Perjalanan dari Kabanjahe, Tanah Karo menuju Tanah Merah, Kota Binjai sejauh lebih kurang 82 km, pada Sabtu, 13 Februari 2021 ini, kami tempuh melalui jalan lintas Karo-Langkat, jalur Desa Kutarayat (Kab. Karo) - Desa Telagah (Kab. Langkat). Hari ini kami menghadiri acara "Mbaba Belo Selambar."
Itu adalah salah satu tahapan dalam rangkaian upacara adat pernikahan pada suku Karo, yang bila diterjemahkan langsung berarti "Membawa Selembar Sirih." Ritual tahapan adat pernikahan ini adalah semacam simbol perikatan janji antara dua pihak keluarga besar mempelai, sebelum hari H pesta adat pernikahan.
Perjalanan selama lebih kurang 2 jam itu, ditempuh sambil menikmati indahnya gugusan perbukitan yang termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser.Â
Sayangnya, pada beberapa titik hutan yang merupakan Kawasan Pelestarian Alam Indonesia yang luasnya mencapai 1.094.692 hektare ini, meliputi  kawasan Kabupaten Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tamiang Provinsi Aceh, serta Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat, Provinsi Sumatera Utara, terlihat bagian-bagian hutan yang telah gundul karena maraknya penebangan pohon secara illegal.
Padahal Taman Nasional Gunung Leuser terdaftar sebagai salah satu Situs Warisan Dunia, bersamaan dengan diterimanya Hutan Hujan Tropis Sumatera sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2004. Terdaftarnya bersamaan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Hubungan Karo dan Langkat dalam Legenda Pawang Ternalem
Sebulan yang lalu, saya mendapatkan kiriman sebuah novel yang ditulis oleh Pendeta Albert Purba, berjudul "Nyanyian Guru Kinayan." Novel itu bercerita tentang derita salah seorang pengungsi erupsi Gunung Sinabung, bernama Nasib Purba, yang menjadi tokoh utama dalam Novel.
Ada sebuah kisah legenda Karo yang terselip dalam novel itu, tentang riwayat Pawang Ternalem. Ini adalah cerita rakyat dari Tanah Karo tentang orang yang terbuang. Baik dalam arti sebenarnya, maupun dalam arti kiasan.
Pawang Ternalem, sebagaimana yang tertulis dalam novel Nyanyian Guru Kinayan itu, adalah gambaran orang yang "terbuang" sejak lahirnya. Ibunya meninggal saat si bayi berusia 3 hari. Selanjutnya, meninggal lagi ayahnya saat ia berusia 8 hari.
Dalam kepercayaan kuno orang Karo pada masa lalu, anak seperti itu disebut si Tunda Kais. Anak yang dianggap membawa sial. Bahkan, orang-orang kampung mengusirnya, hingga harus bermukim di tepi hutan bersama bibinya, yang tak rela ia dikubur bersama ibunya yang meninggal.