Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengawinkan Makanan, Musik, Lagu, dan Bahasa dalam Pernikahan Lintas Budaya

29 November 2020   15:04 Diperbarui: 30 November 2020   12:36 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menari bersama (Dokumentasi pribadi)

Sabtu, 28/11/2020, kemarin saya berkesempatan menghadiri pesta adat pernikahan anak salah seorang kerabat kami dari klan marga Tarigan Tua, salah satu sub marga Tarigan. 

Tarigan adalah salah satu dari lima marga yang ada pada suku Karo, yang disebut dengan "Merga Si Lima". Empat marga lainnya adalah Karo-Karo, Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin.

Ini kedua kalinya saya menghadiri pesta adat di masa pandemi. Tentu saja pelaksanaannya dengan menerapkan protokol kesehatan. Meliputi waktu pelaksanaan acara yang dipersingkat, penggunaan masker, salam hangat yang tidak lagi dalam jabat tangan erat, tapi cukup dengan mengatupkan kedua telapak tangan sebagai simbol salam sehat nan hangat, serta jumlah undangan yang dibatasi. 

Bila sebagian foto menunjukkan masker yang tidak terpasang sempurna, itu dikarenakan aktivitas yang membutuhkannya demikian, seperti saat bernyanyi, makan, atau berbicara (soal adat).

Namun, ulasan kali ini bukanlah soal protokol kesehatan dalam pesta adat pernikahan, melainkan mengenai makan-makan, musik, bahasa, dan tarian dalam balutan tradisi lintas budaya. 

Ya, kami yang menikahkan anak kerabat saya ini sebagai mempelai wanita adalah suku Karo, sementara mempelai pria bermarga Simarmata dari suku Batak Toba. Dalam pesta adat ini, sang mempelai pria sudah disahkan menjadi sama dengan marga Ginting pada suku Karo.

Simbol-simbol Budaya dalam Adat Pernikahan

Pada budaya Karo, dalam adat pernikahan juga dikenal mahar atau tukur dalam bahasa Karo. Saat ini, tukur atau mahar itu sudah lebih dipandang sebagai sekadar simbol, tapi akan jadi sangat fatal nilai kesalahannya apabila hal ini disepelekan.

Tukur itu dinyatakan dalam bentuk uang, dengan nilai tertentu. Biasanya Rp666.000, Rp886.000, atau Rp986.000, tergantung skala ukuran pesta yang akan digelar. Namun, mengingat suasana pandemi seperti saat ini, tidak ada dilakukan pesta-pesta besar.

Mengapa banyak atau harus ada angka 6 nya, ya? Angka 6 punya nilai khusus bagi orang Karo. Angka 6 (enam), berarti gelem atau enam (bahasa Karo). Maksudnya adalah, menggenggam, atau mengiyakan, atau mengaminkan doa harapan atas segala hal yang baik bagi pihak yang didoakan.

Selain mahar atau tukur dalam bentuk uang itu, ada juga pemberian atau bingkisan adat dari pihak kalimbubu (klan marga asal mempelai perempuan yang dipandang sebagai sumber berkat atau pemberi kehidupan). Bingkisan adat atau disebut "luah" itu biasanya berbentuk barang-barang perkakas rumah tangga sebagai simbol dari makna tertentu.

Adalah lampu teplok, atau disebut "tendang", adalah simbol berkat dari kalimbubu yang akan menerangi kehidupan kedua mempelai. Tikar anyaman yang disebut "amak tayangen", simbol dari perlunya kedua mempelai menyediakan tempat dan waktu untuk berbincang-bincang untuk kebaikan rumah tangganya. 

Beras, yang ditempatkan di dalam sumpit (wadah dari anyaman), simbol harapan agar kedua mempelai memiliki bekal untuk menjamu siapa saja yang akan datang bertamu ke rumah mereka. Lalu ada "amak kapal" atau tilam.

Bila dilihat dari sisi Batak Toba juga hampir sama. Pihak kalimbubu yang disebut hula-hula itu juga datang membawa beras dalam sebuah sumpit yang berukuran sangat tinggi, disebut Tandok. Tandok itu berisi beras.

Bingkisan adat dalam pesta pernikahan (Dokumentasi pribadi)
Bingkisan adat dalam pesta pernikahan (Dokumentasi pribadi)

Sama dengan manfaat "beras piher" pada suku Karo, berkat yang ditunjukkan dengan menghamburkan sejumput beras ke udara dan mendarat di atas kepala (rambut) atau menyentuh raga dari para hadirin, adalah gamabaran doa berkat untuk meneguhkan hati siapa saja yang diberkati dalam menjalani kehidupan.

 Makanan, Musik, Lagu dan Bahasa Lintas Budaya

Selain itu, dalam hal makanan dari sisi Batak Toba, ada juga yang disebut "Jabbar" dari daging babi. Jabbar dibagikan sebagai simbol bagi-bagi berkat bagi pihak-pihak keluarga yang patut dihormati.

Jabbar (Dokumentasi pribadi)
Jabbar (Dokumentasi pribadi)
Membagikan jabbar (Dokumentasi pribadi)
Membagikan jabbar (Dokumentasi pribadi)
Kemudian ada juga "Nurung sampur pinggan", yang bila diterjemahkan bebas artinya "ikan besar yang melampaui pinggan/nampan". Itu adalah simbol berkat dari kalimbubu (hula-hula, Toba) yang dalam suku Karo disebut juga "dibata ni idah", tuhan yang terlihat, sebagai saluran berkat bagi "anak beru", yakni pihak yang meminang mempelai wanita.

Nurung sampur pinggan (Dokumentasi pribadi)
Nurung sampur pinggan (Dokumentasi pribadi)
Selain itu ada juga sajian "manuk sangkep" (suku Karo), atau disebut juga "manuk ni atur" (suku Toba) yang dikhususkan bagi kedua mempelai. Sajian itu berbahan daging ayam kampung yang dimasak khusus dengan tata cara dan rempah tradisional, utuh, khusus untuk simbolisasi doa berkat.

Manuk sangkep dan Nurung sampur pinggan untuk Pengantin (Dokumentasi pribadi)
Manuk sangkep dan Nurung sampur pinggan untuk Pengantin (Dokumentasi pribadi)
Selain akulturasi makanan, pernikahan lintas budaya (sebagaimana pada pernikahan suku Karo dan Toba ini) juga merupakan pernikahan seni dalam musik, lagu, dan bahasa.

Musik kolaborasi ini, mengkawinkan hentak rancak nan bersemangat dari "Gondang Sembilan" Toba dan mistisnya alunan suara dan aura "Sarune" (sarunai) dan "Kulcapi" (kecapi) Karo, membuat jiwa menggeletar dan kontak ingin menari, dalam irama tarian "Tortor" Toba dan "Landek" Karo. 

Entah karena sudah hampir 9 bulan saya tidak menari di acara adat, suasana ini membuat saya terharu dan merinding.

Kolaborasi musik lewat gondang dan sarune (Dokumentasi pribadi)
Kolaborasi musik lewat gondang dan sarune (Dokumentasi pribadi)
Meskipun beberapa instrumen sudah dalam bentuk rekaman komposisi digital, bukan lagi tiupan sarune asli, saya merinding setiap kali melihat ada orang tua yang mampu menari menghayati irama musik, yang terkadang mengiris hati, terkadang rancak, seolah itu melagukan kehidupan para leluhur dari masa lalu yang sangat jauh.

Menari bersama (Dokumentasi pribadi)
Menari bersama (Dokumentasi pribadi)
Menari bersama (Dokumentasi pribadi)
Menari bersama (Dokumentasi pribadi)
Sebaik-baik Budaya adalah yang Mampu Memenuhi Kebutuhan Bersama

Setiap orang tetap memiliki hak pribadi yang patut dihormati. Untuk menikmati dan mengonsumsi baik makanan, musik, lagu, maupun bahasa sesuai seleranya, dalam bingkai adat budaya yang tetap saling menghormati.

Dalam artian ini termasuk di dalamnya alasan-alasan pribadi dan komunal, baik alasan religius, kesehatan dan keyakinan-keyakinan ideologis lainnya yang membuatnya memantangkan sesuatu di satu sisi, dan menghalalkan sesuatu yang lain di sisi lainnya. Semuanya mendapatkan tempat, dan tetap mendapat pengakuan terhormat.

Adat dan budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia untuk memenuhi kebutuhan bersama. Tidak saja kebutuhan fisik atau biologis, tapi juga kebutuhan jiwa.

Adat dan budaya adalah kreasi manusia yang berawal dari imajinasi, meningkat menjadi ideologi, dan oleh karenanya berlaku menjadi nilai-nilai yang menginstitusi (melembaga). Dari sanalah manusia merumuskan pola interaksinya yang berperan mewariskan nilai-nilai itu dari generasi ke generasi, dan dalam perkembangannya membutuhkan improvisasi untuk memenuhi kebutuhannya, yang turut berubah dan berkembang sesuai zamannya.

Adakah yang bisa mengklaim dirinya sebagai yang paling murni dalam hal ini? Kalau manusia terkadang tidak bisa memilih takdirnya untuk mencintai apa dan siapa dalam hidupnya?

Persis seperti petuah cinta, jangan karena cinta maka dirasa harus memiliki, memaksakan nilai diri sendiri sebagai suatu yang harus juga dimiliki pihak lain. Namun, cintailah apa yang patut dan saat ini masih sempat dimiliki.

Bukankah cinta terkadang tidak bisa memilih dan cinta sesekali tidak berarti harus memiliki?

Kalau ungkapan itu dirasa terlalu mengada-ngada dan tak masuk akal, sekali lagi itu hanya menegaskan bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksud dalam tulisan ini terbukti hanyalah hasil dari imajinasi. Namun, imajinasi yang berhasil kita lihat bersama-sama adalah sesuatu yang menjadi ideologi kita bersama nantinya.

Sebaik-baiknya manusia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, adalah yang paling berguna bagi sesamanya. Di sana, harusnya "guna" mengatasi segala sekat yang mungkin muncul, yang sebenarnya juga hanyalah hasil imajinasinya.

Menjadi berguna terkadang tidak lahir dengan sendirinya, tapi lahir dari perjuangan. Oleh sebab perjuangan membutuhkan pengorbanan, bagaimana pun berjuang bersama lebih baik dari pada sendiri-sendiri.

Meskipun hidup bukanlah pasar malam, sebagaimana kata Pramoedya, dalam perjuangan hidup itu pun kita pada kenyataannya akan pergi sendiri-sendiri, sebagaimana datangnya juga sendiri-sendiri. 

Kita hanya bertemu sesaat dalam gumunan hidup dan pertunjukan sesaat, dengan penonton yang terkadang sepi, sesekali berduyun-duyun. Waktu hidup tak panjang, bersahabatlah, mulai dari kita, itu lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun