Salah satu kesulitan hidup bergerombol adalah perebutan makanan, atau yang disebut dengan istilah feeding frenzy.
Hal itu terungkap dalam sebuah tayangan di saluran Nat Geo Wild, tentang persaingan antar predator dalam memperebutkan mangsa atau makanan di alam liar.Â
Makhluk hidup butuh hidup untuk makan, sumber-sumber makanan mungkin semakin terbatas, sementara itu sebagian makhluk hidup yang paling rakus mungkin berkembang biak dengan pesatnya.
Siapa lagi pemangsa super di tangga teratas rantai makanan, kalau bukan manusia? Sebagaimana dilansir dari sariagri.id, manusia di berbagai belahan dunia menjadikan beras sebagai bahan makanan pokoknya.
Sebagaimana mangsa buruan yang bisa memancing pertarungan antar predator dalam rantai makanan di alam liar, keberadaan beras juga berhubungan dengan penjelajahan, kolonisasi, dan peperangan dalam sejarah umat manusia.
Maka tak heran bila padi ditanam hampir di seluruh benua kecuali Antartika. Beras merupakan bahan makan pokok tertua yang masih banyak dikonsumsi hingga saat ini.
![Fakta Unik Seputar Beras. (Sariagri/Faisal Fadli)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/16/fakta-unik-beras-602b8eeed541df451f119aa3.png?t=o&v=770)
Hal ini tidak terlepas dari kebiasaan orang Karo, yang memakai tamsil dalam memberikan pengajaran. Sangat jarang orang Karo menyatakan sebuah pengajaran secara langsung.
Sudah sangat umum diketahui misalnya peribahasa mengenai ilmu padi. Makin berisi makin merunduk. Di kalangan suku Karo ada ungkapan sebagai berikut, "Ula pekpeki tundalen tumba, banci keri pan menci page i sabah." Bila diterjemahkan menjadi, "Jangan dipukuli dasar mug takaran padi, bisa habis dimakan tikus padi di sawah."
Ungkapan pengajaran itu ditujukan kepada anak-anak agar tidak memukuli dasar mug takaran beras. Sebab dasar mug bisa peot/ melengkung, dan oleh karenanya berkuranglah takaran beras yang ditimbang.
Pada masa lalu juga ada tradisi "ningkih" dalam masyarakat Karo. Itu adalah semacam praktik pinjam meminjam padi. Padi dibayar padi.
Sekarang mari kita lihat sekilas perubahan kebiasaan manusia, khususnya pada suku Karo, terkait dengan produksi dan pengolahan padi, yang merupakan cikal bakal beras yang menjadi makanan pokoknya.Â
Hingga masa saya duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 3, di kampung ibu saya di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo, hanya ada 1 unit mesin gilingan padi.Â
Selain itu, ada juga satu rumah lesung untuk tempat menumbuk padi bagi masyarakat yang tidak mampu membayar untuk menggiling padinya di mesin penggilingan.
Rumah lesung merupakan salah satu bangunan adat tradisional Karo. Bentuk bangunannya seperti rumah panggung.Â
Ada salah satu contoh rumah lesung di Museum GBKP Sukamakmur, dengan ukuran panjang 10 m, lebar 5 m, dan tinggi 7 m. Rumah lesung ini digunakan sebagai tempat untuk meletakkan lesung.
![Rumah lesung suku Karo di Museum GBKP, Sukamakmur (Dokumentasi pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/16/img-20180204-150615-602b8ff0d541df6a047b91c4.jpg?t=o&v=770)
![Rumah lesung suku Karo di Museum GBKP, Sukamakmur (Dokumentasi pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/16/27545281-1174005826063573-7981565950717899030-n-602b90518ede4853161a4b55.jpg?t=o&v=770)
Pada 9 Februari 2021 yang lalu, saya membeli beras dari sebuah penggilingan padi milik teman satu persekutuan jemaat gereja, yang juga bermarga Tarigan. Merek kilang penggilingan padi miliknya itu diberi merek "Sada Arih." Dalam bahasa Indonesia terjemahannya lebih kurang sehati, sepakat, satu kata.
Teman saya itu mengatakan bahwa dalam satu hari mesinnya rata-rata menggiling sebanyak 5 ton beras. Sebelum digiling, padi-padi itu perlu dijemur selama 1-3 hari, tergantung kondisi cuaca dan sinar matahari. Proses penjemuran langsung dilakukan di bawah paparan sinar matahari.
![Kilang gilingan padi Sada Arih (Dokumentasi pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/02/16/images-602b90e1d541df66c1694fa6.jpeg?t=o&v=770)
Hasil produksi padi untuk Tanah Karo sendiri tidak cukup lagi untuk sekadar memenuhi kebutuhan lokal, apa lagi untuk dijual ke luar daerah.
Rata-rata per harinya dia mendapatkan pasokan 7-10 ton gabah padi dari daerah itu. Saat ini, katanya ada 10 kilang penggilingan padi yang tersisa di kota Kabanjahe, Kabupaten Karo.
Meskipun Tanah Karo dikenal sebagai daerah dengan salah satu potensi unggulannya adalah sektor pertanian, ternyata padi bukanlah komoditas pertanian dengan hasil produksi yang mampu mencukupi bahkan kebutuhan masyarakat Tanah Karo sendiri.
Kata bang Jefri Tarigan, pemilik kilang gilingan padi itu, daerah yang masih mampu menyuplai bahan baku gabah padi untuk produksi beras di kilang penggilingan padi di Kabanjahe, mungkin salah satunya adalah dari wilayah Kecamatan Lau Baleng. Itu pun, petaninya hanya mampu menjualkan hasil panennya 1 kali dalam setahun.
Namun, pasokan padi dari daerah Tapanuli Utara katanya masih sangat melimpah. Mereka mampu mensuplai padi tergantung banyaknya permintaan.
Harga gabah padi dari daerah Tapanuli Utara katanya lebih mahal, terutama terkait ongkos angkutan. Harga gabah padi dari Tapanuli Utara dipatok sebesar Rp6.500 per kilonya. Sementara itu, harga gabah padi dari Kecamatan Lau Baleng, Tanah Karo, seharga Rp5.500 per kilo.
Wasana Kata
Kita perlu juga sesekali mencari tahu dari mana asal bahan makanan yang kita makan sehari-hari. Supaya kita tahu, bahwa bagi predator super, yang terkuat sekalipun, kehadiran dan kelangsungan unsur-unsur lain di luar dirinya sangat penting untuk kelangsungan hidupnya. Sebab ternyata tidak ada makhluk yang bisa bertahan hidup dengan memangsa dirinya sendiri.
Bila bukan dari sumber di dekat kita, barangkali bahan makanan pokok kita berasal dari sebuah daerah yang jauh. Oleh sebab itu, hubungan-hubungan baik, termasuk hubungan jarak jauh (long distance relationship) dengan tempat-tempat dari mana makanan kita berasal perlu tetap kita jalin dengan mesra.