Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sapu Ijuk dan Seorang Bapak Tua

19 Desember 2020   11:26 Diperbarui: 19 Desember 2020   13:49 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabanjahe pada pagi hari (dokpri)

Dengan kata lain, perlu menjual sekitar 2 batang sapu ijuk atau 7 batang sapu lidinya demi 30 butir telur ayam eropa. Atau harus menjual 4 batang sapu ijuk demi 1 kg daging lembu, atau 15 batang sapu lidi demi 1 kg daging babi.

Sementara itu, dalam setiap harinya, bapa Beraksi ini hanya mampu menjual 1 sapu lidi dan dua sapu ijuk, atau 2 sapu lidi 1 sapu ijuk. Tidak menentu.

Tidak saja demi telur dan daging, bapak tua ini tentu harus menjual sapu-sapu buatan orang lain itu, demi menyambung hidupnya, yang sudah lewat setengah abad. Erupsi gunung api, pandemi covid-19 hanya dua hal besar, dari sekian banyak peristiwa yang turut menerpa kampungnya, yang sudah ia saksikan dan jalani dalam hidup.

Bagaimana pun, usianya hanya selisih 3 tahun lebih muda dari usia kemerdekaan republik ini. Kuat dugaanku kalau nama anak sulungnya itu tidak jauh dari peristiwa aksi revolusi yang mengiringi kelahiran dan pengalaman pertumbuhannya sejak masih muda dulu.

Nama itu bisa juga berasal dari aksi perjuangannya dalam memberi hidup pada keluarganya.

Aku bukan mewawancarainya, hanya berbincang sebagai dua insan manusia yang berasal dari masa yang berbeda, tapi masih menjejak langkah pada bumi yang sama. Aku hanya menunggu istri berbelanja di pasar, berjongkok di emperan toko sambil berbincang dengan bapak tua yang masih belum berhenti menantang kerasnya hidup ini.

Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok adalah hal yang tersisihkan dalam bincang singkat kami. Ya, manusia yang hidup pasti tak bisa berhenti bekerja.

Kabanjahe pada pagi hari (dokpri)
Kabanjahe pada pagi hari (dokpri)
Hidup untuk bekerja atau bekerja untuk hidup adalah lukisan realisme sosial pada permukaan kanvas yang abstrak, tapi dalam rasa yang nyata. Ia tidak saja sekadar diskursus, tapi realitas saling berkebalikan yang saling melengkapi, atau bisa juga saling menjerat.

Ya, Pak, hidup harus terus berjalan sampai pada akhirnya. Aku hanya membeli sebatang sapu ijuknya, yang jadi hanya tersisa satu itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun