Malam ini sangat dingin. Kabut tebal sudah menyelimuti kota sejak pukul 17 sore tadi. Jalanan sepi, tampaknya orang-orang memilih untuk meringkuk di rumahnya masing-masing.
Tadi sore juga, orang-orang yang bekerja di ladang pulang ke rumah lebih cepat dari biasanya. Sendu sekali , dingin.
Sudah lebih dari lima bulan murid-murid sekolah belajar dari rumah. Padahal ibu Rini sangat bergantung pada hasil jualannya yang kebanyakan dibeli oleh anak-anak sekolah yang melintas di jalan depan rumahnya. Ibu Rini seorang pedagang gorengan.
Pernah juga dia memindahkan steling kecil sederhana miliknya ke pinggir jalan, dan mencoba peruntungannya dengan berjualan gorengan di pinggir jalan. Namun, usaha itu pun tidak membuahkan hasil. Ia hanya bertahan tidak sampai sebulan.
Suaminya yang bekerja menarik bus angkutan umum juga tampak sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Hari-hari biasanya, sebelum wabah melanda seluruh negeri, penumpangnya juga kebanyakan adalah murid-murid sekolah.
Malam ini, saat cuaca sangat dingin, Ibu Rini yang dari tadi diam saja angkat bicara. Dia, suaminya dan Rini anaknya sedang duduk melingkari piring-piring dan bokor-bokor peralatan makan malam mereka, beralas sehelai tikar di bawah temaram lampu rumah mereka.
Sudah beberapa menit usai makan malam, mereka hanya duduk terdiam. Masing-masing hanya memandangi piring-piring, bokor-bokor, panci berisi sayuran tumis kangkung, ikan teri sambal, dan sisa nasi yang teronggok di atas tikar.
"Pak, sudah tiga bulan ini gorengan kita tidak ada yang beli. Bahkan untuk menjual 10 ribu saja susah sekarang, Pak".
"Lantas bagaimana?" tanya suaminya singkat.
"Itulah, atau aku coba saja besok minta tolong ke bu Desi untuk bantu-bantu di rumahnya. Kalau dia bersedia, aku bisa masak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan membantu menjaga anak bayinya".
"Ibu mau jadi pembantu maksudnya?" sergah Rini segera.
"Mengapa tidak? Yang penting kan halal. Kamu juga kan harus tetap sekolah. Kita perlu uang buat beli paket internet dan uang sekolah?" kata ibunya.
Tono suaminya, hanya diam saja. Sebentar kemudian ia mengelurkan sebatang rokok, kemudian menyulutnya.
Menyadari masalah berat yang sedang dialami ibu dan ayahnya, Rini yang tampak tidak mengerti apa jalan keluar dari masalah keluarga itu, segera bergegas mengangkat piring-piring kotor yang tergeletak di atas tikar ke dapur. Rini adalah seorang siswi kelas 1 SMP tahun ajaran baru di sebuah sekolah swasta.
Rini masuk SMP pada tahun ajaran baru di masa pandemi. Ia tidak diterima di sekolah negeri lewat jalur zonasi. Sebab umurnya kalah tua dengan calon murid-murid SMP lainnya yang juga satu zona dengannya.
Kalau mau lewat jalur prestasi, ia juga bukanlah seorang anak dengan sertifikat prestasi membanggakan di kota tempat tinggalnya.
Malang benar hidup ini, batin Rini. Sudah susah ekonomi, datang pula pandemi, tidak juga ada prestasi. Ia mengangkati piring-piring kotor itu dengan pikiran yang berkecamuk.
"Prrrranggg...", sebuah kobokan tempat cuci tangan tak sengaja tersepak oleh Rini.
"Aduh, mata kamu itu dipakai, dong" kata ibunya.
"Sudahlah bu, berisik sekali" kata ayah Rini.
Rini menjemputi sisa-sisa sayuran yang sudah tercampur air kobokan bekas cuci tangan yang tumpah itu. Tanpa banyak bicara ia kembali mengangkut sisa piring kotor ke dapur.
Dalam bungkus fiksi untuk menyamarkan nama-nama di atas, kisah kurang enak di atas adalah beberapa realitas yang terekam dari rumah-rumah di berbagai tempat di kampung kami. Terekam lewat cerita dari seorang ibu ke ibu lainnya, maupun bapak-bapak yang sesekali bertukar cerita juga seputar masalah pendidikan anaknya di masa pandemi.
Agak miris rasanya bila melihat perang meme di media sosial, antara beberapa orang yang terverifikasi berprofesi sebagai guru dan beberapa orang tua murid yang mengeluhkan mengenai beban biaya pendidikan anak-anaknya, yang tidak kenal kompromi meskipun anak-anak mereka sudah lima bulan belajar jarak jauh dari rumah saja.
Ada oknum guru yang membagikan meme bagaimana capeknya menjadi guru, maka kesempatan belajar di rumah adalah masa bagi orang tua untuk bertukar peran dan merasakan beban mengajar anak-anak itu. Ada juga oknum orang tua yang membagikan meme gambar sejumlah uang sebagai uang sekolah (SPP) anaknya yang juga dikirim lewat whatsapp saja. Itu katanya sebagai respons yang pantas dari orang tua atas pengajaran bapak ibu/ guru yang hanya berlangsung lewat tugas-tugas yang dikirim melalui whatsapp saja.
Apalagi yang bersekolah di sekolah swasta, selain uang gedung, uang sekolah, dan uang buku, sekarang juga bertambah uang untuk beli paket. Ya, bagi orang tua yang mampu mungkin tidak sulit. Tapi bagaimana untuk orang tua sepeti ayah dan ibu Rini.
Tidak semua juga mereka yang bersekolah di sekolah swsta karena mampunya orang tua. Beberapa ada juga karena merasa menjadi korban dari sebuah sistem penerimaan siswa yang tidak adil. Hanya saja mereka merasa tidak berdaya melawan sistem. Meskipun sebagian orang tua ada juga yang berhasil mengakalinya.
Benar bahwa semua orang susah dengan situasi seperti di masa pandemi ini. Tapi perlu juga bagi setiap orang untuk menahan diri dan tidak menambah beban, dengan saling menjelekkan satu sama lain. Kecuali bila sikap saling menjelekkan juga sudah merupakan sebuah bagian dari adaptasi kebiasaan baru dalam bercanda. Barangkali ada benarnya ayah Rini, "Sudahlah, berisik sekali" katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H