Mungkin, bapak itu takut aku akan mengoceh kalau sudah mabuk tuak dan membuat orang-orang jadi tersinggung dengan ocehanku. Dia sangat solider pikirku dengan sisa kesadaranku.
Pengalaman pertama itu, ditambah ulasan teman-teman Kompasianer tentang tuak dan makna kearifan lokal di dalamnya, membuat aku kembali terkenang juga akan sebuah pengalaman dari tanggal 19 Februari 2018.Â
Kala itu saya bersama rombongan menghadiri sebuah acara musyawarah pembangunan di sebuah desa dekat perbatasan Tanah Karo dan Aceh Tenggara.
Apa yang terjadi di sana adalah sebuah pengalaman tentang kearifan lokal setempat dalam kaitannya dengan tuak, yang efektif dalam perumusan sebuah kesepakatan melalui musyawarah informal, berlangsung di atas sebuah meja, dengan hidangan tuak dan air kelapa muda.
Menurut Bronislaw Malinowski, seorang antropolog dan etnograf lapangan berkebangsaan Polandia (1884-1942), keyakinan masyarakat memiliki nilai biologis yang memajukan perilaku mental praktis.Â
Aku melihat kebenaran pandangan Malinowski itu, melalui laku manusia yang tampak dalam adat istiadat, tradisi, ritual, seremoni dan praktek-praktek kehidupan dengan nilai keluaran yang terasa abstrak.
Bagi yang tidak atau belum memahami, terkadang laku hidup yang di luar kebiasaan yang dipahaminya, bisa membuat segala sesuatu terasa sedang berjalan tak masuk akal.Â
Sebagai pihak luar dengan konsepsi nilai hidup yang berbeda dengan pihak yang diamatinya, terkadang membuatnya jadi bingung untuk memilih antara tertawa atau menangis melihat kenyataannya.
Namun, konsepsi sistem sosial masyarakat yang khas, layak dipandang secara fungsional sebagai suatu tradisi sesuai konteksnya secara lengkap. Menurut batasan tertentu, tradisi itu dilaksanakan bagi kepentingan khusus para anggota komunitas tersebut.
Zona ambang pada abstraksi sangat dibutuhkan dalam hal ini, sehingga berbagai bidang pemikiran, keyakinan-keyakinan, atau bahkan bidang keilmuan dimungkinkan untuk saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi dari berbagai perbedaan itulah yang membuat berbagai pertanyaan dan topik-topik menarik dapat muncul, termasuk kesepakatan dalam musyawarah.
Untuk memungkinkan hal ini terjadi kuncinya hanya satu, bila setiap pihak dapat memperluas cakrawalanya untuk dapat memberi tempat bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru, sekalipun kadang bertentangan dengan sesuatu yang pernah diyakininya, bukan menghakimi.Â