Setelah membeli sekarung beras pada suatu siang yang terik di sebuah kilang penggilingan padi pada Selasa (9/2/2021) lalu, istri saya minta diantarkan untuk membeli beberapa buah pot plastik di pasar Kabanjahe, Tanah Karo. Saya memarkir kendaraan, dan menunggunya berbelanja di depan emperan sebuah ruko kosong.
Tidak jauh dari tempat parkir itu, ada sebuah pemandangan yang menarik perhatian saya. Dua orang nenek lanjut usia dan seorang anak muda, yang kemungkinan adalah cucu dari salah satu nenek itu, sedang menghitung lembar-lembar nyiru.
Nyiru atau ndiru dalam bahasa Karo itu, terbuat dari anyaman bambu. Tulang tepinya terbuat dari batang rotan yang dililit dengan anyaman. Meskipun di kampung ibu, tempat saya dibesarkan, banyak sekali kerajinan anyaman bambu, saya tidak pernah sekalipun melihat ada orang yang menganyam nyiru.
Anyaman bambu yang banyak dikerjakan di kampung ibuku antara lain keranjang untuk tomat dan jeruk, kandang ayam yang disebut sunun, dan tempat ayam bertelur yang disebut sagak. Demi memuaskan rasa penasaranku, aku pun mendekat ke tiga orang yang rupanya sedang melakukan transaksi itu.
"Mau apa kam, Pa?" tanya salah satu nenek itu.
Sudah biasa, kalau di kalangan suku Batak umumnya, termasuk juga pada orang Karo, laki-laki dipanggil "bapa" oleh orang yang lebih tua, apakah laki-laki atau perempuan. Selain untuk menunjukkan keakraban dan sapaan sopan, dari yang aku ketahui, dalam hubungan keluarga sebutan itu bisa juga berarti menunjukkan rasa kasih, rasa sayang orang tua kepada laki-laki yang lebih muda.
Dari dialeknya, aku menyadari kalau nenek ini bukan orang Karo. "Nggak apa-apa, Pung. Aku cuma mau ambil foto," jawabku kepada nenek yang kemudian aku panggil oppung itu.
Ternyata benar, setelah kami bercakap-cakap sebentar, nenek yang dipanggil dengan sebutan oppung Fery ini adalah boru Purba. Dia dari suku Simalungun.
Dari oppung Fery aku mendapatkan informasi bahwa nyiru-nyiru itu berasal dari Pangururan, sebuah kecamatan di Kabupaten Samosir. Letaknya di tengah dan dikelilingi Danau Toba.
Bagus, pikirku. Hari ini aku mendapatkan pengalaman menarik. Oleh karena kebutuhan akan bahan makanan dan berbagai barang perkakas sehari-hari, aku telah bertemu dengan beras dari Tapanuli Utara, nenek penjual nyiru dari Simalungun, dan nyirunya yang berasal dari Pangururan, dalam satu hari di satu kota kecil bernama Kabanjahe.