Ibu adalah sosok yang pertama-tama mengajarkan dan memberikan perhatian atas banyak hal kepada bayinya. Pengajaran dan perhatian ibu itulah yang sangat berperan dalam perkembangan otak kita saat periode emas, 1000 hari pertama kehidupan.
Bila merujuk kepada penjelasan itu, maka karakter manusia dewasa sangat banyak ditentukan oleh bagaimana dia diperlakukan ketika masih bayi, atau bagaimana dia memperlakukan bayinya pada 1000 hari pertama kehidupannya. Bukan salah bunda mengandung memang, tapi manusia bisa saja gagal menjadi manusia karena salah asuhan.
Penanaman nilai, norma dan karakter anak memang sangat bergantung pada peran ibu, walaupun seharusnya begitu juga dengan ayah. Namun, secara umum tampaknya ibulah yang banyak mengurus urusan dalam rumah tangga, termasuk di dalamnya segala hal tentang anak-anak. Sementara itu, ayah lebih banyak mengurus urusan luar rumah.
Begitu halnya secara umum, maka tidak heran bila sering kita mendengar ungkapan bahwa negara kuat jika ibu kuat. Sebab ibu adalah tiang negara. Bagaimana tidak, di tangannya diserahkan tugas mulia untuk menanamkan nilai dan norma, serta membentuk karakter anak. Surga saja di bawah telapak kakinya, bisa dibayangkan semulia apa tangannya?
Namun, sebandingkah bekal yang diberikan kepada seorang ibu, atau wanita yang akan menjadi ibu, untuk mengemban tugas mulia itu? Sebab jika tidak, maka tidak heran juga mengapa negara bisa mudah goyah, karena tiangnya rapuh, tidak kokoh.
Kita sebagai anak, baik laki-laki mapun perempuan, atau sebagai suami (biasanya laki-laki), bisa saja memberikan banyak kesan atas pelajaran hidup yang kita peroleh dari keteladanan ibu. Atau memetik manfaat dari perjuangan yang diberikan oleh istri kepada si buah hati. Namun, apa yang sudah kita berikan kepada ibu atau istri kita untuk dia mampu menjadi ibu yang baik, menjadi tiang negara yang kokoh?
Jawaban dari pertanyaan itu mungkin akan sangat banyak dan beragam. Bisa saja ada yang merasa sudah melakukan dan memberi banyak, tapi pasti tidak sedikit juga yang akan merasa belum melakukan apa-apa kepada ibunya. Setidaknya, bila membayangkan saat ibu mengandung kita selama 9 bulan, dan mempertaruhkan nyawanya saat melahirkan kita.
Dalam realitas sosial budaya keseharian masyarakat suku Karo, dan mungkin saja suku Batak pada umumnya, ibu adalah seorang sosok realis yang berwajah keras. Tidak heran, sebab dari kecil kami terbiasa melihat bahwa ibulah yang paling dulu bangun pagi menantang kerasnya kehidupan.
Selain itu, ibu adalah yang paling bertanggung jawab mengurus semua hal tentang rumah dan anak-anak. Dia memasak, mencuci, membersihkan rumah, menyiapkan anak ke sekolah. Setelah itu barulah dia ke ladang atau sawah.
Sore menjelang malam, pulang dari ladang ibu memasak makan malam, memberi makan ternak, setelah makan malam masih lagi membantu mengajari tugas sekolah/ pekerjaan rumah anak-anak. Lalu di mana ayah?
Bukan mau mengatakan bahwa peran ayah tidak ada sama sekali. Ayah mungkin saja mengerjakan tugas lain yang tidak kurang penting, bahkan mungkin sangat penting dan lebih berbahaya. Namun, kurang terlihat bagi anak-anak, apalagi bagi anak-anak kecil yang lingkungannya masih di seputar rumah saja.
Oleh sebab itu, tidak heran, bagi kami, ibu tampak sebagai sosok dengan pandangan mata yang nyana menghadapi kenyataan sehari-hari, terlepas dari pikiran filosofis yang rumit. Setiap kali ada waktu luang, matanya akan segera menjadi sayu. Ibu mengantuk, karena sudah puas ditindih beban penat kehidupan sejak ayam berkokok hingga jangkrik mengkrik-krik. Ditindih beban berat sejak matahari belum terbit hingga terbenam lagi, dari kegelapan ke kegelapan lainnya, begitulah.
Di saat yang lain, bapak-bapak mungkin akan tampak sangat piawai berjual beli kata-kata sambil duduk bersila, berhadap-hadapan di atas tikar yang digelar. Begitulah dalam adat, sesekali ayah-ayah ini mungkin pula akan menghardik istrinya yang dirasa kurang mengikuti pembicaraan. Demi mata istrinya yang sayu, sudah mengantuk dalam diamnya. Lagipula, ibu-ibu tak punya hak suara dalam adat itu.
Maaf, kalau aku melihatnya begitu. Sebab yang aku tahu dari pemandangan itu, kaidah pokok kehidupan bagi ibuku adalah kenyataan, kesetiaan dan cinta yang diberikan kepada anaknya sebagai warisan. Selebihnya, dianggapnya hanya selingan dan hiburan kehidupan, tak terlalu penting.
Pandangan itu sama halnya dengan gambaran masyarakat yang disampaikan oleh Sitor Situmorang dalam auto biografinya. Dia seorang sastrawan 45, yang kini telah tiada . Dia juga melihat bahwa realitas ibu-ibu di desa pada masa kecilnya, tampak seperti pengamat yang seakan-akan pasif di hadapan prakarsa-prakarsa para ayah.
Namun, sebenarnya para ibu mengendalikan segala sesuatunya. Mereka, para ibu, sebagai pengayom, bahkan memikul tanggung jawab kepemimpinan ke-ibu-an untuk marga. Kepemimpinan keibuan itu mengajarkan kehidupan yang beraturan, dari lahir sampai mati, menurut kaidah kehidupan petani purba, di bawah gempuran yang gencar dari adat baru bernama "modernitas".
Katanya, "Pada saat-saat itu aku tahu, bahwa apapun akan jadinya, jelas bahwa kaidah pokok kehidupan Ibu adalah kenyataan, kesetiaan dan cinta yang diberikan kepada anaknya sebagai warisan kekayaan berbumi dan berlangit harapan dalam kemiskinannya".
Sebab itu juga, aku sangat suka mengandaikan bahwa ibu dengan kasih sayangnya kepada anak-anaknya, bisa diandaikan seperti bintang-bintang yang setia mencari rembulan. Di luar segala alasan yang memandu jalan seorang anak untuk kembali pulang adalah kasih sayang ibu. Maka tidak heran, begitu ibu tidak ada lagi, tak jarang seorang anak tak merasa perlu lagi pulang kampung.
Ibu adalah wanita yang bekerja keras. Dia memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan menjahit baju kami sendiri. Dia bahkan menjual sayuran dan telur-telur bebek kami ke warung. Ia membeli kain, menggunting kain itu menjadi dua bagian dan menjahitkannya menjadi sepasang celana gombrang, buat saya dan adik saya.
Saat kami sakit, ibu selalu menunggu di samping kami. Senyumannya adalah hal terakhir yang ingin kami lihat sebelum tidur, dan hal pertama yang ingin kami lihat saat bangun pagi.
Semua ibu memiliki kesukaannya sendiri. Bila Nyai Ontosoroh di Boerderij Wonokromo, tempatnya mengelola peternakan sapi dan kebun tebu sebagai manajer yang tegas dan administratur otodidak yang sangat detail dalam novel Bumi Manusia, atau Mutmodjnet di rumah wazir Ay di Akhmim Mesir, tempatnya berkebun dan menanam berbagai tanaman berkhasiat obat dalam novel Nefertiti . Maka, ibu saya dalam kenyataannya adalah seorang perempuan yang kegemarannya adalah berkebun, menanam bunga-bunga anggrek dan aneka tanaman lain. Dia juga membuat berbagai ramuan obat tradisional Karo.
Tentang hal ini bisa dibaca dalam artikel yang berjudul "Minyak Karo-Nande, Produk UMKM Sehat dari Tanah Karo untuk Indonesia Sehat".
Manakala perasaan berbunga kala melihat bahagianya, atau hati terasa sesak saat melihat deritanya, dan bahkan mengundang luruh air mata saat merasakan sakitnya, tidak lain karena kita sedang berhadapan dengan megahnya sosok seorang ibu dalam kasih dan baktinya kepada anak-anaknya. Sesederhana apa pun penampilannya.
Tiada kata selain terima kasih Ibu, untuk 1000 hari pertama kehidupan di tanganmu, dan kehidupan dalam hari-hari setelahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H