Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hidup Ini adalah Kesempatan, Bersyukur Hidup Jadi Berkat

12 Januari 2021   00:14 Diperbarui: 12 Januari 2021   05:06 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Fajar pagi 1 Januari 2021, Kacinambun Highland, Karo (Dokpri)

Tidak selamanya kita muda
Tidak selamanya kita kuat
Tidak selamanya kita jaya
Tidak selamanya kita hidup


Ini adalah sebait kutipan permenungan dari Pdt. Wilhelmus Latumahina saat merasakan dukacita oleh karena kehilangan putranya (yang baru lulus SMA), karena sebuah peristiwa kecelakaan. Pdt. Wilhelmus adalah seorang Gembala Sidang GBI Betsaida di Serpong, Tangerang. Peristiwa kecelakaan itu juga merenggut sukacita keluarganya.

Permenungan Akhir Tahun

Sejak tanggal 29 Desember 2020 hingga malam pergantian tahun di 31 Desember 2020 yang lalu, saya bersama keluarga memilih untuk merenungi hari-hari akhir satu tahun berjalan pada 2020 di sebuah rumah mungil di atas bukit. Bukit yang dinamakan Kacinambun Highland.

Bukan saja sekadar merenungi kesementaraan hidup, rasanya perenungan dalam privasi, yang tentu saja berarti mengambil jarak dari kerumunan dan keramaian, adalah sesuatu yang penting dalam masa-masa sulit akibat pandemi seperti pada tahun 2020 yang lalu. Perayaan dalam keramaian, kegiatan apa pun itu, bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Rindu pun terkadang harus disimpan, sebab tidak mudah dan tak selalu aman untuk bepergian.

Dalam kenyataan keseharian dengan berbagai pembatasan dan penyesuaian selama hampir setahun, banyak hal yang tak lagi sama dan mungkin tak akan lagi pernah sama untuk selanjutnya. Bahkan bila pandemi (yang semoga saja) akan segera berakhir, kita mungkin sudah terbiasa dengan apa yang sudah berlangsung lama, dan oleh sebab itu menyesuaikan diri dengannya. Baik bagi anak sekolah, berbagai jenis pekerjaan, hiburan, wisata, maupun peribadatan, dan hal-hal lainnya.

Pada 31 Desember 2020, kebaktian malam pergantian tahun kami lakukan lebih awal. Pukul 20:00 WIB, setelah makan malam, kami anak-anak dan menantu Bapak dan Mamak, adik-adiknya, sepupu, bersama cucu-cucunya, tenggelam dalam kebaktian singkat dan sederhana, di tengah sunyinya malam yang dibalut hawa dingin alam pegunungan, di sebuah rumah yang mungil.

Foto: Rumah mungil
Foto: Rumah mungil
Bukan karena apa-apa, tapi kami yang setiap tahun melakukan kebaktian pergantian tahun pada pukul 24:00 WIB, seringkali kaget dengan bunyi ledakan petasan, mercon, dan kembang api yang menggema dan bertalu-talu memenuhi setiap sudut kota setiap tahunnya. Lagi pula sesekali mungkin perlu juga melihat gemerlap kembang api malam pergantian tahun yang dirayakan di seluruh dunia, tentu saja dengan caranya masing-masing.

Pukul 21:00 WIB kebaktian malam pergantian tahun itu pun usai. Selanjutnya, masing-masing orang melakukan aktivitasnya masing-masing menunggu pukul 24:00 WIB. Anak-anak memilih menonton televisi dan bermain gim.

Malam itu, bagaimana pun anak-anak lebih bebas. Selain karena malam itu adalah momen sukacita, juga karena kami berada di rumah kakek dan nenek anak-anak.

Saya sendiri memilih berdiang di sebuah tungku dengan beberapa kayu bakar yang membara. Dalam perenungan itu semakin nyata bahwa kesehatan, baik pribadi dan keluarga, adalah investasi yang paling mahal. Setidaknya begitu dari pengalaman sepanjang tahun 2020 yang baru berlalu.

Berdiang sambil membakar jagung (Dokpri)
Berdiang sambil membakar jagung (Dokpri)
Hidup Ini adalah Kesempatan

Bahwa hidup ini memang adalah sebuah kesempatan. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, sampai tahun-tahun kehidupan sesungguhnya adalah sebuah kesempatan yang dianugerahkan oleh Tuhan.

Dikutip dari akun YouTube Keluarga Besar GBI Medan Plaza, dijelaskan pada deskripsi lagu bahwa dari permenungannya atas peristiwa itu melahirkan sebuah kesaksian hidup melalui sebuah lagu yang indah dan sangat menguatkan.

Kesempatan dalam kesementaraan hidup di dunia ini pun hanya bisa diperoleh oleh karena kasih dan kemurahan hatiNya. Kisah inilah yang menjadi latar belakang sebuah lagu yang berjudul "Hidup Ini adalah Kesempatan" yang diciptakan oleh Pdt. Wilhelmus Latumahina pada tahun 2004.

Selanjutnya lagu ini digubah liriknya oleh Pdt. Dapet Y. Surbakti, di mana lirik versi gubahan ini yang lebih sering dinyanyikan dalam ibadah-ibadah, perayaan-perayaan, dan berbagai acara pada saat ini. Tentu saja, kegiatan-kegiatan itu lebih banyak secara virtual akibat pandemi.

Saya merasakan bahwa perbedaan gubahan lirik dari kedua versi lagu ini sebenarnya saling melengkapi. Pada lirik lagu versi Pdt. Wilhelmus, ada lirik pada bait 1 yang berbunyi, "Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b'ri, hidup ini hanya sementara." Sementara itu pada gubahan versi Pdt. Dapet, menjadi "Jangan sia-siakan apa yang Tuhan beri, hidup ini harus jadi berkat."

Begitupun pada versi asli yang digubah oleh Pdt. Wilhelmus, ada bait 2 lagu dengan lirik seperti ini:

Sekuntum bunga di pagi hari
Mekar indah harum di padang yang hijau
Demikian Tuhan mendandani rumput
Gugur bunga bila panas terik

Bila boleh menafsirkan nafas dan jiwa lagu dalam versi asli ini, maka tak heran mengapa hakekat kesementaraan hidup duniawi sangat tampak di sini. Rasa kehilangan yang sangat mendalam akibat kehilangan putranya dalam usia yang masih sangat muda tentu saja mewarnai rasa dalam lirik lagunya.

Kesementaraan dalam lagu itu diwakili oleh waktu dan usia muda. Hal itu diwakili oleh gambaran sekuntum bunga yang mekar di pagi hari dan rumput di padang yang hijau, tapi akan gugur bila hari panas terik.

Sementara itu pada versi gubahan Pdt. Dapet, nafas dan jiwa lagu didorong menjadi ungkapan syukur atas segala sesuatu yang bisa dialami dan dijalani dalam hidup sebagai berkat Tuhan. Oleh karena itu hidup pun harus menjadi berkat.

Tulisan ini bukan membahas polemik yang ada dalam berbagai tafsir atas kisah lahirnya lagu dan makna lirik-liriknya. Namun, makna dalam lirik lagu ini sungguh luar biasa dan sangat meneguhkan. Bahwa orang-orang tua lanjut usia di kampung kami ini pun sangat menghapal liriknya dan mampu menyanyikannya, adalah beberapa bukti bahwa makna lagu ini sangat mengena bagi mereka.

Setiap ada paduan suara yang melibatkan orang tua lanjut usia, seringkali lagu ini menjadi pilihan atau lagu wajib yang dinyanyikan. Namun, tentu saja lagu ini tidak terbatas hanya dinyanyikan oleh orang tua yang lanjut usia.

Tahun Baru, Akhir Tahun sebagai Awal

Tak terasa, pukul 24:00 Wib pun tiba. Saya bersama istri, anak-anak, dan seorang sepupu, entah bagaimana telah berada di bawah gempuran gemerlap kembang api. Selain menggelegar juga tampak indah, walaupun hanya berlangsung sementara. Untuk ukuran sebuah pesta, menurutku itu cukup lama juga.

Pesta kembang api di Zia Coffee, Kacinambun Highland (Dokpri)
Pesta kembang api di Zia Coffee, Kacinambun Highland (Dokpri)
Saya sendiri baru pertama kali menyaksikan pesta kembang api semarak seperti itu, langsung dengan mata kepala sendiri. Bukan saja karena semaraknya pengalaman pertama ini, tapi demi merenungi hari-hari tak mudah yang telah dilewati, hingga tiba pada tanggal 1 Januari 2021, pukul 01:15 WIB saat itu, ada juga rasa haru.

Dalam rasa haru, meskipun keseruan kembang api belum berlalu, aku menuliskan sebuah kesan dan mengirimkannya kepada orang-orang yang untuk mereka hatiku tergerak mengirimkannya.

Fajar pagi di Kacinambun Highland (30/12/2020) - Dokpri
Fajar pagi di Kacinambun Highland (30/12/2020) - Dokpri
Selamat menyambut tahun yang baru. Suka duka selama setahun di 2020, akan segera berlalu menjadi kenangan.
Banyak yang menyenangkan, tapi tak sedikit juga pergumulan, duka cita, dan persoalan yang membuat penat, tapi sekaligus mendewasakan.
Semoga di tahun yang baru, 2021, segala harapan untuk kebaikan dan keberhasilan kita semuanya, kiranya diberkati Tuhan. Teriring salam hangat dan doa.

Ya, "...bila saatnya nanti, 'ku tak berdaya lagi, hidup ini kiranya sudah menjadi berkat."

Saya malam itu mengingat sebuah kisah ketika suatu hari Clarence B. Kelland (seorang penulis berkebangsaan Amerika, 11 Juli 1881-18 Februari 1964) menceritakan sebuah cerita tentang ayahnya, katanya: "Ayahku tidak memberitahuku bagaimana caranya hidup, tapi ia menjalaninya dan membiarkanku melihat bagaimana dia melakukannya." Dan dari kisah yang sudah sangat tua itu, aku membayangkan bahwa ayah Clarence pasti sudah menjadi berkat. Semoga juga begitu denganku.


HIDUP INI ADALAH KESEMPATAN
Cipt. Pdt. Wilhelmus Latumahina

Hidup ini adalah kesempatan
Hidup ini untuk melayani Tuhan
Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan b'ri
Hidup ini hanya sementara

Sekuntum bunga di pagi hari
Mekar indah harum di padang yang hijau
Demikian Tuhan mendandani rumput
Gugur bunga bila panas terik

Reff...

Oh Tuhan pakailah hidupku
Selagi aku masih kuat
Bila saatnya nanti,  'ku tak berdaya lagi
Hidup ini sudah jadi berkat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun