Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Balada si Bruna, Jangan Salahkan Anjing Menggonggong

5 November 2020   02:14 Diperbarui: 5 November 2020   02:18 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

8 bulan yang lalu...

10 Maret 2020, tidak lama sebelum covid-19 mengubah berbagai kebijakan terkait aktivitas di luar rumah pada hampir seluruh daerah di Indonesia, termasuk juga di daerah kami, Tanah Karo, keluarga kami kedatangan tamu istimewa. Dia adalah seekor anak anjing yang masih sangat imut.

Barangkali usianya baru sekitar dua bulan saja. Namun, di balik parasnya yang imut, kelihatannya anak anjing yang masih kecil ini baru saja mengalami sebuah hal yang buruk.

Meringkuk gemetaran di sudut gerbang rumah, hampir tidak berani berkutik. Tubuhnya sangat lusuh, seperti baru melarikan diri dari sesuatu yang mengancamnya. Saat itu hari sudah sore menjelang malam.

Aku yang sedang berdiri menghirup udara sore dari atas balkon melihat anak anjing yang kecil ini. Dengan badan gemetar, dia mengeluarkan suara yang sangat memelas.

Kalau bukan karena dikeroyok oleh kawanan anjing lain yang membuatnya terpisah dari induknya, barangkali anak anjing ini mungkin baru diusir dari rumahnya, entah oleh siapa. Aku bergegas turun ke bawah dan memberitahu anak-anak, kalau ada seekor anak anjing dalam keadaan lusuh dan ketakuan, meringkuk di depan gerbang rumah.

Dia tidak melawan saat aku memungutnya. Namun, tampak sekali kalau dia ketakuan. Walaupun badannya penuh lumpur, kami tidak memandikannya pada malam itu, sebab hari memang sangat dingin.

Kami hanya meletakkannya di atas selembar keset kaki, agar dia tidak kedinginan tidur di luar rumah pada malam itu. Kami juga memberinya makan, sisa nasi dan lauk yang kami makan pada hari itu.

Lahap sekali makannya. Barulah setelah itu dia sudah mulai agak tenang, kemudian merebahkan tubuh mungilnya. Anak anjing yang imut ini, jelas sekali baru saja melalui sebuah hari yang sangat berat.

Barulah keesokan harinya, saat sinar matahari sudah mulai menghangatkan bumi, kami memandikannya. Tidak ada perlawanan dari anjing kecil ini. Tapi dia seperti tidak terlalu menikmati mandi paginya.

Setelah bersih, kelihatan sekali bahwa anak anjing yang kecil ini memang imut dan lucu. Layaknya anak bayi, dia sedang dalam masa lucu-lucunya.

Bruna kecil (dokpri)
Bruna kecil (dokpri)
Mengenang anjing peliharaan kami, saat kami masih tinggal bersama dengan orang tua kami dulu, Bruno namanya, maka kami memberi nama kepada anak anjing ini, Bruna. Tentang Bruno dapat dibaca di sini.

Bila Bruno adalah seekor anjing jantan, maka Bruna adalah seekor anjing betina yang cantik. Namun, sebagaimana anak kecil yang polos, Bruno juga suka buang kotoran sembarangan di halaman.

Awalnya kami kewalahan menyingkirkan kotorannya, mau dimarahi pun dia hanya berlarian dan melompat ke sana ke mari. Seolah kami sedang mengajaknya bermain. Anak anjing ini butuh latihan untuk bisa lebih berkeadaban. Setidaknya tidak buang kotoran sembarangan.

Melihat perkembangan Bruna, kami jadi berpikir, bahwa sebagaimana pengalaman buruk masa kecil yang terjadi pada manusia, bisa menyebabkan trauma psikologis atau bahkan histeria hingga ia dewasa, satwa juga kurang lebih bisa mengalami hal yang sama.

Setiap kali dia mendapat kesempatan ke luar rumah, pastilah dia akan selalu bermain di selokan. Oleh sebab itu, pulangnya pastilah dalam kondisi badan penuh lumpur dan bau. Awalnya aku jengkel juga melihatnya. Sebab membutuhkan lebih banyak waktu dan shampoo untuk memandikannya.

Namun, menyadari ketidakwajaran ini, terkadang kasihan juga melihatnya. Bisa jadi, pada sore menjelang malam tanggal 10 Maret 2020 itu, Bruna kecil melarikan diri dari bahaya yang mengancamnya dengan menyusuri selokan yang berlumpur hingga dia luput dari bahaya.

Dalam koleksi memorinya, barangkali selokan adalah sebuah tempat pelarian. Ya, pelarian dari rasa takut, rasa bosan, atau malah menjadi hiburannya. Kasihan juga dia.

Lazimnya satwa, termasuk anjing hewan peliharaan, pertumbuhannya jauh lebih cepat dari seorang anak manusia. Hanya berselang enam bulan, Bruna kecil sudah berubah menjadi seekor anjing betina yang cantik jelita, menurut pandangan anjing lain tentunya.

Buktinya Bruna sudah bunting, entah oleh anjing pejantan yang mana. Sebab, ada banyak sekali anjing jantan milik tetangga dekat rumah kami.

"Alamak, kita akan segera punya cucu," kelakar istri saya. Bruna memang diperlakukan seperti bagian anggota keluarga. Walaupun dia tidur di luar dan tidak makan di atas alas duduk yang sama dengan kami.

Lazimnya anggota keluarga yang masih kecil, sesekali dia memang dimarahi juga. Saat tidak bisa menjaga sikapnya, selalu mau main lumpur di selokan, dan sesekali masih buang kotoran tidak pada tempatnya juga.

Hanya sekitar dua bulan sejak kami menyadari kebuntingannya, Bruna tampaknya menunjukkan gejala seperti akan segera melahirkan. Jujur saja, kami tidak memiliki persiapan matang untuk persalinan ini.

Sebulan yang lalu...

Dari pengalaman kami saat masih tinggal di rumah orang tua, entah bagaimana, induk anjing memang mampu melahirkan secara alami tanpa bantuan bidan, bahkan tidak ditemani "suaminya" sendiri. Anak-anaknya bisa keluar begitu saja dari rahim ibunya, entah bagaimana juga dia memutuskan tali pusat anak-anaknya.

Ajaib benar anugerah bagi satwa ciptaan Tuhan ini, dan satwa-satwa lainnya. Tidak kurang besar penyertaan Sang Mahapencipta bagi mereka, dibandingkan dengan manusia.

Tepatnya pada tanggal 10 Oktober 2020, Bruna melahirkan 5 ekor anak. Anaknya kecil-kecil dan lucu.

Apakah itu biasa, atau bahkan bagi anjing seusia Bruna pun kelahiran anak pertama ini sepertinya masih terlalu awal? Aku tidak tahu pasti, sebab bagi kami sendiri ini adalah pengalaman pertama kami. Lagipula proses kelahirannya ini, berlangsung mandiri oleh Bruna sendiri. Kami sedang tidak ada di rumah pada hari Sabtu sore saat ia melahirkan itu.

Entah apakah Bruna menyambut kelahiran anaknya sebagai sebuah momen bahagia, atau itu adalah kegetiran lain dalam hidupnya? Sebab dia sendiri tampaknya belum siap sebagai seorang ibu, lebih tepatnya seekor ibu anjing.

Hanya berselang 7 bulan sejak kedatangan pertamanya dalam rupa seekor anak anjing lusuh yang ketakutan, kini Bruna bahkan sudah memiliki 5 ekor anak yang harusnya dia rawat dengan kasih sayangnya sendiri. Kami tentu hanya membantunya sebagai keluarga.

Bruna dan anak-anaknya (Dokpri)
Bruna dan anak-anaknya (Dokpri)
Barangkali itu pula sebabnya, setelah dua minggu kemudian, dari 5 ekor anaknya, yang mampu bertahan hidup hanya dua ekor. Kami sempat merawat salah satunya dengan membawanya ke rumah, memberi minum susu dan menyelimuti dengan handuk kering.

Bruna tampak sebagai seekor ibu anjing yang gagap, tidak cakap, dan seperti kurang peduli dengan anaknya sendiri. Dia sering meninggalkan anaknya, yang matanya yang masih belum terbuka penuh, dan suaranya pun masih menciap-ciap. Apakah karena ini adalah pengalaman pertamanya, hingga yang berikutnya nanti tidak akan seperti ini lagi? Lagi-lagi kami tidak tahu.

Merasa kasihan dengan anaknya yang sering kedinginan ditinggal induknya, aku berinisiatif membuatkan sebuah rumah anjing. Lagi pula, sejak masa kecil memiliki sebuah rumah anjing adalah salah satu impianku.

Impian masa kecil ini datang dari kesenangan menonton Goofy atau Snoopy yang memiliki sebuah rumah anjing yang unik dan tampaknya nyaman untuk ditempati. Oleh golongan anjing tentu saja.

Bruna di rumahnya (Dokpri)
Bruna di rumahnya (Dokpri)
Membuat rumah anjing itu, adalah bagian upaya kami juga untuk membantu memahamkan ke Bruna, bahwa dia kini memiliki keluarga dalam arti yang sesungguhnya. Kedua anaknya membutuhkan perhatian penuh darinya sebagai seekor induk yang bertanggung jawab.

Bruna tampaknya menikmati tinggal di rumah barunya. Setelah kami memindahkan anak-akannya ke dalam, ia pun langsung ikut meringkuk ke dalam, lalu menyusui kedua anaknya yang tersisa.

Keputusan membuat rumah anjing ini tampaknya cukup tepat bagi kebaikan Bruna dan kedua anaknya. Sebelumnya anaknya sering meringis, mungkin kedinginan. Beberapa hari dalam minggu-minggu terakhir ini memang sering turun hujan.

Mereka hanya tidur beralaskan ambal keset kaki, dan tentu saja dilingkupi tubuh berbulu ibu muda Bruna yang masih gagap menjadi seekor induk anjing. Setelah rumah baru mereka jadi, anak-anaknya kini bisa tidur dengan lebih tenang.

Hingga kemarin malam, minggu pertama November rain, hujan turun dengan sangat lebat. Kami sendiri sebenarnya sudah tidur dengan pulas.

Bruna menggonggong seperti minta tolong. Anak-anaknya juga meringis mengibakan, hingga kami pun terbangun. Sepertinya tempias hujan yang turun dengan lebat telah membanjiri rumah kecil mereka, sehingga alasnya tidak mungkin lagi menjadi alas tidur yang nyaman. Entah sudah berapa lama kejadiannya hingga kami sadar.

Bagi Bruna dan anak-anaknya, jelas sekali minggu pertama November rain bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Sama dengan makna dalam lagu yang dibawakan oleh Guns n' Roses itu, yang digubah untuk mengenangkan sebuah kisah perpisahan, meskipun musiknya mengalun sebagai sebuah mahakarya dengan melodi yang tersusun apik.

Demikianlah kehidupan, tidak saja bagi seekor anjing, tapi juga bagi anak manusia. Bahwa dalam kesulitannya pun, manusia pun puspa dan satwa, akan terus berupaya menuangkan keluh kesah dan ratapannya, bahkan dalam nada-nada.

Aku sendiri sempat kesal mendengar gonggongan dan ringisan berkepanjangan di malam hujan lebat itu. Tidur bisa menjadi sangat nyenyak di atas kasur dalam balutan selimut pada malam dingin berhujan seperti itu.

Setelah akhirnya bergegas melihat apa yang terjadi, dan kemudian membenahi letak rumahnya ke lokasi yang kering, baru tebersit sedikit penyesalan di benakku. "Mengapa lambat sekali menyadari dan memberi respons terhadap suara mereka yang minta tolong?"

Epilog, sebuah lelucon

Besoknya, saat bangun pagi, matahari bersinar lembut menghangatkan bumi. Ternyaata Bruna dan anak-anaknya berhasil melewati malam berat kesekian kali. Aku jadi teringat sebuah lelucon dari seorang teman.

Dia memiliki seekor anjing jantan yang badannya cukup besar. Anjing ini seringkali menggonggongi salah saorang tetang depan rumahnya.

Kesal digonggongi setiap kali dia lewat saat akan masuk ke rumahnya, tetangganya ini pun melempari anjing itu. Kebetulan pada saat itu, teman saya ini sedang berada di rumahnya, dan melihat apa yang terjadi dari balik jendela rumahnya.

Dia segera keluar rumah, dan menegur tetangganya itu dengan keras, "Kenapa kau lempar anjingku itu?" Katanya sambil menunjuk ke arah anjingnya yang lari ketakutan entah mau ke mana.
Lalu kata tetangganya, "Apa kau bilang? Anjingmu itu yang kurang ajar selalu menggonggongi aku!"
Teman saya ini kemudian menjawab dengan sangat cerdas, "Kau baru tahu ya? Sampai kapan pun anjing akan tetap menggonggong, bukannya mengembek."
"Jadi, selama anjingku masih menggonggong, bukan mengembek, jangan kau coba-coba melempar anjingku ya!" Pungkasnya.

Tetangga dari temanku ini hanya berdiri terpaku, dengan sisa sebongkah batu yang hampir lepas dari genggamannya. Ia tidak tahu lagi mau berkata apa mendengar jawaban pamungkas teman saya ini.

Aku pun tersadar, Bruna hanyalah seekor anjing. Tidak mungkin dia berteriak pada malam itu, menjelaskan apa yang terjadi, "Hei, kamu tahu nggak ini November dan musim hujan! Rumahku kebanjiran tahu!?"

 

Dipersembahkan untuk memperingati hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, 5/11/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun