Umumnya mereka berasal dan tinggal berpencar di berbagai desa di Tanah Karo. Mereka saling menghubungi bila ada pihak yang mengundang dan membutuhkan iringan alat musik tradisional pada suatu upacara adat.
Ada fakta lainnya yang tidak kurang mencemaskan terkait eksistensi alat musik tradisional Karo ini. Mereka yang memainkan gendang telu sendalanen, lima sada perarihen yang umum disebut penggual ini, hampir sudah tidak pernah diundang pada pelaksanaan upacara adat pesta pernikahan (suka cita).
Bahkan menurut pak Deking, sejak tahun 2015, yang menggunakan pemakaian alat musik tradisional ini pada upacara adat kematian (duka cita) pun hanya tersisa sekitar 5% saja.
Fakta mencemaskan ini jelas merupakan gambaran kurangnya rasa memiliki dari masyarakat Karo sendiri terhadap gendang Karo, yang sebenarnya adalah salah satu warisan kekayaan budayanya.
Berawal dari fenomena yang semakin menjadi-jadi, terutama sejak sekitar tahun 2000-an, ketika teknologi tampaknya semakin mengambil alih peran segala sesuatu yang tradisional, termasuk dalam hal musik.
Untuk mengiringi upacara-upacara adat, masyarakat Karo umumnya tidak lagi memakai gendang tradisional Karo, melainkan "gendang Jepang." Itu adalah semacam ungkapan peyoratif dari masyarakat Karo sendiri untuk menyebuat alat musik elektronik seperti keyboard made in Japan, yang telah diprogram dengan berbagai variasi style musik, termasuk musik instrumen tradisional Karo. Musik dalam semua acara adat dan sebagainya nyaris digantikan oleh organ tunggal yang disebut kibod itu.
Manurut pak Deking, sampai sejauh ini tidak ada program khusus, entah dari mana saja, sebagai upaya untuk melestarikan alat musik tradisional ini. Selain dari orang-orang yang masih memiliki rasa ketertarikan, tapi sifatnya pribadi, untuk mempelajarinya secara mandiri.
Ia mencemaskan (kecemasan yang sebenarnya sudah berlangsung lama), "Entah sampai berapa tahun lagi keahlian dan kearifan lokal dalam musik tradisional yang merupakan salah satu kekayaan budaya Karo yang luhur itu akan mampu bertahan?" Barangkali begini jugalah gambaran suatu spesies kritis yang berada di ambang kepunahan.
Kecemasannya itu seakan mengoyak perasaan saya, tatkala air mata berderai dalam alunan sarune yang mendayu-dayu lirih. Mengiringi tarian dalam upacara adat kematian salah seorang kerabat kami pada hari itu. Alunan musiknya yang memilukan dan menyayat hati, seolah mewakili kecemasan akan masa depan dan kelangsungan hidup musik tradisional Karo ini.
Harapannya, harapan saya, dan juga barangkali harapan siapa saja yang peduli, agar dilakukan suatu upaya, entah lewat seminar atau pertemuan, atau apa saja, yang bisa mempertemukan para pemangku kepentingan, tokoh adat, tokoh agama, atau siapa saja, untuk menjawab suatu tanda tanya "Mau dibawa ke mana masa depan alat musik tradisional Karo yang mengalunkan musik kehidupan dengan pilu itu?"
Untuk bisa ikut menangkap rasa di dalamnya, berikut ini saya sertakan sebuah utas ke cuplikan alunan musik tradisional Karo, "Gendang 3 Sendalanen, 5 Seperarihen" pengiring upacara adat kematian pada suku Karo (23/02/2021). Dibawakan oleh Dekeng Sinulaki, dkk.