Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ini 7 Manfaat dari Pohon Nira dan Inspirasinya pada Kehidupan

31 Januari 2021   14:35 Diperbarui: 2 Februari 2021   14:06 2106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapu lidi dari tangkai daun nira (Dokpri)

"Hubungan laki-laki "pengeria" dan pohon nira yang digambarkan sebagai sosok wanita ini, seolah tampak bagai kekasih yang saling mengerti dalam nyanyian kehidupan yang memilukan itu. Pohon nira pun akan menghasilkan air nira yang melimpah bagi "pengeria" yang berhasil memahami perasaan dan merebut hatinya, sebab ia ikut terharu mendengar nyanyiannya."

Siapa yang tidak mengenal pohon nira? Mungkin ada juga, ya?

Nira disebut juga aren. Pohon nira adalah salah satu jenis tanaman yang dapat tumbuh dalam segala medan, termasuk di area hutan cemara di mana biasanya pohon lain sulit tumbuh.

Bagi orang yang sudah mengenal nira atau aren, maka barangkali sudah tahu tentang nikmat dan segarnya air nira. Atau bagi yang suka, juga sangat menikmati tuak nira.

Namun, masih ada banyak manfaat lainnya dari pohon nira, tidak sebatas manfaat dari air nira yang dihasilkannya. Uniknya, nyaris semua bagian pohon ini ada manfaatnya. Apa saja itu, mari kita lihat satu persatu.

1. Akarnya menjadi obat

Akar pohon nira sering digunakan oleh orang-orang Karo sebagai bahan untuk meracik minyak urut. Minyak urut Karo adalah produk kesehatan tradisionil yang merupakan warisan dari nenek moyang orang Karo.

Minyak urut Karo mudah saja ditemukan pada rumah-rumah keluarga orang Karo, sejak dahulu sampai sekarang, utamanya di desa-desa dan kota di Tanah Karo. Minyak Karo mempunyai potensi yang baik untuk lebih dikembangkan sebagai produk UMKM andalan.

Minyak Karo (Dokpri)
Minyak Karo (Dokpri)
2. Batangnya menjadi bahan bangunan 

Batang pohon nira, atau dalam bahasa Karo disebut pangguhna, bisa dijadikan geligar pada rumah adat Karo. Geligar bisa diartikan sebagai para-para, yang diletakkan dan disusun sedemikian rupa menjadi alas papan lantai pada rumah adat Karo, maupun bangunan rumah pada umumnya.

Batang pohon nira (Dokpri)
Batang pohon nira (Dokpri)
3. Serabutnya sebagai pemancing api

Bagi sebagian orang yang suka menyaksikan tayangan kehidupan atau petualangan di alam bebas, mungkin sudah paham apa yang dimaksud dengan memancing api. Dulu saat pemantik atau korek api masih belum mudah didapatkan, orang-orang Karo di desa-desa biasa menggunakan serabut-serabut halus, yang disebut "luluk", yang menempel di pohon nira sebagai pemancing api.

Serabut halus itu digulung-gulung, lalu dua buah batu saling dibenturkan untuk memantik percikan api. Percikan itulah yang akan menyulut api pada "luluk" nira yang mudah terbakar itu.

Selain itu, serabutnya yang lebih tebal atau ijuk, dijadikan bahan untuk atap atau sapu ijuk. Terutama pada masa dulu, ijuk adalah bahan untuk atap semua rumah adat Karo.

Sapu ijuk (Dokpri)
Sapu ijuk (Dokpri)
Sementara itu, tangkai ijuk yang keras, dalam bahasa Karo disebut "culiki" dan dijadikan "sugarang" atau duri pada mulut bubu. Bubu adalah sejenis alat tradisional untuk memerangkap ikan.

 

4. Tangkai daunnya menjadi joran dan sapu lidi

Kaum pria di Tanah Karo, sangat suka memancing ikan. Terutama pada masa lalu, di mana belum begitu banyak hiburan.

Nah, tangkai besar daun nira, atau yang disebut "kedeng" biasa dijadikan joran atau tangkai kail. Hal ini mungkin karena tangkai daunnya yang panjang dan cukup kuat sekaligus fleksibel. Sementara itu, ruas-ruas tangkai daunnya dapat dijadikan sapu lidi.

Sapu lidi dari tangkai daun nira (Dokpri)
Sapu lidi dari tangkai daun nira (Dokpri)
5. Menjadi tempat berteduh

Dalam sistem sosial hidup suku Karo, ada dikenal istilah "simajekken lape-lape," artinya yang mendirikan tempat berteduh. Itu adalah sebutan untuk peran sosial kekerabatan yang memang fungsinya memberikan keteduhan bagi anggota kerabat yang lain.

Keteduhan dalam hal ini termasuk dalam arti yang sebenarnya. Dulu masih belum semudah sekarang mendapatkan tenda dan payung, maka yang biasanya digunakan oleh orang Karo untuk membuat peneduh adalah daun nira yang utuh bersama tangkai-tangkai daunnya, ditancapkan ke dalam tanah, dan disusun beberapa tangkai hingga menjadi benar-benar teduh di bawahnya.

Janur daun nira (Dokpri)
Janur daun nira (Dokpri)
Fungsi janur pada gapura (Dokpri)
Fungsi janur pada gapura (Dokpri)
Selain, itu daun nira juga bisa dijadikan sebagai janur untuk hiasan pada pesta-pesta adat atau perayaan hari-hari besar. Janur nira ini disebut lambe-lambe dalam bahasa Karo.

6. Buahnya menjadi bahan kolang-kaling

Buah atau biji pohon nira, yang dalam bahasa Karo dinamakan "kelto", dijadikan sebagai bahan pembuatan kolang-kaling. Sajian kolang-kaling ini umumnya ditemukan pada saat hari raya lebaran, atau tahun baruan.

Buah nira, dan tandan yang sudah menghasilkan air nira
Buah nira, dan tandan yang sudah menghasilkan air nira

7. Tandan pohon nira yang menghasilkan air nira

Kita mungkin sudah pernah dan biasa meminum air nira, atau tuak nira bagi sebagian. Bisa juga belum sama sekali. Namun, bagi yang sudah biasa pun bisa jadi belum paham betul dari mana air nira itu berasal.

Adalah tandan yang dalam bahasa Karo disebut dengan "rirang pola", yang "dibalbal" atau dipukul-pukul oleh "pengeria". Pengeria adalah sebutan kepada orang yang terampil memanen air nira.

Pengeria yang mengambil air nira, biasanya akan mbalbal (memukul-mukul) tandan atau "rirang pola" seminggu sekali. Hal itu dilakukan berulang-hingga tandannya mencapai kondisi optimum, untuk selanjutnya disayat ujungnya. Dari tandan yang disayat itulah air nira akan mengalir.

Kondisi optimum tandan nira untuk menghasilkan air nira itu dalam bahasa Karo disebut "mbecih terlak." Itu adalah kondisi tandan yang juga sudah berwarna kemerahan.

Ada satu kisah yang tampaknya tak masuk akal, tapi barangkali berdimensi spiritual, Hal itu sehubungan dengan kisah hidup "pengeria."

Menurut cerita rakyat, konon katanya, pohon nira atau pohon aren sesungguhnya berasal dari seorang wanita yang berubah wujud. Namun, entah dengan cara dan demi alasan apa hingga hal itu terjadi, kurang dijelaskan.

Menariknya, memang sudah umum diketahui bahwa orang yang berprofesi sebagai pengeria atau pemanen air nira adalah laki-laki dari golongan ekonomi lemah, berpendidikan rendah, dan tampaknya tidak tahu pekerjaan lainnya selain itu.

Maka tak jarang, ketika "pengeria" mbalbal (memukul-mukul) tandan atau "rirang pola", ia akan memukul tandan nira itu secara berirama, sembari menyanyikan lagu-lagu kesedihan yang sangat menyayat hati. Bagi sebagian orang yang kebetulan di dekat ladangnya ada batang nira yang sedang dibalbal oleh pengeria, ia akan ikut merasa iba bila mendengar nyanyian pilu dari atas pohon nira itu. 

Uniknya, hubungan laki-laki pengeria dan pohon nira yang digambarkan sebagai sosok wanita ini, seolah tampak bagai kekasih yang saling mengerti dalam nyanyian kehidupan yang memilukan. Pohon nira pun akan menghasilkan air nira yang melimpah bagi pengeria yang berhasil memahami perasaan dan merebut hatinya, sebab ia ikut terharu mendengar nyanyiannya.

Wasana Kata

Sebagaimana umumnya unsur-unsur alam yang sering dijadikan bahan tamsil untuk pengajaran dan nasihat pada suku Karo, maka ada juga pepatah dalam bahasa Karo yang terkait dengan duri ijuk yang merupakan bagian dari pohon nira. Peribahasa ini maknanya mirip dengan makna "Mulutmu adalah harimaumu."

Dalam bahasa Karo, ungkapannya adalah "Bas babahna sugarangna." Artinya, mulut beracun, atau mulut dengan kata-kata yang menusuk. Itu adalah kiasan bagi manusia yang menuai kebencian setiap kali ia berbicara, sebab ujarannya selalu tentang kebencian.

Pohon nira pastilah masih memiliki banyak keunikan yang mungkin belum semuanya tergali. Salah satunya adalah sebuah prinsip umum di alam, bahwa ia yang meracuni adalah ia juga yang mengobati.

Salah satu contohnya bila kita mengalami gatal-gatal karena terkena getah dari buah atau biji pohon nira. Maka cara yang paling mudah untuk menyembuhkannya adalah dengan mengoleskan serbuk dari serabutnya atau "luluk" yang dikikis. Atau dengan mengoleskan serbuk abu dari ijuk yang dibakar pada bagian yang gatal terkena getah buah nira.

Salam tuak nira seteko.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun