Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Guru dan Nyala Api Ilmu Pengetahuan di Masa Pandemi

25 November 2020   10:30 Diperbarui: 25 November 2020   10:43 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama para guru, Lau Baleng, Kab. Karo, 20/02/2018 (Dokpri)

Kisah Prometheus, Sebuah Pembuka

Dalam mitologi Yunani, diceritakan bahwa Prometheus adalah makhluk setengah dewa yang mencuri api, yang dikuasai dewa Zeus di Olympus. Prometheus memberikan api itu kepada manusia.

Prometheus dibelenggu ke batu karang oleh karena pencurian itu. Seekor elang besar datang memakan hatinya setiap hari, tapi setiap hari pula hati itu tumbuh kembali, begitulah siksaan itu berlangsung berulang-ulang .

Namun, Prometheus tetap bersikukuh tak mau menyerah. Baginya lebih baik menjadi pelayan karang daripada menjadi anak patuh dewa Zeus. Bagi Karl Marx, kisah Prometheus adalah majas perbandingan untuk semangat humanisme, yang meyakini manusia sebagai subjek otonom, dan sekaligus pembangun dunia.

Api adalah simbol terang, kekuatan, dan semangat. Namun, juga dengan risiko membakar, dan merusak. Paul Ricoeur memandang Marx sebagai guru hermeneutika kecurigaan, sederet dengan Nietzsche, Freud dan Foucault, yang mempertanyakan apa saja yang masuk ke dalam kesadaran.

Tentang Akal Budi dan Kemauan

Menurut Yohanes Calvin, seorang tokoh reformator gereja, dalam jiwa manusia ada akal budi dan kemauan. Tugas akal budi adalah membeda-bedakan hal-hal yang ditemui: benar-salah, baik-buruk, adil-tidak adil. Sementara itu tugas kemauan adalah memilih untuk mengikuti atau menolak apa yang dinilai oleh akal budi.

Kata Calvin, supaya kita tidak terjerat dalam persoalan-persoalan yang tidak perlu, maka hendaklah cukup bagi kita untuk menganggap akal budi itu sebagai pemimpin dan pengatur jiwa, dan memakai kemauan untuk selalu mengindahkan isyarat dalam keinginannya menanti pendapat dari akal budi.

Saya mengambil kesimpulan dari pandangannya, bahwa kita perlu berpikir dalam memilih guru. Akan ada banyak sekali goncangan pengenalan (shock of recognition) yang akan kita temui dalam perjalanan hidup. Memilih guru  di sini bukan dalam arti pendidikan formal, sebab di sekolah formal justru sebagai murid kita tidak berhak memilih untuk diajar oleh guru yang mana.

Kita perlu memilih guru dalam "sekolah" kehidupan. Sebab tidak jarang kita temukan dalam hidup, dia yang kita pandang seharusnya patut untuk ditiru dan digugu, nyatanya malah menyesatkan. Sebaliknya, ada yang dipandang hina dina tak berharga, tapi daripadanya kita bisa memperoleh hikmat dan kebijaksanaan, seandainya saja kita punya kemauan untuk mengindahkan kata hati dalam membaca isyarat akal budi.

Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa "pahlawan" adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Dalam pengertian ini, bila digabungkan dengan kata "kesiangan", maka pahlawan kesiangan berarti orang yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir; orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri sebagai pejuang.

Pengertian ini tampaknya sejalan dengan pandangan Guru Cai Li Xu, dalam buku Pembahasan Budi Pekerti "Di Zi Gui". Menurutnya pahlawan yang kita butuhkan saat ini adalah dia yang mampu menjadi teladan dalam memberi panduan langkah, dan sumber kebajikan bagi para penerus masa depan.

Dewasa ini, pahlawan dalam artian ini, bukan saja tergambar sebagai sosok yang tidak dikenal dan kurang mendapat perhatian, tapi juga tidak cocok sama sekali dengan gambaran pahlawan yang gagah perkasa. Pahlawan seperti ini lebih sering berada di pihak yang kalah atau mengalah, mulai dari hal-hal yang kecil.

Sekarang bila kita melihat kenyataan yang disejajarkan dengan pandangan ini, bukankah tidak heran bila Guru (guru sekolah formal khususnya) disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa"? Ya, tentu saja. Gelar itu berlaku bagi guru-guru yang mengajar dengan penuh pengabdian, di mana saja, untuk benar-benar mencerdaskan anak bangsa.

Pertanyaannya, (masih) adakah atau siapakah guru yang seperti itu kini? Rasanya para murid, mantan murid, orang tua murid, dan para guru sendiri berhak menjawabnya, sesuai kata hatinya masing-masing.

Agak sulit memahami penyematan gelar "tanpa tanda jasa" kepada guru yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir, yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelahnya menyatakan diri sebagai pejuang. Maafkan murid yang tidak tahu diri ini!

Guru, Cerminan Masa Lalu

Mengutip sambutan kaisar Tang Tai Zong, yang memerintah Tiongkok pada masa dinasti Tang, saat pemakaman Wei Zheng, salah seorang menterinya yang paling setia, bahwa selama dia memerintah dia memiliki 3 cermin.

Cermin yang dimaksudkan kaisar Tang Tai Zong ini, yang pertama adalah cermin yang dia gunakan setiap hari saat mengenakan jubah kekaisaran dan mahkotanya. Cermin yang kedua adalah sejarah para kaisar yang memerintah pada dinasti sebelumnya, dan cermin yang ketiga adalah nasehat para orang bijak seperti nasehat Wei Zheng, menterinya yang dimakamkan hari itu.

Cermin berguna untuk menentukan apa yang terbaik untuk dipakai, untuk dipelajari dan untuk dipilih sebagai keputusan.

Sebagai seorang (mantan) murid dalam memandang gurunya, siapakah guru yang seperti itu menurut pandangan saya? Ada banyak sekali, tentu saja, mulai sejak SD hingga perguruan tinggi. Saya rasa cukuplah saya ambil satu saja.

Saya selalu saja teringat sosok guru pada diri pak Indrarto. Dia adalah seorang dosen, pengajar, pendidik dan pengasuh yang biasa kami panggil pak In, saat menempuh pendidikan di ksatrian Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Bersama Pak Indrarto, Bandung, 2005 (Dokpri)
Bersama Pak Indrarto, Bandung, 2005 (Dokpri)
Dari blog seorang senior, saya mendapat informasi kalau pak In pensiun dari lembaga pendidikan pada tahun 2009 yang lalu. Empat tahun sebelumnya, pada tahun 2005, saya sempat pamit ke rumah pribadinya sambil menyerahkan sebuah "tumbuk lada" sebagai tanda mata. Itu adalah sejenis pisau kecil berukir seperti keris, sebagai simbol bagi seorang ksatria di kampung halaman saya, Tanah Karo.

Bagi saya, Pak In, adalah Pancasila dalam tindakan. Dia tidak memiliki seabrek gelar akademik, tidak juga mewah dalam penampilan. Bahkan kabarnya, begitu pensiun dia langsung keluar dari rumah dinas, dan menyerahkan seluruh inventaris negara, lalu kembali ke kampung halamannya di Yogyakarta. Di sana dia tinggal di sebuah rumah kecil sederhana.

Pak In, tidaklah canggih dalam mengajar. Namun, pada dirinya, saya dan para praja (sebutan bagi peserta didik di STPDN) bisa bercermin bagaimana perkataan bisa menyatu dengan perbuatan, dan melahirkan sesuatu yang patut menjadi teladan.

Menurut saya, dan sejauh pengamatan saya, sosok guru seperti itu adalah sesuatu yang sudah sangat susah ditemukan dewasa ini. Namun, yang pasti guru seperti itu akan selalu dirindukan.

Guru, Cermin di Masa Pandemi

Sekarang bila konteks peringatan hari guru kita seret ke ranah pembahasan terkait pandemi covid-19, maka kita akan bertemu dengan pandangan terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis dalam jaringan (daring, online). Bagaimana kita akan bercermin kepada guru, atau apa pun itu, yang tidak memantulkan citra? Atau haruskah kita terbiasa dengan citra digital seperti saat ini hingga seterusnya di hari-hari ke depan nanti?

Jangan-jangan istilah guru tanpa tanda jasa, lebih tepat diganti menjadi guru dengan kebutuhan dukungan pulsa dan paket data? Murid dan guru hanya bertemu di ruang maya, tak terkecuali di kampung-kampung yang mungkin sangat kecil, dan bahkan nyaris tidak ada kasus infeksi covid-19nya.

Tantangan refleksi dari cermin digital seperti saat ini, adalah tidak jelasnya apa yang disebut sebagai cermin itu sendiri. Tentu hal ini dalam makna metaforis. Apakah telepon genggam, yang didalamnya ada guru? Apakah aplikasi, yang di dalamnya kita bisa menemukan berbagai macam ilmu? Ataukah cermin itu adalah murid itu sendiri, yang harus melakoni peran guru dan murid sekaligus dalam satu pribadi.

Kalau dulu dalam pendidikan klasikal, murid dan guru bertemu langsung dan bertatap muka, maka dalam era pendidikan berbasis digital seperti di masa pandemi saat ini, rasanya tidak ada yang terlalu ambil pusing apakah sudah mandi atau belum, sudah sikat gigi atau belum, sebelum mengikuti live streaming bersama guru, yang juga bisa saja entah mengajar dari mana.

Belum tentu juga, jangan-jangan bukan hanya murid, tapi ada juga guru yang berlaku sama. Bahkan, tidak jarang ramainya meme di media sosial mengindikasikan kalau akal budi manusia kiwari, yang mengamini bahwa busana sekolah kini cukup rapi di atas, sedangkan di bawah tidak peduli walaupun hanya memakai kolor saja. Tokh ruang kelas sekarang hanya sebatas horison layar laptop.

Cermin dua arah ini, tidak lagi secara simetris merefleksikan citra diri dari pemiliknya sendiri. Banyak sekali citra lain yang berbaur dalam ruang maya itu bak hantu. Guru mana yang bisa menjamin, apakah muridnya memang hanya mengerjakan tugas pada saat "tatap muka" maya itu, atau jangan-jangan ia bermain game sambil membiarkan layar telefon genggam atau laptop yang menonton dirinya.

Sekarang kalau mau mengatakan, bahwa itu adalah tugas orang tua untuk memastikannya, itu adalah cara-cara guru yang bak pahlawan kesiangan. Bagaimana tidak! Orang tua juga tetap harus bekerja meskipun sekolah sudah, masih dan mungkin akan masih tetap di rumah saja.

Lagi pula, sindir menyindir pergeseran peran guru dan orang tua, dalam hal mendidik anak seperti masa pandemi ini sangat tidak sehat. "Bagaimana, sudah tahu bagaimana rasanya menjadi guru?" kata pihak guru. "Kami yang mengajar anak kami, tapi uang sekolah jalan terus!" kata orang tua yang anaknya sekolah di swasta. Kalau seperti ini terus, paling-paling anak sekolah asyik main game di tengah polemik ayah ibu dan guru-guru yang asyik berperang kata-kata di media sosial. Lalu kemana lagi anak sekolah bercermin?

Bila pandemi covid-19 ini diandaikan sebagai seleksi alam, maka murid yang selamat dan akan terus berkembang adalah murid yang tetap belajar, ada tidak ada guru. Sekolah kini adalah ruang belajar yang nyaris tanpa "guru", karena setiap murid adalah guru itu sekaligus.

Penutup

Kita bisa pandai, menulis dan membaca karena siapa? Tentu saja karena bapak dan ibu guru yang bak pelita, salah satunya. Selamat gari guru, bapak dan ibu guru kami.

Sebagai murid kami tetap merindu, baik bertatap muka atau lewat teknologi antar muka, agar kalian menjadi mak comblang, hingga ilmu pengetahuan bisa tetap menjadi cinta pertama kami, murid-muridmu yang kecil-kecil dan dekil-dekil ini. Tetaplah jaga nyala api itu, meskipun masih pandemi.

Bersama Pak STG, Guru Fisika Klasik masa SMU (Dokpri)
Bersama Pak STG, Guru Fisika Klasik masa SMU (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun