Pohon ini termasuk keluarga hecythidaceae. Biasanya tumbuh di sepanjang pantai yang berpasir dan berbatu, bunganya seperti sikat berwarna putih dan bertangkai panjang, buahnya apabila diperas akan mengeluarkan minyak berwarna merah, digunakan sebagai bahan bakar karena mengandung oli/lemak dengan kadar 3%.
Menjadi menarik, karena Pohon Keben juga memiliki arti lain, yakni "Pohon perdamaian". Menghubungkan fungsi Keben sebagai tempat penyimpanan padi dan perdamaian dalam makna nama sebuah pohon, tentu bermanfaat untuk menjelaskan gambaran hubungan antara ketersediaan bahan pangan atau ketahanan pangan dengan adanya potensi gangguan perdamaian apabila kebutuhan itu gagal dipenuhi.
Keben pada suku Karo memiliki bentuk dan struktur yang hampir sama dengan Leuit pada suku Baduy. Hanya ukuran-ukuran tertentu saja yang berbeda.
Misalnya Leuit Baduy tipe "leuit lenggang" yang pada tiangnya memiliki pedati (gelebeg) dan "leuit karumbung" dengan berbentuk segi empat dan tiangnya pendek.Â
Di bagian atas tiang-tiang tersebut disambungkan dengan bangunan leuit seperti rumah panggung, yang berbentuk persegi empat dengan bagian atas ukurannya lebih besar, dengan tinggi sekitar 2,5 m, sehingga kalau dipasang dengan bagian atapnya membentuk trapesium.
Begitu juga dengan beberapa Keben yang pernah saya jumpai di beberapa desa di Kabupaten Karo, walaupun beberapa strukturnya berbeda. Antara lain struktur 4 tiang penyangga pada Leuit Baduy, pada Keben suku Karo terkadang dijumpai 9 tiang, mungkin terkait dengan perbedaan ukuran lumbung.
Persamaan-persamaan pada Leuit Baduy dan Keben suku Karo ini tentu adalah sebuah hal yang menarik, mengingat kedua peninggalan ini merupakan hasil kebudayaan yang berasal dari zaman nenek moyang, di mana pada masa itu belumlah semudah sekarang untuk melaksanakan studi tiru.
Apa yang memungkinkan persamaan ini salah satunya adalah karena petani dalam masyarakat agraris pada masa nenek moyang kita, bertani dengan dilandasi kuat oleh pengetahuan ekologi lokal (local ecological knowledge atau local knowldge) dan kepercayaan (belief atau cosmos). Pengetahuan itu diwariskan secara turun temurun secara lisan menggunakan bahasa ibu.
Dalam konteks pembangunan, pengetahuan semacam itu dapat diartikan sebagai pengetahuan kolektif yang dimiliki oleh suatu populasi, bersifat holistik, sangat mendalam, tapi sangat spesifik lokal. Hal itu berhubungan dengan berbagai ranah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, dan sangat rentan terhadap kepunahan.
Bila dalam rangka memenuhi kebutuhan yang menuntut adanya modernisasi, ternyata pertanian kita masih mengakibatkan kerentanan bahkan kepada para petani sendiri, tidakkah ini cukup menjadi sebuah pelajaran bahwa spesifikasi lokal daerah tertentu mungkin tidak cocok untuk dipaksa menjadi "modern"? Mungkin keberlangsungan Keben itu adalah juga keberlangsungan kehidupan yang lebih cocok bagi sebagian kita.