Menarik mempelajari ciri khas budaya pada suatu etnis, sebagai cara hidup yang berkembang dan dimiliki, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas adat, yang diwariskan turun temurun.Â
Budaya terdiri dari banyak unsur yang rumit, termasuk di dalamnya adalah sistem kepercayaan, politik, pemerintahan, bahasa, adat istiadat, bangunan, alat, pakaian, karya seni, dan sebagainya.
Kali ini, sebagai generasi muda suku Karo, saya tertarik mengulas sisi filosofi budaya Karo dalam hal berpakaian. Dalam hal ini adalah benang, sebagai bahan dasar membuat pakaian, termasuk pakaian adat.Â
Saya bukan pakar dalam budaya dan adat istiadat. Hanya generasi muda yang penuh rasa ingin tahu dan berkeinginan mendokumentasikan bagian-bagian budaya Karo, melalui tulisan sederhana.
Dalam ulasan kali ini, saya mencoba menelusuri soal "Benang Sitelu Rupa", berdasarkan penuturan dari para orang tua, dengan sumber penjelasan yang masih minim, setidaknya untuk saya pribadi. Oleh sebab itu, artikel ini terbuka untuk mendapatkan masukan dari sumber-sumber yang mengetahui secara pasti, dalam rangka melengkapi dokumentasi sederhana ini.
"Benang si telu rupa" dalam bahasa Karo, bila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia bisa disebut sebagai  "Benang tiga warna". Bila pada puak Batak secara umum, warna yang mendominasi warna benang pada pakaian adatnya adalah Merah, Putih, dan Hitam.
Menjadi lebih menarik, saat membandingkan kombinasi warna pakaian ini dengan warna khas pakaian adat pada suku lain. Misalnya pada suku Jawa dan Bali.
Dari hasil diskusi ringan melalui media sosial bersama seorang rekan Kompasianer, dari etnis Jawa, dia menjelaskan sebuah tradisi pada suku Jawa. Apabila bayi menginjak usia 7 bulan, biasanya akan diberikan kalung yang juga 3 warna, gelang, dan ikat pinggang.
Benang Sitelu Rupa adalah warna dasar dalam kehidupan sehari-hari suku Karo. Kombinasi warna ini dijadikan sebagai suatu simbol, yang disebut juga sebagai "benang benalu".Â
Pada umumna, benang-benang dengan warna tertentu ini, digunakan sesuai dengan karakter upacara pada adat tradisi suku Karo.
Warna merah pada suku Karo melambangkan matahari. Itu adalah simbol panas, hangat, gairah, darah, kekuatan, daya dan sebagainya dalam pengertian yang sejenis.
2. Putih (Mbentar)
Warna putih melambangkan cahaya. Itu adalah simbol kesucian, bersih, sifat ketuhanan, dan sebagainya yang semakna.
3. Hitam (Mbiring)
Warna hitam melambangkan tanah. Itu juga bisa diartikan sebagai simbol kedukaan, pemanggilan roh-roh leluhur, dan sebagainya dalam makna yang sejenis.
Benang sitelu rupa digunakan salah satunya pada "tudung" dalam acara adat budaya suku Karo.Â
Tudung adalah sejenis penutup kepala kaum wanita pada suku Karo. Kombinasi penggunaan warnanya juga berfungsi untuk mencirikan jenis upacara adat yang dilakukan.
1. Pada upacara adat pernikahan
Tudung yang dipakai pada pesta adat pernikahan terdiri dari unsur warna putih, dan hitam. Namun, lebih dominan warna merah. Ini menegaskan bahwa upacara adat pernikahan menekankan pesan penting terkait rasa semangat, nafsu, dan gairah.
Pada tudung upacara adat pernikahan, mempelai wanita akan menggunakan tiga lapis warna kain. Pada bagian paling atas, ada aksesoris bernama "ragi-ragi", berwarna merah.
Simbol yang juga menegaskan makna ini, terlihat pada kelengkapan pakaian mempelai pria, yang disebut "sertali". Aksesoris sertali ini, menyerupai "Lingga" atau fitur alat kelamin laki-laki dalam tiga dimensi.
Dalam agama Hindu, "Lingga" adalah sebuah arca atau patung, yang merupakan sebuah objek pemujaan atau sembahyang.Â
Kata "Lingga" ini biasanya singkatan daripada Siwalingga, yang merupakan sebuah objek tegak, tinggi yang melambangkan falus (penis) atau kemaluan Batara Siwa. Objek ini juga merupakan lambang kesuburan.
Namun, merupakan simbol filosofis berisi doa dan berkat (toto dalam bahasa Karo) dari pihak kalimbubu (mertua, atau orang tua mempelai wanita, atau kerabat dari garis keturunan ibu, baik mempelai pria maupun wanita) kepada kedua mempelai. Isi dari doa dan berkat itu, katanya "Jumpa kam matawari ras bulan", atau "Jumpa sinangkih pinang ras sinutu cimpa".
Maksudnya adalah, "Mendapatkan matahari dan bulan", atau "Mendapatkan pemanjat pinang dan yang menumbuk penganan". Artinya secara gamblang, agar kedua mempelai segera mendapatkan momongan, anak laki-laki dan anak perempuan.
2. Pada upacara adat kematian
Warna yang mendominasi pada upacara adat kematian adalah warna hitam. Maknanya adalah, bahwa orang yang wafat akan segera menjumpai tanah, atau berubah warna serupa tanah, atau menjadi tanah.
Warna hitam juga adalah simbol rasa duka yang mendalam. Akibat sanak saudara yang segera kembali menjadi tanah, maka akan berkurang teman untuk bermusyawarah.
Pada "tudung lolo", yang dipakai oleh wanita yang berduka, maka tudung yang dipakai berwarna hitam. Nama kainnya adalah "uis kapal". Mengikuti suasana kedukaan, bentuknya tidak sebagus tudung pada upacara adat pernikahan.
3. Pada upacara sakral lainnya
Dalam pelaksanaan upacara sakral lainnya, yang menegaskan perlunya kehadiran unsur kesucian, seperti misalnya upacara memanggil arwah (perumah begu), mandi ke sungai (erpangir ku lau), maka umumnya warna pakaian dan dekorasi tempat pelaksanaan upacara digunakan kain (dagangen) berwarna putih.
Sementara itu, tudung biasa, yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari, bisa menggunakan kain sarung, kain panjang atau larik dan yang sejenisnya.
Dalam kehidupan sehari-hari kaum wanita pada suku Karo, kita biasa menemukan wanita yang mengenakan tudung. Tidak saja dalam upacara adat, tapi termasuk juga sebagai pelindung kepala dari terik matahari saat bekerja di ladang atau di sawah.
Walaupun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam suatu alat kelengkapan berpakaian terasa sebagai sebuah nilai yang abstrak, ia lahir dari proses perenungan yang panjang, holistik, dan komprehensif.
Cara berpakaian dalam sudut pandang budaya, sebagaimana tampak dalam filosofi benang sitelu rupa pada suku Karo, juga menjadi bagian integral kehidupan manusia dalam konteks wilayah, dan keselarasan dengan alam ciptaan sebagai suatu keutuhan. Kearifan lokal yang menopang kesinambungan hidupnya.
Catatan terjemahan:
Dilaki: laki-laki dalam bahasa Karo
Diberu: perempuan dalam bahasa Karo
Pinang: buah pinang, kelengkapan untuk memakan sirih
Nutu: menumbuk padi menjadi tepung
Cimpa: sejenis penganan yang terbuat dari tepung beras yang diolah dengan gula aren
Referensi: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H