Saya selalu saja teringat sosok guru pada diri pak Indrarto. Dia adalah seorang dosen, pengajar, pendidik dan pengasuh yang biasa kami panggil pak In, saat menempuh pendidikan di ksatrian Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Bagi saya, Pak In, adalah Pancasila dalam tindakan. Dia tidak memiliki seabrek gelar akademik, tidak juga mewah dalam penampilan. Bahkan kabarnya, begitu pensiun dia langsung keluar dari rumah dinas, dan menyerahkan seluruh inventaris negara, lalu kembali ke kampung halamannya di Yogyakarta. Di sana dia tinggal di sebuah rumah kecil sederhana.
Pak In, tidaklah canggih dalam mengajar. Namun, pada dirinya, saya dan para praja (sebutan bagi peserta didik di STPDN) bisa bercermin bagaimana perkataan bisa menyatu dengan perbuatan, dan melahirkan sesuatu yang patut menjadi teladan.
Menurut saya, dan sejauh pengamatan saya, sosok guru seperti itu adalah sesuatu yang sudah sangat susah ditemukan dewasa ini. Namun, yang pasti guru seperti itu akan selalu dirindukan.
Guru, Cermin di Masa Pandemi
Sekarang bila konteks peringatan hari guru kita seret ke ranah pembahasan terkait pandemi covid-19, maka kita akan bertemu dengan pandangan terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) berbasis dalam jaringan (daring, online). Bagaimana kita akan bercermin kepada guru, atau apa pun itu, yang tidak memantulkan citra? Atau haruskah kita terbiasa dengan citra digital seperti saat ini hingga seterusnya di hari-hari ke depan nanti?
Jangan-jangan istilah guru tanpa tanda jasa, lebih tepat diganti menjadi guru dengan kebutuhan dukungan pulsa dan paket data? Murid dan guru hanya bertemu di ruang maya, tak terkecuali di kampung-kampung yang mungkin sangat kecil, dan bahkan nyaris tidak ada kasus infeksi covid-19nya.
Tantangan refleksi dari cermin digital seperti saat ini, adalah tidak jelasnya apa yang disebut sebagai cermin itu sendiri. Tentu hal ini dalam makna metaforis. Apakah telepon genggam, yang didalamnya ada guru? Apakah aplikasi, yang di dalamnya kita bisa menemukan berbagai macam ilmu? Ataukah cermin itu adalah murid itu sendiri, yang harus melakoni peran guru dan murid sekaligus dalam satu pribadi.
Kalau dulu dalam pendidikan klasikal, murid dan guru bertemu langsung dan bertatap muka, maka dalam era pendidikan berbasis digital seperti di masa pandemi saat ini, rasanya tidak ada yang terlalu ambil pusing apakah sudah mandi atau belum, sudah sikat gigi atau belum, sebelum mengikuti live streaming bersama guru, yang juga bisa saja entah mengajar dari mana.
Belum tentu juga, jangan-jangan bukan hanya murid, tapi ada juga guru yang berlaku sama. Bahkan, tidak jarang ramainya meme di media sosial mengindikasikan kalau akal budi manusia kiwari, yang mengamini bahwa busana sekolah kini cukup rapi di atas, sedangkan di bawah tidak peduli walaupun hanya memakai kolor saja. Tokh ruang kelas sekarang hanya sebatas horison layar laptop.