Tak berhenti sampai di situ. Menyahuti suara petir menggelegar, dan kilatan petir yang menyambar, bulir-bulir air hujan mulai makin lebat membanjiri permukaan tanah, yang baru selesai sepetak aku cangkuli.
Brrrrrr...hujan deras turun tak terbendung. Aku begegas ke gubuk untuk berteduh. Itulah istimewanya menjadi petani.
Keterbatasan cukup menjadi batasan untuk mendefinisikan istilah berkecukupan. Sebab, apa yang ada di sekitarnya adalah apa yang paling dibutuhkan dan yang paling mungkin untuk dinikmatinya sendiri.
Ya, bau tanah dan hidup dari mengolah tanah. Apa yang keluar dari tanah itulah yang terbaik untuk dinikmatinya.
Apa lagi yang paling dibutuhkan di hari dingin berhujan selain kehangatan. Untuk menghangatkan badan dibutuhkan panas.
Hujan, Api, dan Jagung Bakar
Api adalah bentuk anugerah. Kemampuan manusia membuat api adalah sebentuk keunggulannya dari makhluk hidup lainnya.
Aku mencari dan mendapatkan beberapa batang potongan kayu kering, beberapa sembilu bambu, dan sedikit kertas bekas bungkusan semen di dalam gubuk. Setelah membelah potongan kayu kering menjadi beberapa bagian kecil, aku menyusunnya bertingkat-tingkat bersama beberapa helai sembilu.
Bermodal secarik kertas kering, aku mencoba menyulut api dengan sebuah pemantik. Mancis, begitu kami biasa menyebutnya di sini.
Itu adalah perubahan dramatis kata "matches" dari bahasa Inggris, yang merupakan bentuk jamak dari "match", yang berarti korek api.
Tak butuh waktu lama, percikan api dari mancis sudah berhasil menyulut api yang membesar, dan melumat potongan-potongan kertas, kayu kecil, serta sembilu. Suasana di dalam gubuk menjadi hangat, walaupun di luar suhu udara cukup dingin karena hujan makin menjadi-jadi, dan tampaknya akan awet.
Perkara ini, aku pernah diingatkan oleh seorang teman, yang sehari-harinya bekerja di lapangan sebagai pengangkut sampah. Nama teman saya itu adalah pak Kamaruddin.