Oleh sebab itu, tidak heran, bagi kami, ibu tampak sebagai sosok dengan pandangan mata yang nyana menghadapi kenyataan sehari-hari, terlepas dari pikiran filosofis yang rumit. Setiap kali ada waktu luang, matanya akan segera menjadi sayu. Ibu mengantuk, karena sudah puas ditindih beban penat kehidupan sejak ayam berkokok hingga jangkrik mengkrik-krik. Ditindih beban berat sejak matahari belum terbit hingga terbenam lagi, dari kegelapan ke kegelapan lainnya, begitulah.
Di saat yang lain, bapak-bapak mungkin akan tampak sangat piawai berjual beli kata-kata sambil duduk bersila, berhadap-hadapan di atas tikar yang digelar. Begitulah dalam adat, sesekali ayah-ayah ini mungkin pula akan menghardik istrinya yang dirasa kurang mengikuti pembicaraan. Demi mata istrinya yang sayu, sudah mengantuk dalam diamnya. Lagipula, ibu-ibu tak punya hak suara dalam adat itu.
Maaf, kalau aku melihatnya begitu. Sebab yang aku tahu dari pemandangan itu, kaidah pokok kehidupan bagi ibuku adalah kenyataan, kesetiaan dan cinta yang diberikan kepada anaknya sebagai warisan. Selebihnya, dianggapnya hanya selingan dan hiburan kehidupan, tak terlalu penting.
Pandangan itu sama halnya dengan gambaran masyarakat yang disampaikan oleh Sitor Situmorang dalam auto biografinya. Dia seorang sastrawan 45, yang kini telah tiada . Dia juga melihat bahwa realitas ibu-ibu di desa pada masa kecilnya, tampak seperti pengamat yang seakan-akan pasif di hadapan prakarsa-prakarsa para ayah.
Namun, sebenarnya para ibu mengendalikan segala sesuatunya. Mereka, para ibu, sebagai pengayom, bahkan memikul tanggung jawab kepemimpinan ke-ibu-an untuk marga. Kepemimpinan keibuan itu mengajarkan kehidupan yang beraturan, dari lahir sampai mati, menurut kaidah kehidupan petani purba, di bawah gempuran yang gencar dari adat baru bernama "modernitas".
Katanya, "Pada saat-saat itu aku tahu, bahwa apapun akan jadinya, jelas bahwa kaidah pokok kehidupan Ibu adalah kenyataan, kesetiaan dan cinta yang diberikan kepada anaknya sebagai warisan kekayaan berbumi dan berlangit harapan dalam kemiskinannya".
Sebab itu juga, aku sangat suka mengandaikan bahwa ibu dengan kasih sayangnya kepada anak-anaknya, bisa diandaikan seperti bintang-bintang yang setia mencari rembulan. Di luar segala alasan yang memandu jalan seorang anak untuk kembali pulang adalah kasih sayang ibu. Maka tidak heran, begitu ibu tidak ada lagi, tak jarang seorang anak tak merasa perlu lagi pulang kampung.
Ibu adalah wanita yang bekerja keras. Dia memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian dan menjahit baju kami sendiri. Dia bahkan menjual sayuran dan telur-telur bebek kami ke warung. Ia membeli kain, menggunting kain itu menjadi dua bagian dan menjahitkannya menjadi sepasang celana gombrang, buat saya dan adik saya.
Saat kami sakit, ibu selalu menunggu di samping kami. Senyumannya adalah hal terakhir yang ingin kami lihat sebelum tidur, dan hal pertama yang ingin kami lihat saat bangun pagi.
Semua ibu memiliki kesukaannya sendiri. Bila Nyai Ontosoroh di Boerderij Wonokromo, tempatnya mengelola peternakan sapi dan kebun tebu sebagai manajer yang tegas dan administratur otodidak yang sangat detail dalam novel Bumi Manusia, atau Mutmodjnet di rumah wazir Ay di Akhmim Mesir, tempatnya berkebun dan menanam berbagai tanaman berkhasiat obat dalam novel Nefertiti . Maka, ibu saya dalam kenyataannya adalah seorang perempuan yang kegemarannya adalah berkebun, menanam bunga-bunga anggrek dan aneka tanaman lain. Dia juga membuat berbagai ramuan obat tradisional Karo.
Tentang hal ini bisa dibaca dalam artikel yang berjudul "Minyak Karo-Nande, Produk UMKM Sehat dari Tanah Karo untuk Indonesia Sehat".