021   01:51 Diperbarui: 2 Maret 2021   17:23 2642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kaki-kaki rumah adat Karo yang dirangkai dengan sistem pasak (Dokumentasi pribadi)

8. Penghuni rumah yang tungkunya berhadap-hadapan dalam satu dapur dengan jabu lepar ujung kayu disebut jabu sedapuren lepar ujung kayu. Tugasnya adalah membantu penghuni jabu bena kayu untuk menjamu tamu

Denah rumah adat Karo(Sumber: blogpictures.99.co)
Denah rumah adat Karo(Sumber: blogpictures.99.co)

Apa yang kemudian menarik sehubungan dengan sususan ini, antara lain diungkapkan oleh Anggi sebagai berikut:

1. Kalau masak lauk atau makanan enak, misalnya memasak ayam, maka para pihak keluarga (jabu) yang biliknya saling berhadapan atau berseberangan, atau tungkunya saling berhadap-hadapan dalam satu dapur, harus saling berbagi masakan atau makanan enak mereka.

Dengan demikian, 4 keluarga yang letak biliknya ada di tengah adalah pihak yang paling banyak berbagi, yakni dengan 3 keluarga lainnya. Sementara itu, 4 keluarga yang masing-masing menempati keempat sudut rumah, hanya akan berbagi dengan 2 keluarga lainnya. Hmmm, unik ya.

Ketika saya bertanya, apa yang akan terjadi ketika keluarga ini tidak berbagi sesuai dengan susunan struktur dan denah rumah itu. Anggi menjawab sambil tersipu, "Tidak akan terjadi apa-apa, tapi itu tidak bagus, karena setiap orang akan diam-diaman."

2. Susunan rumah yang tanpa sekat fisik, melainkan hanya sekat adat itu membuat suami istri susah untuk bertengkar atau cek-cok. Maka, ada nasihat bagi suami istri yang menempati rumah adat, sebagaimana dijelaskan Anggi. Katanya, "Kalau mau bertengkar, bertengkarlah di ladang, atau bisik-bisik saja di bilik kalian."

Apabila ada pertengkaran di rumah adat, dan salah satu (suami atau istri) hendak pergi (melewati labah), maka pasangan yang bertengkar itu harus "membayar hutang" kepada seisi rumah. Bisa berupa "mentraktir makan" atau "membeli garam."

Kelihatannya sepele, tapi pada masa lalu memang susah mendapatkan garam. Lihat saja biaya yang harus dikeluarkan bila ingin menurunkan Sira Sendawa, sumber garam di Rumah Mbelin itu, harus memberi makan orang sekampung. Lagi pula, tampaknya itu adalah bentuk kearifan lokal nenek moyang suku Karo untuk mendidik suami istri dalam rumah tangga agar senantiasa berusaha akur dan harmonis.

Demikin dulu ceritanya. Mohon maaf bila terasa melelahkan dan cukup panjang. Sebab selalu akan tampak tidak akan cukup ruang untuk menjelaskan sejuta keunikan dalam sebuah kesempatan singkat, tentang sebuah maha karya, yang keberadaan dan kelangsungannya mungkin sudah, sedang, dan akan senantiasa terancam. Mejuah-juah.

(Dokpri)
(Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun