Berbeda dengan Aron di kampung kami dulu, di Kabanjahe dan Berastagi utamanya dewasa ini, yang merupakan dua kota dengan penduduk terpadat di Kabupaten Karo, Aron bahkan tampak telah membuat semacam pasar tenaga kerja, dimana pemilik ladang dan para buruh tani bertemu untuk menyepakati tingkat upah sebagai kompensasi atas jasa dan tenaga sesuai dengan jenis pekerjaannya.
Pemilik ladang yang memerlukan jasa Aron di kota ini juga harus menyiapkan angkutan bagi para pekerja, setelah upah dan jenis pekerjaan disepakati. Tentu harus cukup duit untuk bisa membayar tenaga Aron, tunai pada hari itu juga. Berbeda dengan makna Aron yang di kampung dulu.
Bursa pasar kerja Aron di kedua kota ini, Kabanjahe dan Berastagi, selalu tampak ramai setiap hari di pagi hari. Hal ini mengindikasikan bahwa dari sisi kuantitas di kota ini melimpah angkatan kerja, yakni orang-orang dengan usia produktif, 15-64 tahun, yang membutuhkan pekerjaan. Namun, lapangan kerja, khususnya di bidang  pertanian ini, sepertinya tidak mampu menyerap seluruh tenaga kerja.
Maka tidak jarang, susana ramai yang kita jumpai pada setiap pukul 07:00 wib di sentra bursa pasar kerja Aron di Kabanjahe dan Berastagi, akan menyisakan beberapa puluh tenaga kerja, baik laki-laki dan perempuan, yang tidak beruntung mendapatkan pekerjaan pada hari itu.
Pada suatu hari ketika saya lewat di salah satu titik berkumpulnya para Aron di Kabanjahe sekitar pukul 8:30 hingga 9:00 wib, beberapa dari Aron itu masih ada yang menunggu apakah akan ada pemilik ladang yang menyewa tenaga mereka.
Banyak dari antara Aron ini adalah orang-orang yang mandah (pindah sementara) dari berbagai daerah lain di luar Kabupaten Karo. Hal ini juga mengindikasikan bahwa di daerah asal mereka juga tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan.
Pernah pada hari yang lain, saya menyaksikan salah seorang di antara ibu yang bekerja sebagai Aron itu pulang dari bekerja dengan membawa anaknya yang masih kecil. Mereka duduk bersama, si anak dan ibunya, di antara jejeran ibu-ibu lainnya, yang duduk dan sebagian lainnya berjongkok di bak mobil pick-up yang tadi pagi juga mungkin menjemput mereka di sana.
Mungkin yang menyewa tenaga mereka pada hari itu adalah pemilik ladang yang sedang memanen jeruk. Pulang pada sore hari menjelang malam, dalam cuaca yang dingin, si ibu melompat terlebih dahulu dari bak mobil pick-up kemudian menyambut anaknya yang mungkin masih berusia sekitar empat tahun.
Dalam wajah sumringah mereka semua, meskipun dalam balutan pakaian yang sudah lusuh dimakan debu atau becek di ladang, pun masih tersimpan harapan. Kesusahan sehari cukuplah untuk hari ini, karena esok punya kesusahannya sendiri, barangkali begitu dalam benak si ibu.