Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggali Kedalaman Makna Cinta Alam dan Kasih Tuhan di Ketinggian Siosar

24 Januari 2021   23:10 Diperbarui: 25 Januari 2021   12:38 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu panorama dari ketinggian Puncak 2000, Siosar (Dokpri)

 

 "Di manakah negeri di atas awan itu?" 

Pertanyaan itu diajukan oleh seorang bapak yang menyetir minibus dan membawa serta keluarganya, tampaknya untuk berwisata pada Minggu, 17 Januari 2021 yang lalu. Pertanyaannya ditujukan kepada kami yang kebetulan sedang menikmati tiga gelas coklat panas, segelas kopi susu, dan segelas teh lemon, di Mejuah-juah Cafe (MJJ Cafe), berlokasi di Siosar, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Tentang kawasan Siosar ini memang sudah banyak sekali ulasannya. Apakah itu dalam bentuk berita, esai, puisi, bahkan mungkin juga ada jurnal, skripsi, tesis atau disertasi.

Siosar adalah kawasan relokasi bagi warga pengungsi erupsi gunung Sinabung, yang mulai berlangsung sejak tahun 2010 yang lalu. Hingga beberapa waktu yang lalu erupsi masih terjadi, meskipun dalam skala kecil. Desa Bekerah dan Simacem, asal para pengungsi itu, telah dinyatakan tidak aman untuk ditinggali.

Desa-desa itu kini bahkan telah nyaris tertutup sepenuhnya oleh timbunan material vulkanik. Kehidupan tidak pernah lagi sama bagi mereka.

Bapak yang bertanya itu mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang berada dan menjejakkan roda mobilnya di negeri di atas awan. Hari itu cuaca memang sedang cerah dan panas terik.

Pemandangan salah satu ruas jalan di kawasan Siosar, 17/01/2021 (Dokpri)
Pemandangan salah satu ruas jalan di kawasan Siosar, 17/01/2021 (Dokpri)
Apa yang Menarik dalam Kenyataan Berada di atas Awan?

Pertanyaan ini tentu saja bisa mengandung dan mengundang banyak jawaban. Misalnya saja, berada di atas awan itu berarti kita berada di atas ketinggian, oleh sebab itu udaranya pastilah sejuk.

Di atas awan juga berarti kita bisa memandang lembah-lembah, bukit-bukit, hingga gunung-gemunung yang tampak elok dan damai. Ini tentu saja benar sekali, sebab kawasan Siosar adalah salah satu dataran yang paling tinggi di Tanah Karo, dengan ketinggian mencapai 1500 hingga 1600 mdpl.

Konon katanya, Siosar bahkan adalah kawasan hunian/ permukiman yang tertinggi di Sumatera Utara. Persisnya saya tidak tahu pasti, itu tugas para ahli ukur untuk membuktikannya.

Namun, satu hal yang pasti bahwa meskipun tinggal di dataran tinggi, tidak serta merta membuat warganya menjadi orang yang tinggi hati. Masyarakat Karo pada umumnya, sejak dahulu kala dikenal memiliki tutur kata dan laku hidup yang ramah dan terbuka kepada siapa saja.

Saya tidak akan menambah daftar panjang alternatif jawaban atas pertanyaan itu. Saya akan bermuara ke satu kemungkinan jawaban lain, terkait hubungan tempat tinggi (ketinggian) dengan Firman Tuhan.

Salah satu panorama dari ketinggian Puncak 2000, Siosar (Dokpri)
Salah satu panorama dari ketinggian Puncak 2000, Siosar (Dokpri)
Pendeta Rocky Marchiano Tarigan adalah seorang pendeta majelis jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang melayani jemaat desa Bekerah dan Simacem di kawasan Siosar. Dia juga adalah ketua desa wisata untuk kedua desa bertetangga itu.

Ia bercerita tentang sebuah kemungkinan wawasan (insight) terkait hubungan tempat-tempat yang tinggi dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai ketuhanan. Setidaknya dalam sudut pandang sebagaimana pada masa hidup para nabi. Lebih khusus lagi misalnya sebagaimana dalam riwayat eksodus bangsa Israel dari Mesir menuju tanah Kanaan.

Ulasan ini tentu saja bukan ulasan tentang ajaran agama yang bersifat dogmatik. Lagi pula saya bukanlah seorang penatua, ahli teologia, apalagi seorang pendeta. Saya hanya mencoba menggali makna perkataan seorang pemilik cafe yang kebetulan juga adalah seorang pendeta, di sebuah kawasan relokasi bagi para pengungsi korban bencana.

Nabi Musa misalnya. Dia seringkali dipanggil oleh Tuhan untuk berjumpa dan bercakap-cakap denganNya di tempat-tempat yang tinggi, misalnya saja di Gunung Sinai. Cukup menarik untuk menggali makna penempatan para pengungsi ini di sebuah kawasan tertinggi dalam hubungannya dengan maksud panggilan dan rencana Tuhan.

Pilihan kenapa Musa meriung di tempat-tempat tinggi itu, apa takada pertaliannya dengan keheningan? Atau dengan kemungkinan kita, manusia, dapat dengan mudah merasakan betapa kecilnya kita, yang karena itu menjadi tak terlalu sulit juga untuk menjadikan kita bagian dari alam, bagian dari semesta, serta menerima keagungan Sang Maha Pencipta?

Tentu saja Tuhan memakai akal, pikiran, mata, tangan, dan kaki orang-orang dari berbagai kalangan dan latar belakang untuk menggerakkan dan mewujudkan rencana eksodus para pengungsi ke Siosar hingga bisa menetap sampai saat ini. Orang-orang yang berasal entah dari mana saja, bahkan yang namanya mungkin tidak pernah dikenal hingga saat ini, tapi dipakai Tuhan untuk membantu.

Belajar dari Kisah Musa di Gunung Sinai

Meninggalkan pemahaman sempit sektarian sekalipun tampak sulit, sebenarnya siapa pun mampu memahami bahwa terkadang Tuhan memang memberikan teguran melalui suatu bencana. Namun, apa yang terutama dari hal itu adalah respons manusia atasnya.

Mungkin ada yang cepat merespons, ada yang lambat, bahkan ada juga yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa saja atau bahkan bukan apa-apa. Respons seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh siapa, bila hal itu merupakan bagian dari rencana Tuhan, adalah urusan Tuhan dengan siapa Dia berkenan berurusan.

Namun, manusia memang dikenal lihai juga dalam mencuri, termasuk mencuri kemuliaan Tuhan. Mudah juga untuk mengucapkan, sekalipun sukar untuk mengingat dan menyadarinya.

Katakanlah sebagai refleksi, bahwa kita yang paling sering dan lantang menyuarakan kebenaran mungkin saja adalah juga penjahat yang sebenarnya. Kita yang paling berani dan lantang mengucapkan suatu tuduhan, mungkin hanyalah sekadar pengamat atau komentator yang bahkan tidak melakukan apa-apa, kecuali menghamburkan tuduhan kejam dalam balutan sumpah serapah dan caci maki.

Saya pernah beribadah bersama beberapa orang rekan satu vokal grup di "Gereja Kayu" Siosar pada Minggu, 19 Agustus 2018 yang lalu. Disebut gereja kayu, sebab gereja ini memang dibangun dengan tiang, dinding, dan rangka atap dari kayu. Lantainya adalah batu-batu kerikil, tanpa disemen. Gereja kayu ini dibangun dengan dana utamanya adalah swadaya dari jemaat sendiri.

Mengikuti ibadah kebaktian Minggu bersama jemaat Desa Bekerah dan Simacem di Siosar pada waktu itu, saya membayangkan sedang berada di rumah keluarga Charles Ingalls seperti di film Little House on the Prairie itu.

Ibadah di Gereja Kayu Siosar, Minggu, 19/08/2018 (Dokpri)
Ibadah di Gereja Kayu Siosar, Minggu, 19/08/2018 (Dokpri)
Ibadah di Gereja Kayu Siosar, Minggu, 19/08/2018 (Dokpri)
Ibadah di Gereja Kayu Siosar, Minggu, 19/08/2018 (Dokpri)
Ibadah di Gereja Kayu Siosar, Minggu, 19/08/2018 (Dokpri)
Ibadah di Gereja Kayu Siosar, Minggu, 19/08/2018 (Dokpri)
Bukan tanpa maksud mengapa Tuhan menempatkan para warga pengungsi erupsi gunung Sinabung ini di Siosar, negeri di atas awan yang indah ini.

Herri Ketaren Purba, seorang sinematograf, yang aktif juga dalam gerakan pendampingan dan pemberdayaaan masyarakat terdampak erupsi gunung Sinabung, terutama anak-anak, remaja dan para pemuda, mengatakan bahwa dalam pengalamannya selama 5 tahun mendampingi pengungsi erupsi gunung Sinabung, masyarakatlah yang terutama mengatur dirinya sendiri, bukan pemerintah.

Sebenarnya mereka itulah gambaran orang Karo yang asli (sebenarnya). Bagaimana sejak awal orang Karo "manteki kuta" (mendirikan kampung halaman), dan mengelola harapannya dengan segala daya dan upaya yang ada. Selebihnya adalah penyerahan diri pada yang mahakuasa.

Kampung asal mereka yang porak poranda akibat erupsi, memang sempat mengacaukan pikiran dan menghancurkan perasaan. Namun, siapa yang tidak, bila menghadapi hal yang demikian?

Semangat dan harapan hidup mereka tidak pernah luntur. Semangat hidup para warga pengungsi erupsi gunung Sinabung yang kini telah menetap di kawasan relokasi Siosar sangat luar biasa.

Salah satunya terkait dengan nilai yang ditanamkan oleh orang tua secara turun temurun kepada anak-anaknya, bahwa sekolah dan pendidikan adalah hal yang utama. Oleh karenanya, setiap orang tua akan mengusahakan yang terbaik untuk pendidikan anak-anaknya, apa pun yang akan terjadi.

Kami mungkin terasa hanya berani bermimpi. Namun, kami meyakini rencana Tuhan, dan kami percaya Tuhan menggerakkan orang-orang untuk menunjukkan kasihNya kepada kami, melalui perbuatan tanganNya. -M. Pelawi (Pelayaan Jemaat GBKP Siosar)

Anak-anak warga Siosar bermain di salah satu lahan relokasi, 17/01/2021 (Dokpri)
Anak-anak warga Siosar bermain di salah satu lahan relokasi, 17/01/2021 (Dokpri)
Sebuah Kesaksian sebagai Penutup

Kesaksian dari seorang penatua, pelayan jemaat GBKP Siosar ini, kiranya juga mewakili suara hati jemaat khususnya dan warga pengungsi umumnya. Kesaksiannya saya saksikan ketika mengikuti ibadah singkat yang dirangkaikan dengan rapat panitia pembangunan gedung gereja Majelis Jemaat GBKP Bekerah Simacem di Siosar, pada Sabtu, 23 Januari 2021 kemarin.

Dia adalah bapak Mbiri Sembiring Pelawi. Katanya, "Bangunan gereja kayu yang sudah berumur lebih kurang 2 tahun ini sudah hampir tidak layak, karena kayu-kayunya sudah mulai lapuk."

Ibadah dan rapat pembangunan Gereja Kayu, Siosar, 23/01/2021 (Dokpri)
Ibadah dan rapat pembangunan Gereja Kayu, Siosar, 23/01/2021 (Dokpri)
Oleh sebab itu jemaat berkeinginan untuk membangun gereja. Gereja ini nantinya sekaligus juga diharapkan akan dapat mendukung perkembangan sektor pariwisata desa Siosar sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Karo.

Ia menjelaskan sebuah gambaran terkait dengan realitas kehidupan wajah asli Siosar saat ini dalam perkembangannya sejak pertama kali mereka pindah ke tampat ini pada sekitar lima tahun yang lalu. Mereka setiap kepala keluarga mendapatkan jatah 5.000 m2 lahan olahan untuk bertani, dan satu unit rumah permanen berukuran 5x5 m2, dengan lahan rumah berukuran 5x10 m2.

Seiring berjalannya waktu, pemuda-pemudi warga kedua desa yang beranjak dewasa, kemudian menikah, membangun rumah tangga. Rumah tinggal yang tersedia, bagaimana akan dibagi untuk ditempati oleh dua kepala keluarga. Lahan pertanian selanjutnya entah harus dibagi menjadi berapa guna diusahai bersama untuk menyambung hidup dan harapan bersama.

"Bagaimana kondisi ini akan mampu mendukung kesinambungan kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga di kawasan relokasi Siosar dalam jangka panjang?" tanya pak Pelawi. Sesaat kemudian, dia sendiri juga yang memberikan jawaban, dengan intonasi bernada asumsi dan dengan gaya bahasa praduga.

Masa depan bagi Siosar tak lain menurutnya, adalah dari nilai tambah sektor pariwisata yang berkesinambungan. Terkandung dalam makna ini adalah pariwisata yang selaras dengan alam. Pengelolaan sumber daya pariwisata yang terbarukan. Atau dalam bahasa pak Pelawi adalah "pariwisata yang tidak ada habis-habisnya."

Siosar adalah salah satu contoh gambaran semangat toleransi dan kerukunan. Sudah seharusnya toleransi dan kerukunan itu bukan hanya antara jemaat dalam satu gereja saja, atau antarumat beragama saja, atau antarsesama manusia saja, tapi juga dengan alam lingkungan tempat tinggalnya yang mungkin sudah ribuan tahun sudah lebih dahulu ada di sana.

Sekalipun warga Siosar adalah masyarakat yang sedang dan masih akan terus bergerak bangkit setelah sempat terpuruk oleh bencana, semangat mereka kiranya dapat tetap tumbuh dalam kebersamaan dan pergaulan yang penuh dengan kehangatan. Membangun harapan dari negeri di atas awan.

Salah satu sudut kawasan relokasi Siosar, dengan latar Gn. Deleng Sibuaten
Salah satu sudut kawasan relokasi Siosar, dengan latar Gn. Deleng Sibuaten

"Adakah kekuatan yang lebih besar, daripada semangat hidup seseorang yang mendapati bahwa dia memperoleh kesempatan kedua untuk tetap hidup setelah sebelumnya dirundung bencana dan persoalan nyata, bahkan mengancam nyawa dan masa depannya sendiri?"

Kiranya, semangat dan harapan yang tumbuh dan berkembang dari realitas seperti itu adalah sebuah khotbah yang hidup. Menggema walaupun tidak diucapkan dengan lantang dari sebuah mimbar yang agung dan tampak suci.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun