Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menghayati Butiran Hujan Sambil Menikmati Jagung Bakar

7 Februari 2021   22:48 Diperbarui: 7 Februari 2021   23:28 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah umum diketahui bahwa salah satu potensi unggulan Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara adalah pertanian. Potensi unggulan lainnya daerah ini adalah sektor pariwisata.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila sebagian besar masyarakat daerah ini bekerja sebagai petani. Lagi pula, buah, sayur, dan bunga adalah beberapa di antara komoditi unggulan hasil pertanian yang turut menunjang sektor pariwisata.

Aneka bunga (Dokpri)
Aneka bunga (Dokpri)
Hari ini, Minggu, 7 Februari 2021, saya mencangkul di ladang. Rencananya kami mau membuat taman yang ditanami berbagai jenis bunga.

Panas terik serasa membakar kulit. Tatapan nanar karena silaunya cahaya mentari.

Itu hanyalah dua di antara deskripsi atas kenyataan sehari-hari yang harus dihadapi oleh petani, setidaknya di tempat ini. Belum lagi masalah bibit, pupuk, cuaca, hama, dan tentu saja pemasaran dan harga.

Mencangkul ladang di saat panas terik (Dokpri)
Mencangkul ladang di saat panas terik (Dokpri)
Untuk semua masalah ini rasanya tak lepas dari ulah manusia, yang katanya selain ia adalah makhluk sosial, ia adalah juga makhluk ekonomi.

Saya tidak akan mengulas lebih jauh soal-soal ini, sebab bagi saya masih bisa mengolah tanah pun adalah sebuah berkat tersendiri. Petani pastilah bau tanah, ini bukan dalam makna kiasan, melainkan makna sebenarnya.

Memang benar bahwa ada sistem pertanian modern, yang memungkinkan petani menanam tanaman di wadah air, yang dinamai teknik pertanian secara hidroponik.

Ini bukan saja soal air, sebab saya bertani di atas tanah, menanam tanamam ke dalam tanah. Jadi jelas, bau tanah terasa sekali, dan membaluri seluruh permukaan kulit yang panas terbakar mentari dibasuh keringat yang membanjir.

Lagi pula, sudah sejak sebulan yang lalu rintik air hujan hanya sesekali turun membasuh tanah. Kukira kami memang sudah masuk musim kemarau. Mentari terik sekali.

Namun, siapa sangka. Di ketinggian sekitar 1400 hingga 1500 mdpl ini, cuaca panas terik tetiba berubah mendung. Rintik air hujan pun mulai jatuh sedikit-sedikit membasahi bumi.

Tak berhenti sampai di situ. Menyahuti suara petir menggelegar, dan kilatan petir yang menyambar, bulir-bulir air hujan mulai makin lebat membanjiri permukaan tanah, yang baru selesai sepetak aku cangkuli.

Brrrrrr...hujan deras turun tak terbendung. Aku begegas ke gubuk untuk berteduh. Itulah istimewanya menjadi petani.

Keterbatasan cukup menjadi batasan untuk mendefinisikan istilah berkecukupan. Sebab, apa yang ada di sekitarnya adalah apa yang paling dibutuhkan dan yang paling mungkin untuk dinikmatinya sendiri.

Ya, bau tanah dan hidup dari mengolah tanah. Apa yang keluar dari tanah itulah yang terbaik untuk dinikmatinya.
Apa lagi yang paling dibutuhkan di hari dingin berhujan selain kehangatan. Untuk menghangatkan badan dibutuhkan panas.

Hujan, Api, dan Jagung Bakar

Api adalah bentuk anugerah. Kemampuan manusia membuat api adalah sebentuk keunggulannya dari makhluk hidup lainnya.

Aku mencari dan mendapatkan beberapa batang potongan kayu kering, beberapa sembilu bambu, dan sedikit kertas bekas bungkusan semen di dalam gubuk. Setelah membelah potongan kayu kering menjadi beberapa bagian kecil, aku menyusunnya bertingkat-tingkat bersama beberapa helai sembilu.

Bermodal secarik kertas kering, aku mencoba menyulut api dengan sebuah pemantik. Mancis, begitu kami biasa menyebutnya di sini.

Itu adalah perubahan dramatis kata "matches" dari bahasa Inggris, yang merupakan bentuk jamak dari "match", yang berarti korek api.

Tak butuh waktu lama, percikan api dari mancis sudah berhasil menyulut api yang membesar, dan melumat potongan-potongan kertas, kayu kecil, serta sembilu. Suasana di dalam gubuk menjadi hangat, walaupun di luar suhu udara cukup dingin karena hujan makin menjadi-jadi, dan tampaknya akan awet.

Perkara ini, aku pernah diingatkan oleh seorang teman, yang sehari-harinya bekerja di lapangan sebagai pengangkut sampah. Nama teman saya itu adalah pak Kamaruddin.

Sudah barang tentu kecermatan dalam membaca tanda-tanda hujan menjadi hal yang penting buat dia, sebab ia akan sangat kesulitan mengangkut sampah apabila hari hujan.

Katanya, "Kalau hujan turun, meskipun tidak lebat, sementara langit tanpa awan hitam, itu pertanda hujan akan awet. Sebaliknya, walaupun hujan lebat, tapi langit tampak kelam dengan awan hitam, maka hujan tak akan berlangsung lama."

Siang ini, mau tak mau aku akan menikmati hujan turun cukup lama, pikirku. Sebab di langit memang takada awan hitam bergelayut.
Dan memang benar, hujannya cukup awet. Sementara persedian kayu bakar di dalam gubuk sudah itu semuanya, yang sedang menyala disulut api.

Untunglah, ada sebiji jagung muda yang gagal dibakar di malam Minggu. Padahal sekarung jagung muda lainnya, semalam sudah dijadikan "jong labar." Itu adalah sejenis penganan lemet jagung, masakan khas Karo.

Baca juga: Kala Kesabaran dan Ungkapan Syukur Lumer dalam Sebungkus "Jong Labar"

Jagung muda itu aku bakar bersama kulitnya di api yang membara. Membakar jagung dengan cara seperti itu, selain tidak rumit, juga bermanfaat membuat biji-bijinya matang hingga ke dalam. Tidak hanya gosong dipermukaan saja, sementara di dalamnya masih mentah.

Bakar jagung dengan kulitnya (Dokpri)
Bakar jagung dengan kulitnya (Dokpri)
Lagi pula, dengan kayu bakar yang terbatas aku tidak bisa menyianyiakan nyala api yang ada. Nanti, setelah tinggal baranya saja, barulah jagung muda ini dikupas, dan tinggal meletakkan di atas bara api untuk memanaskan permukaan biji jagung saja. Bagian dalamnya sudah matang.

Jagung bakar setengah matang (Dokpri)
Jagung bakar setengah matang (Dokpri)
Bakar jagung di atas bara api (Dokpri)
Bakar jagung di atas bara api (Dokpri)
Bakar jagung di atas bara api (Dokpri)
Bakar jagung di atas bara api (Dokpri)
Bagaimana pun, dalam keterbatasan pertanian yang tetap saja bau tanah, sore ini aku jadi dapat menghayati butiran hujan sambil menikmati jagung bakar. Terima kasih Tuhan, untuk berkat yang Kau beri. Hujan berkatMu, itu yang kami perlu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun