Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Potret "Keben" yang Terabaikan dalam Hubungannya dengan Pengungsi Iklim dan Ketahanan Pangan

3 Juli 2020   15:58 Diperbarui: 3 Juli 2020   18:38 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu lumbung padi di Desa Martelu, Kabupaten Karo (Dokumentasi pribadi)

Perubahan iklim, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan, misalnya dalam luasnya penggunaan plastik secara besar-besaran, telah melahirkan sebuah istilah baru "pengungsi iklim". Dikatakan demikian, tentu saja karena perubahan iklim telah menyebabkan suatu bahaya yang mengancam kelangsungan hidup manusia.

Tidak terbatas pada hal itu saja, tuntutan kebutuhan dan gaya hidup yang semakin menuntut semua hal bergerak serba cepat, juga telah mendorong terjadinya pergeseran budaya dan sistem sosial di hampir semua lini kehidupan bangsa-bangsa di dunia. Termasuk dalam hal ini adalah budaya dan sistem sosial ekonomi masyarakat agraris, seperti misalnya masyarakat petani di Indonesia.

Dengan mayoritas masyarakatnya yang memenuhi kebutuhan pokok dari beras, keberadaan dan keberlanjutan pertanian tanaman padi di Indonesia sangat menentukan ketersediaan pasokan beras untuk mencukupi kebutuhan nasional kita.

Sehubungan dengan hal itu, tercatat bahwa negara kita juga melaksanakan program modernisasi usaha pertanian sawah melalui sebuah program yang dinamakan "Revolusi Hijau" pada awal tahun 1970-an. Pada masa-masa itu juga, kita tercatat pernah mengalami swasembada pangan.

Namun, dalam jangka panjang, kelindan dari tuntutan kebutuhan yang menuntut adanya modernisasi usaha pertanian itu bukannya tidak melahirkan dampak negatif yang mengubah tatanan nilai-nilai kearifan lokal yang sesungguhnya sangat lekat dengan masyarakat petani, yang sangat tergantung kepada dukungan kesinambungan alam dan lingkungan.

Sebagaimana dikutip dari sebuah jurnal yang berjudul "Kearifan Ekologi Orang Baduy dalam Konservasi Padi dengan Sistem Leuit", konsekuensi perubahan demi kepentingan ekonomi pasar menyebabkan para petani sawah kini sangat tergantung pada berbagai asupan dari luar, seperti pestisida pabrikan. Akibatnya, terjadi pencemaran lingkungan oleh pestisida secara masif dan sering terjadi ledakan hama, seperti hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal) karena keseimbangan ekosistem sawah terganggu, di mana musuh-musuh alami hama tersebut banyak yang punah karena keracunan pestisida.

Salah satu Lumbung Padi di Desa Martelu, Kab. Karo (Dokumentasi pribadi)
Salah satu Lumbung Padi di Desa Martelu, Kab. Karo (Dokumentasi pribadi)
Leuit adalah sebutan masyarakat Sunda untuk lumbung, yang berarti tempat penyimpanan hasil panen. Pada masyarakat suku Karo, Sumatera Utara, juga ada istilah untuk lumbung ini, yakni "Keben" atau "Sapo Page". 

Namun, pada masa kini, kebiasaan penyimpanan padi di lumbung-lumbung padi guna mendukung ketahanan pangan penduduk perdesaan oleh para petani sudah hampir punah. Tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi pada desa-desa di Kabupaten Karo.

Padahal, dengan teknik penyimpanan padi di lumbung ini membuat padi bisa bertahan baik hingga puluhan tahun. Tidak saja sebagai persediaan bahan pangan terutama pada masa gagal panen, penyimpanan padi di lumbung juga bisa dimaknai sebagai sebuah teknik tunda jual, mana kala harga gabah turun pada musim panen raya.

Maka tidak jarang, kita menemukan lumbung-lumbung padi yang sudah terbengkalai di desa-desa. Apakah kepunahan pemanfaatan lumbung-lumbung ini berpengaruh terhadap ketahanan pangan kita? Ataukah ini hanya sebuah realitas yang terjadi karena proses biasa akibat tuntutan modernisasi? Masih perlu kajian yang lebih lanjut untuk itu.

Sisi lain salah satu lumbung padi di Desa Martelu, Kab. Karo (Dokumentasi pribadi)
Sisi lain salah satu lumbung padi di Desa Martelu, Kab. Karo (Dokumentasi pribadi)
Sebagaimana penjelasan yang dikutip dari laman lektur.id, "Keben" memiliki beberapa arti. Keben bisa berarti lumbung padi yang terbuat dari kulit kayu. Selain itu, Keben dalam frasa "Pohon Keben" adalah nama untuk jenis pohon yang berasal dari Asia Tenggara.

Pohon ini termasuk keluarga hecythidaceae. Biasanya tumbuh di sepanjang pantai yang berpasir dan berbatu, bunganya seperti sikat berwarna putih dan bertangkai panjang, buahnya apabila diperas akan mengeluarkan minyak berwarna merah, digunakan sebagai bahan bakar karena mengandung oli/lemak dengan kadar 3%.

Menjadi menarik, karena Pohon Keben juga memiliki arti lain, yakni "Pohon perdamaian". Menghubungkan fungsi Keben sebagai tempat penyimpanan padi dan perdamaian dalam makna nama sebuah pohon, tentu bermanfaat untuk menjelaskan gambaran hubungan antara ketersediaan bahan pangan atau ketahanan pangan dengan adanya potensi gangguan perdamaian apabila kebutuhan itu gagal dipenuhi.

Keben pada suku Karo memiliki bentuk dan struktur yang hampir sama dengan Leuit pada suku Baduy. Hanya ukuran-ukuran tertentu saja yang berbeda.

Misalnya Leuit Baduy tipe "leuit lenggang" yang pada tiangnya memiliki pedati (gelebeg) dan "leuit karumbung" dengan berbentuk segi empat dan tiangnya pendek. 

Di bagian atas tiang-tiang tersebut disambungkan dengan bangunan leuit seperti rumah panggung, yang berbentuk persegi empat dengan bagian atas ukurannya lebih besar, dengan tinggi sekitar 2,5 m, sehingga kalau dipasang dengan bagian atapnya membentuk trapesium.

Begitu juga dengan beberapa Keben yang pernah saya jumpai di beberapa desa di Kabupaten Karo, walaupun beberapa strukturnya berbeda. Antara lain struktur 4 tiang penyangga pada Leuit Baduy, pada Keben suku Karo terkadang dijumpai 9 tiang, mungkin terkait dengan perbedaan ukuran lumbung.

Keben berbentuk trapesium dengan 9 tiang dan alas tiang dari batu di Desa Martelu (Dokumentasi pribadi)
Keben berbentuk trapesium dengan 9 tiang dan alas tiang dari batu di Desa Martelu (Dokumentasi pribadi)
Bekas Keben berbentuk trapesium dengan 4 tiang dan alas tiang dari kayu di Desa Barung Kersap, Kab. Karo (Dokumentasi pribadi)
Bekas Keben berbentuk trapesium dengan 4 tiang dan alas tiang dari kayu di Desa Barung Kersap, Kab. Karo (Dokumentasi pribadi)
Selain itu, tiap dasar tiang juga tidak langsung menyentuh tanah, dimaksudkan agar tiang leuit tidak basah dan terhindar dari serangan rayap. Namun, alas tiang dari batu dengan permukaan agak rata pada leuit, pada beberapa Keben di Kabupaten Karo saya temukan ada juga menggunakan kayu.

Persamaan-persamaan pada Leuit Baduy dan Keben suku Karo ini tentu adalah sebuah hal yang menarik, mengingat kedua peninggalan ini merupakan hasil kebudayaan yang berasal dari zaman nenek moyang, di mana pada masa itu belumlah semudah sekarang untuk melaksanakan studi tiru.

Apa yang memungkinkan persamaan ini salah satunya adalah karena petani dalam masyarakat agraris pada masa nenek moyang kita, bertani dengan dilandasi kuat oleh pengetahuan ekologi lokal (local ecological knowledge atau local knowldge) dan kepercayaan (belief atau cosmos). Pengetahuan itu diwariskan secara turun temurun secara lisan menggunakan bahasa ibu.

Dalam konteks pembangunan, pengetahuan semacam itu dapat diartikan sebagai pengetahuan kolektif yang dimiliki oleh suatu populasi, bersifat holistik, sangat mendalam, tapi sangat spesifik lokal. Hal itu berhubungan dengan berbagai ranah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, dan sangat rentan terhadap kepunahan.

Bila dalam rangka memenuhi kebutuhan yang menuntut adanya modernisasi, ternyata pertanian kita masih mengakibatkan kerentanan bahkan kepada para petani sendiri, tidakkah ini cukup menjadi sebuah pelajaran bahwa spesifikasi lokal daerah tertentu mungkin tidak cocok untuk dipaksa menjadi "modern"? Mungkin keberlangsungan Keben itu adalah juga keberlangsungan kehidupan yang lebih cocok bagi sebagian kita.

Sebaliknya, kepunahan Keben menjadi tanda-tanda awal yang berpeluang menyebabkan terjadinya pengungsi iklim dan terganggunya ketahanan pangan kita. Masih banyak hal yang perlu dikaji dari sana.

Melihat potret lumbung-lumbung padi warisan nenek moyang yang sudah tidak berfungsi ini, saya jadi teringat sebuah pesan profetis dari sebuah kisah mimpi Firaun di Alkitab, yang diterjemahkan oleh Yusuf. Pada masa tujuh tahun kelimpahan harus menyimpan hasil panen di lumbung, sebab tujuh tahun sesudah kelimpahan itu akan datang masa paceklik.

Bukankah itu sebuah konsep sederhana tentang ketahanan? Bila pada masa dulu nenek moyang kita sudah mengerti itu, maka mungkin tidak ada salahnya untuk kita melongok kembali ke masa lalu. Jangan-jangan kita sudah semakin tidak mengerti makna kelimpahan dan kekurangan. Semoga saja tidak sesederhana itu.

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun