Setiap tahun pada perayaan hari kemerdekaan di kampung kami, ada semacam pengulangan yang sadar atau tanpa sadar kami alami, dulu. Para warga saling bertemu, orang-orang yang sama, baik di lapangan pada saat upacara bendera, maupun dalam keramaian suasana di jalanan, saat 17 Agustus-an.
Seringnya bertemu dulu, membuat kami sering kali tidak menyadari, bahwa waktu memang berlalu dengan terburu-buru dan kita melayang lenyap di dalamnya.
Apalagi pada masa pendemi seperti sekarang ini, dimana kita sudah jarang sekali bisa bertemu. Â Kita bisa saja tidak tahu ada teman atau kerabat yang sudah berlalu dan hilang lenyap.
Hari ini, kalau kita kembali bertemu, itu pun sering kali hanya bisa secara virtual. Sejalan dengan itu, kita mungkin tidak akan lagi beramai-ramai menghadiri upacara peringatan hari kemerdekaan di lapangan, tidak juga dengan kerumunan orang-orang menyaksikan parade di jalanan.
Itu pun adalah sebuah catatan sejarah. Apa yang dulunya tidak pernah kita bayangkan akan terjadi, bukan tidak mungkin besok lusa dan pada masa yang akan datang terjadi lagi. Kita adalah orang-orang yang sama dengan orang-orang yang terdahulu pada tahun-tahun yang telah berlalu. Kita hanya menjalani sejarah dalam waktu yang berlalu dengan terburu-buru.
Sebelum waktu berlalu dan tinggal menyisakan sebagian kita yang dulu, maka kita senantiasa perlu menyempatkan diri untuk saling menyapa, untuk mengingatkan bahwa dalam kebersamaan pun, kita mungkin hanya akan menyisakan catatan kaki dalam sejarah.
Dalam Alkitab, pada kitab Pengkhotbah pasal 1 ayat 9, disebutkan bahwa "Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi, tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari".
Dalam sebuah perjalanan dengan kereta, terjadi dialog antara Minke dengan Khouw Ah Soe. Minke adalah seorang pribumi terpelajar yang sangat nasionalis, sementara Khouw Ah Soe, adalah tokoh angkatan Muda Tiongkok yang berjuang untuk revolusi Tiongkok dan meninggal di Hindia Belanda. Kisah tentang dialog mereka sebagaimana tertulis dalam novel Anak Semua Bangsa, tulisan Pramodya Ananta Toer.
Kata Ah Soe kepada Minke, "Dulu suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai individu tidak lagi bisa merasa aman. Dia dikejar-kejar selalu, karena ilmu pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasai; alam dan manusia sekaligus. Tidak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi".
"Budi", adalah sebuah nama yang dulu biasa terangkai dalam sebuah frasa yang terasa sangat sakti mandraguna. Setidaknya dalam koleksi memori sebagian orang yang Indonesia yang merupakan lulusan Sekolah Sadar (SD) dalam rentang waktu mulai sejak tahun 70-an hingga 90-an, atau bahkan lebih. Frasa itu adalah "Ini Budi".
Saya sebut sakti karena frasa ini, yang biasanya berkaitan dengan asal usul silsilah budi sehingga menyeret nama bapak, ibu, adiknya Iwan, dan kakaknya Wati, dulu sangat efektif dipakai oleh guru-guru untuk membimbing siswa SD dalam pelajaran membaca pada masa itu. Entahlah, apakah sejak era reformasi frasa sakti "Ini Budi", "Ini bapak Budi", "Ini ibu Budi", "Ini Iwan" dan "Ini Wati", masih digunakan di kelas-kelas SD.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budi dalam kelas kata benda diartikan sebagai alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk, tabiat, akhlak, watak. Dalam pengertian ini, orang-orang yang berbudi sama artinya dengan orang-orang yang mempunyai kebijaksanaan, berakal, berkelakuan baik, murah hati, dan baik hati.
Meskipun kini kita akan merayakan sebuah peringatan penting dalam sepi, itu adalah hal yang mungkin dulunya juga sudah biasa. Peringatan kemerdekaan awal, yang terjadi dalam kesahajaan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Satu hal yang perlu kita tanyakan pada diri sendiri, "Apakah sekian waktu perjalanan dalam kemerdekaan, baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa, kita sudah berani merasa diri atau melihat kenyataan sebagai suatu bangsa, yang telah berubah oleh pembaharuan budi? Atau malah sebaliknya, seringkali kita menyaksikan nafsu berkuasa yang mengusik kemanan dan kedamaian kita?"
Merdeka oleh pembaharuan budi untuk Indonesia Maju
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H