Kesaksian dari seorang penatua, pelayan jemaat GBKP Siosar ini, kiranya juga mewakili suara hati jemaat khususnya dan warga pengungsi umumnya. Kesaksiannya saya saksikan ketika mengikuti ibadah singkat yang dirangkaikan dengan rapat panitia pembangunan gedung gereja Majelis Jemaat GBKP Bekerah Simacem di Siosar, pada Sabtu, 23 Januari 2021 kemarin.
Dia adalah bapak Mbiri Sembiring Pelawi. Katanya, "Bangunan gereja kayu yang sudah berumur lebih kurang 2 tahun ini sudah hampir tidak layak, karena kayu-kayunya sudah mulai lapuk."
Ia menjelaskan sebuah gambaran terkait dengan realitas kehidupan wajah asli Siosar saat ini dalam perkembangannya sejak pertama kali mereka pindah ke tampat ini pada sekitar lima tahun yang lalu. Mereka setiap kepala keluarga mendapatkan jatah 5.000 m2 lahan olahan untuk bertani, dan satu unit rumah permanen berukuran 5x5 m2, dengan lahan rumah berukuran 5x10 m2.
Seiring berjalannya waktu, pemuda-pemudi warga kedua desa yang beranjak dewasa, kemudian menikah, membangun rumah tangga. Rumah tinggal yang tersedia, bagaimana akan dibagi untuk ditempati oleh dua kepala keluarga. Lahan pertanian selanjutnya entah harus dibagi menjadi berapa guna diusahai bersama untuk menyambung hidup dan harapan bersama.
"Bagaimana kondisi ini akan mampu mendukung kesinambungan kehidupan masyarakat, keluarga-keluarga di kawasan relokasi Siosar dalam jangka panjang?" tanya pak Pelawi. Sesaat kemudian, dia sendiri juga yang memberikan jawaban, dengan intonasi bernada asumsi dan dengan gaya bahasa praduga.
Masa depan bagi Siosar tak lain menurutnya, adalah dari nilai tambah sektor pariwisata yang berkesinambungan. Terkandung dalam makna ini adalah pariwisata yang selaras dengan alam. Pengelolaan sumber daya pariwisata yang terbarukan. Atau dalam bahasa pak Pelawi adalah "pariwisata yang tidak ada habis-habisnya."
Siosar adalah salah satu contoh gambaran semangat toleransi dan kerukunan. Sudah seharusnya toleransi dan kerukunan itu bukan hanya antara jemaat dalam satu gereja saja, atau antarumat beragama saja, atau antarsesama manusia saja, tapi juga dengan alam lingkungan tempat tinggalnya yang mungkin sudah ribuan tahun sudah lebih dahulu ada di sana.
Sekalipun warga Siosar adalah masyarakat yang sedang dan masih akan terus bergerak bangkit setelah sempat terpuruk oleh bencana, semangat mereka kiranya dapat tetap tumbuh dalam kebersamaan dan pergaulan yang penuh dengan kehangatan. Membangun harapan dari negeri di atas awan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!