Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mencegah Legenda Menjadi Solastalgia, Belajar dari "Pawang Ternalem" di Jalan Lintas Karo-Langkat

13 Februari 2021   23:37 Diperbarui: 14 Februari 2021   21:44 3362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Nasional Gunung Leuser (Sumber: https://id.wikipedia.org)

Perjalanan dari Kabanjahe, Tanah Karo menuju Tanah Merah, Kota Binjai sejauh lebih kurang 82 km, pada Sabtu, 13 Februari 2021 ini, kami tempuh melalui jalan lintas Karo-Langkat, jalur Desa Kutarayat (Kab. Karo) - Desa Telagah (Kab. Langkat). Hari ini kami menghadiri acara "Mbaba Belo Selambar."

Itu adalah salah satu tahapan dalam rangkaian upacara adat pernikahan pada suku Karo, yang bila diterjemahkan langsung berarti "Membawa Selembar Sirih." Ritual tahapan adat pernikahan ini adalah semacam simbol perikatan janji antara dua pihak keluarga besar mempelai, sebelum hari H pesta adat pernikahan.

Perjalanan selama lebih kurang 2 jam itu, ditempuh sambil menikmati indahnya gugusan perbukitan yang termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. 

Sayangnya, pada beberapa titik hutan yang merupakan Kawasan Pelestarian Alam Indonesia yang luasnya mencapai 1.094.692 hektare ini, meliputi  kawasan Kabupaten Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tamiang Provinsi Aceh, serta Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat, Provinsi Sumatera Utara, terlihat bagian-bagian hutan yang telah gundul karena maraknya penebangan pohon secara illegal.

Padahal Taman Nasional Gunung Leuser terdaftar sebagai salah satu Situs Warisan Dunia, bersamaan dengan diterimanya Hutan Hujan Tropis Sumatera sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2004. Terdaftarnya bersamaan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Taman Nasional Gunung Leuser (Sumber: https://id.wikipedia.org)
Taman Nasional Gunung Leuser (Sumber: https://id.wikipedia.org)
Melintasi jalur ini menuju Kota Binjai, berarti menyatukan kesan pribadi atas 3 wilayah administratif sekaligus, yakni Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat, dan Kota Binjai. Maka akan terlintas dalam benak hubungan erat ketiganya, baik terkait hubungan geografis, maupun kultural, dan historikal suku Karo.

Hubungan Karo dan Langkat dalam Legenda Pawang Ternalem
Sebulan yang lalu, saya mendapatkan kiriman sebuah novel yang ditulis oleh Pendeta Albert Purba, berjudul "Nyanyian Guru Kinayan." Novel itu bercerita tentang derita salah seorang pengungsi erupsi Gunung Sinabung, bernama Nasib Purba, yang menjadi tokoh utama dalam Novel.

Kover novel
Kover novel
Demi melihat bagian tubuh Gunung Sinabung yang telah gosong dan tertimbun material vulkanik akibat erupsi yang nyaris tiada henti sejak tahun 2010 yang lalu, aku terbayang kondisi aktual latar cerita pada novel itu. Gunung Sinabung terlihat jelas dari dekat, dari sekitar Desa Sigarang-garang, Desa Naman, maupun Desa Kutarayat Kecamatan Naman Teran.

Ada sebuah kisah legenda Karo yang terselip dalam novel itu, tentang riwayat Pawang Ternalem. Ini adalah cerita rakyat dari Tanah Karo tentang orang yang terbuang. Baik dalam arti sebenarnya, maupun dalam arti kiasan.

Pawang Ternalem, sebagaimana yang tertulis dalam novel Nyanyian Guru Kinayan itu, adalah gambaran orang yang "terbuang" sejak lahirnya. Ibunya meninggal saat si bayi berusia 3 hari. Selanjutnya, meninggal lagi ayahnya saat ia berusia 8 hari.

Dalam kepercayaan kuno orang Karo pada masa lalu, anak seperti itu disebut si Tunda Kais. Anak yang dianggap membawa sial. Bahkan, orang-orang kampung mengusirnya, hingga harus bermukim di tepi hutan bersama bibinya, yang tak rela ia dikubur bersama ibunya yang meninggal.

Digambarkan bahwa ular beracun pun tak rela memakannya, karena takut ketiban sial. Entah beruntung, atau malang, Pawang Ternalem kecil bertumbuh dewasa meskipun hampir takada manusia yang rela menerimanya sebagai manusia apa adanya.

Singkat cerita, Ternalem yang hanya membawa sebatang surdam (seruling) dalam pembuangannya, mengikuti para perlanja sira (pemanggul garam) yang sedang dalam perjalanan mengambil garam. Pada masa itu, tidaklah semudah saat ini mendapatkan garam di dataran tinggi Karo. Melainkan harus dipanggul dengan berjalan kaki dari daerah dataran rendah ke dataran tinggi Karo.

Malang tak kunjung berhenti bagi Pawang Ternalem. Ia ditinggal oleh rombongan perlanja sira, yang akhirnya mengetahui latar belakangnya sebagai orang yang terbuang dari kampung halamannya, karena dianggap pembawa sial.

Ternyata, tempat ia ditinggal saat tertidur di jalur perlanja sira itu adalah tempat pemujaan kepada roh-roh keramat. Taklama kemudian, datanglah sesosok orang tua berjubah putih mendatanginya.

Ia menjelaskan dengan penuh penyesalan kepada orang tua itu, perihal siapa dirinya, dan mengapa sampai akhirnya ia ketiduran di tempat keramat itu.

Setelah membaca garis tangannya, kakek tua itu menjelaskan bahwa Ternalem bukan seorang pembawa sial. Ia membawanya ke suatu tempat, yang di sana telah menunggu saudarinya bernama Tulak Kelambir Gading. Mereka berdua adalah orang sakti.

Tergerak hatinya oleh belas kasihan, kakek Tua yang bernama Datuk Rubia Gande, mengangkat Pawang Ternalem menjadi muridnya. Ia diajari ilmu kesaktian, termasuk ilmu meringankan tubuh.

Pada masa itu, ada sebuah desa bernama Jenggi Kemawar. Sebagaimana dikutip dari mejuah-juah.id, itu adalah sebuah desa yang sangat indah berada di daerah Langkat. Tentang kisah legenda Pawang Ternalem ini, Joey Bangun bahkan melakukan observasi dan riset di Jenggi Kemawar pada tahun 2007.

Foto: Joey Bangun (Mejuahjuah.id)
Foto: Joey Bangun (Mejuahjuah.id)
Disebutkan di sana, bahwa pada masa itu, putri dari pengulu Jenggi Kemawar, bernama Beru Patimar sedang dirundung sakit akibat kena kutuk akibat kesombongannya atas kecantikan parasnya.

Ayah Beru Patimar, yang adalah juga seorang pengulu (kepala desa), membuat sayembara, bahwa siapa saja yang mampu mengobati penyakit puterinya akan dinikahkan dengan Beru Patimar.

Konon, obatnya adalah madu hutan yang hanya ada di pucuk pohon Tualang Si Mande Angin, yang tumbuh di pinggiran kampung. Itu adalah pohon raksasa yang dianggap keramat, karena diyakini dihuni oleh sosok gaib yang sakti dan jahat.

Ternyata, penunggu pohon itu adalah Tulak Kelambir Gading, saudari Datuk Rubia Gande, yang adalah guru dari Pawang Ternalem. Atas anjuran gurunya itu, Pawang Ternalem mengikuti sayembara itu.

Namun, sebelum menuju desa Jenggi Kemawar, Datuk Rubia Gande mengubah rupa Pawang Ternalem menjadi sangat jelek, hingga semua manusia merasa jijik saat melihatnya.

Demi mematuhi perintah gurunya itu, Pawang Ternalem memanjat pohon Tualang Si Mande Angin. Maksud dari Datuk Rubia Gande mengubah wujud Pawang Ternalem ternyata agar dirinya dikenali oleh Tulak Kelambir Gading bibinya itu. Tentu saja Beru Patimar sendiri merasa jijik melihat sosok Pawang Ternalem yang sangat buruk rupa itu.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, Pawang Ternalem yang kenyang dengan penolakan sepanjang hidupnya, disambut dengan baik oleh Tulak Kelambir Gading di puncak pohon Tualang Si Mande Angin. Pawang Ternalem berhasil mengambil madu ajaib itu. Untuk menyatakan keberhasilannya, ia meniup surdam dari atas pohon, yang dapat didengar oleh seluruh penduduk desa Jenggi Kemawar.

Tentu saja sang pengulu senang dengan keberhasilan ini. Ia sangat yakin bahwa puterinya akan segera dapat disembuhkan.

Dengan madu hutan dari pohon Tualang Si Mande Angin ini, kutuk penyakit Beru Patimar pun akhirnya berhasil disembuhkan. Pengulu Jenggi Kemawar, memenuhi janjinya untuk menikahkan puterinya dengan Pawang Ternalem. Namun, sebelum pernikahan itu, Datuk Rubia Gande mengembalikan rupa Pawang Ternalem menjadi sosok pemuda gagah dan tampan, sekaligus sakti mandra guna. Sebuah kisah legenda dengan akhir yang bahagia, happy ending.

Wasana Kata
Selain terselip pesan moral dari cerita tentang Pawang Ternalem ini, bahwa buah dari kerja keras adalah kebahagiaan dalam hidup, bagi saya pribadi, kisah legenda ini terasa makin aktual dalam perjalanan lintas kabupaten bersaudara ini, Karo dan Langkat. Bahwa sejak zaman dahulu kala, hubungan kultural dan historis dua entitas wilayah ini telah begitu eratnya, hingga terus dituturkan lewat legenda yang masih hidup dan terpelihara hingga saat ini, meskipun mungkin tidak terlalu banyak generasi muda Karo khususnya yang menaruh minat besar untuk melestarikannya.

Kisah ini menjadi semakin aktual lagi, terutama karena dua kabupaten yang sama-sama dilingkupi bagian kawasan hutan pelestarian alam ini, kini telah terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Hentikan penebangan hutan secara ilegal, bila tak ingin kisah Pawang Ternalem terulang pada masa kini, tapi dengan akhir yang tidak bahagia.

Kita merasa menjadi orang yang terbuang di rumah sendiri, karena rumah tempat tinggal kita rasanya tidak akan pernah lagi terasa sama, legenda menjadi solastalgia. Sebuah istilah untuk menggambarkan perasaan tertekan karena perubahan lingkungan.

Itu adalah penyakit psikologis akibat perubahan lingkungan dari orang yang merasakan keadaan sukar, karena sudah seperti tidak punya tempat tinggal, disebabkan perasaan kehilangan akan sesuatu, atau berkurangnya hiburan, serta merasa asing dengan perubahan keadaan rumah atau wilayah yang ditempatinya. Sebuah rasa di mana sudah seperti tidak punya tempat yang cocok lagi untuk ditinggali.

Rujukan: 1, 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun