Akhir tahun menjelang, ada sedikit jeda untuk liburan. Sudah ada ide mau liburan akhir tahun kemana? Bila masih belum, barangkali ke Siosar adalah salah satu alternatif yang patut dicoba.
Dengan mengetikkan kata "Siosar" pada mesin peramban di internet, maka akan sangat mudah menemukan berbagai informasi tentang tempat ini. Saya saja sudah ada menuliskan setidaknya tiga artikel khusus tentang tempat yang satu ini di Kompasiana. Terkait hal itu bisa di baca di sini, di sini dan di sini. Hehe.
Ada Apa dengan Siosar?
Siosar adalah kawasan relokasi bagi tiga desa yang berada dalam radius terdekat dengan Gunung Sinabung, yang menurut penilaian otoritas lembaga pemerintah dalam bidang bahaya bencana kegunungapian harus ditutup secara permanen sebagai kawasan hunian. Ketiga desa itu adalah Bekerah, Simacem dan Sukameriah.
Rekomendasi relokasi ketiga desa ini tercetus pada tahun 2014, dan dieksekusi menjadi sebuah tindakan konkret setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk memberikan izin pembebasan kawasan hutan produksi Siosar, yang termasuk wilayah Desa Kacinambun Kecamatan Tigapanah, untuk dijadikan lahan permukiman dan lahan pertanian bagi seribuan lebih warga dari ketiga desa tersebut.
Kawasan relokasi Siosar ini berada pada ketinggian 1490-1562 meter di atas permukaan laut. Maka tidak heran bila sejauh mata memandang, kita akan disuguhi hijaunya kawasan hutan pinus, yang konon adalah salah satu yang terluas di Indonesia, dengan panorama bukit dan pegunungan yang sangat indah, dan hawa yang sejuk berangin.
Tidak jauh dari gerbang menuju kawasan relokasi Siosar juga ada sebuah kawasan destinasi baru yang cocok bagi para pelancong atau yang sekadar mencari ketenangan. Namanya adalah Kacinambun Highland.
Nama Kacinambun sendiri merupakan nama sebuah desa yang dilewati sebelum menuju kawasan relokasi Siosar ini. Di tempat ini sudah berdiri berbagai jenis bangunan villa dengan berbagai ukuran dan tarif sewa yang disesuaikan. Bentuknya unik dan artistik, cocok menjadi tempat liburan bagi keluarga selama liburan akhir tahun.
Mengapa perlu ke Siosar?
1. Di sana ada keindahan
Sudah barang tentu, dengan ketinggian 1490-1562 meter di atas permukaan laut, menempatkan kawasan ini menjadi salah satu tempat tertinggi di Kabupaten Karo. Panorama pemandangan yang tersaji juga menawan, terutama saat matahari terbit dan matahari terbenam.
Namun, bukan seperti di laut, arak-arakan lapisan awan yang tampak berada di bawah kaki saat pagi hari, dan siluet awan menyaput langit saat matahari akan segera tenggelam pada sore hari, adalah sedikit dari berbagai keindahan alam lainnya yang dapat disaksikan dari tempat ini.
Â
2. Di sana ada semangat baru untuk bangkit dari reruntuhan
Masyarakat Siosar adalah kesatuan masyarakat adat yang eksodus dari beberapa desa yang dulunya terletak di kaki Gunung Sinabung. Kini desa-desa itu, Simacem, Bekerah, dan Sukameriah, telah hilang diselimuti debu tanah vulkanik yang datangnya dari dalam perut bumi melalui kawah Gunung Sinabung.
Simacem, Bekerah, dan Sukameriah, ketiga desa tersebut, seolah menjadi benteng dari terjangan abu vulkanik yang panas, beserta lava pijar yang membakar setiap benda yang dilaluinya, maupun benteng atas lahar dingin yang menyapu segala hal yang menghalangi jalur alirannya.
Ketiga desa ini kini nyaris menjadi rata dengan tanah. Bila masih ada tersisa tanda-tanda yang menunjukkan kalau dulunya itu adalah sebuah desa, mungkin hanya beberapa rumah dengan kerangka-kerangka yang telah lapuk dan menyiratkan kepiluan, sunyi.
Namun, sejak direlokasi ke Siosar, masyarakat pengungsi dampak erupsi Gunung Sinabung ini, mulai bangkit pelan-pelan. Mereka beradaptasi dengan alam lingkungan tempat tinggalnya yang baru. Banyak yang menanam kopi sebagai komoditi unggulan sekaligus menandai semangat baru untuk bangkit dari reruntuhan, menuju hari depan penuh harapan.
Di kawasan relokasi Siosar ini memang berdiri beberapa rumah ibadah, baik gereja untuk Protestan, Katolik, maupun Mesjid untuk umat muslim. Namun, simbol toleransi dan kerukunan itu bukan sebatas rumah ibadah yang berdiri berdekatan karena memang juga ada umat pemeluknya dari ketiga desa yang telah tercerabut dari tempat asalnya itu.
Toleransi dan kerukunan di tempat ini tampak dalam keseharian. Selain karena masyarakat Karo memang diikat erat dalam hubungan kekerabatan dengan falsafah hidup beradat dan berbudaya, kerukunan itu juga tampak hingga hal-hal yang paling kecil.
Taruhlah misalnya, seorang wanita remaja mesjid yang bekerja sebagai barista di sebuah kafe mungil nan unik milik seorang pendeta protestan. Ia bekerja dengan suka cita dan menerima kami yang minum ke tempat itu dengan senyum manisnya.
4. Di sana ada harapan
Masyarakat yang tekun bertani kopi, bekerja bersama dalam rasa persaudaraan dan semangat kerukunan meskipun berbeda iman, termasuk semangat kerja sama membangun desa sebagai desa wisata yang dikelola oleh kelompok sadar wisata Siosar, itu adalah beberapa pancaran sinar harapan untuk kehiudpan masyarakat Siosar yang sesungguhnya. Meskipun perlahan, tapi mereka mulai belajar dan melangkah menuju tanah harapan. Wajah negeri di atas awan yang sesungguhnya ada di Siosar.
Meskipun bukan zona bebas sesukanya, sebab pandemi masih melanda dunia, kamu tidak perlu juga setiap saat melakukan semprot-semprot disinfektan. Sebab di tempat ini angin kencang, dan tanah terbuka masih cukup luas untuk membuatmu bisa mengatur jarak.
Kalau kamu belum menentukan pilihan, pilihlah jalan-jalan ke sini.
Referensi:
Sahat P. Siburian & Deonal Sinaga, Kabar dari Tanah Karo Simalem, Kiprah GBKP Melayani Korban Bencana Letusan Gunung Sinabung, Kabanjahe: Moderamen GBKP, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H