Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila dalam Tindakan, Kehidupan Lebih Nyata daripada Pendapat tentang Kenyataan

1 Juni 2020   11:37 Diperbarui: 1 Juni 2020   11:50 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, bahwa Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni. Namun, sejalan dengan penetapan bencana non alam penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020, maka peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2020 di tengah masa pandemi ini dilaksanakan melalui media elektronik, video conference atau dalam jaringan (on-line).

Tema peringatan hari lahir Pancasila tahun 2020 ini adalah "Pancasila Dalam Tindakan Melalui Gotong Royong Menuju Indonesia Maju". Sebuah tema yang sangat relevan dan aktual, dalam kaitannya dengan konteks kebencanaan dan tindakan kemanusiaan. Selain itu, nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial, sebagai nilai-nilai dasar Pancasila akan lebih bermakna bila teraktualisasi dalam tindakan.

Berkaca dari masa lalu, kita bisa mengetahui bahwa dulu orang terbiasa hidup aman bahkan di tengah-tengah padang pasir atau hutan. Sekarang, ilmu pengetahuan modern bisa mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya.

Baik sebagai individu maupun makhluk sosial, manusia kini mudah sekali menemukan berbagai hal yang bisa membuatnya merasa tidak aman. Selalu merasa dikejar-kejar, salah satunya karena ilmu pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu kepada manusia untuk menguasai, baik alam maupun manusia sekaligus.

Dalam novel roman sejarah "Jejak Langkah" yang ditulis Pramoedya Ananta Toer, Minke mendapatkan sebuah renungan dari temannya yang juga adalah seorang aktivis dan tokoh angkatan muda Tiongkok yang berdiaspora ke Hindia Belanda, bernama Khow Ah Soe. Katanya, "Tidak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu pengetahuan itu sendiri, yang lebih unggul di tangan manusia yang lebih berbudi". Ah Soe diceritakan akhirnya meninggal di Hindia Belanda, tanpa pernah kembali ke kampung halamannya.

Membutuhkan barang satu dua jam, untuk merenung-renungkan bagaimana penderitaan dari orang-orang yang menanggungkannya sudah sejak awal, saat diusianya mereka seharusnya merasakan keceriaan. Orang-orang yang menderita sejak masih kecilnya, dan menanggung beban derita jauh melampaui sewajarnya dengan usia yang sepatutnya.

Meskipun adalah sebuah kebenaran, bahwa penderitaan dan keceriaan adalah sebuah kondisi yang akan selalu datang dan pergi silih berganti sebagai suatu keseimbangan, tidak kurang benar juga penilaian dari seseorang yang mendapatkan kesimpulan bahwa "Tidak seharusnya orang musti melihat keceriaan dan derita sebagai satu keseimbangan, sebab kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapapun tentang kenyataan".

Manusia mungkin masih bisa terlelap dalam tidur, tapi bukan karena dorongan hasratnya untuk segera menjemput fajar esok hari. Ia bisa saja ketiduran karena merasakan keletihan atas renungan-renungan yang tak kunjung mendapatkan pengertian.

Sama halnya dengan perbedaan sudut pandang. Manakala horison berarti adalah tapal batas jarak pandang yang merupakan tempat pertemuan gunung, langit dan perairan bagi sebagian orang, sementara bagi yang lainnya itu adalah tempat jatuhnya matahari dalam senja. Tidak berhenti sampai di sana, bagi sebagian sisanya, horison adalah tempat munculnya fajar pagi di belahan bumi yang lain.

Keletihan yang dirasakan itu mungkin sedikit terhiburkan, saat dirasai masih ada ditemukan sahabat-sahabat, sesama manusia yang mampu saling menerima dan memberi, dalam apa yang ada dengan penuh ketulusan, sekalipun masih juga dalam keletihannya sendiri.

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengusulkan dasar negara yang terdiri dari lima sila, diberi nama Pancasila di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain simbol dari kelima sila yang ada pada lambang burung garuda Pancasila, kita pasti sangat mengenal semboyan Bhineka Tunggal Ika pada sebuah pita putih dalam cengkeraman kuku-kuku garuda yang kokoh. Indoneisa berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.

Sebagaimana dikutip dari wikipedia, pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkeram Garuda, semula adalah pita merah putih yang akhirnya diubah menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Rancangan finalnya dibuat oleh Menteri Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Sultan Hamid II.

Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali -- Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. 

AG Pringgodigdo dalam bukunya "Sekitar Pancasila" terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Dalam sebuah risalah tanpa nama dari Magda Peters di dalam novel roman sejarah "Anak Semua Bangsa", yang juga ditulis oleh Pramoedya, ada seorang anoniemus, orang tanpa nama, yang bukan orang pribumi Hindia Belanda tapi dapat mengenali dan menjelaskan secara rinci watak petani pribumi di era panjang masa kolonialisme pada waktu itu dengan baik.

Katanya, saat petani sendiri tak tahu menahu dengan jelas tentang dirinya sendiri, perasaan umum mereka adalah curiga dan takut pada semua yang bukan petani. Dari pengalaman berabad, mereka mengerti tanpa disadarinya, bahwa semua yang berada di luar mereka, secara sendiri-sendiri atau bersama adalah perampas segala apa dari diri mereka. Dalam hal ini, maksudnya adalah penjajah kolonial dan termasuk para bangsawan pribumi yang diperalat oleh penjajah itu sendiri.

Bila para petani yang penuh curiga dan takut itu sudah melewati titik-dalam dari ketakutan dan kecurigaannya, maka dia akan melambung dalam ledakan membabi buta yang dinamai amuk. Mereka bisa melancarkan amuk secara sendiri-sendiri atau beramai-ramai. Mereka melawan siapa saja yang bukan petani.

Begitulah makhluk mengibakan yang tidak kenal ilmu bumi ini digambarkan dalam novel roman sejarah ini. Selalu dapat ditumpas oleh penjajah dalam beberapa menit amukannya. Mereka patah untuk selama-lamanya setelah mencoba. Tigaratus tahun lamanya. Maka setiap orang dari golongan apa saja yang tampil dapat menghibur dan mengambil hatinya, akan mereka ikuti. Baik dalam beribadah, berangkat ke medan perang ataupun hingga tumpas dari kehidupan.

Bila dirasa-rasakan, sejak semboyan Bhineka Tunggal Ika diresmikan bersamaan dengan peresmian pemakaian lambang negara kita itu lebih dari 70 tahun yang lalu, tidakkah pengenalan dan cara kita memperlakukan kebhinekaan kita dalam tindakan masih tetap mendapatkan tantangannya? Kita acap kali dijajah oleh pikiran kita sendiri. Tidak ubahnya dengan nilai petani mengibakan yang menaruh curiga kepada siapa saja yang berbeda dengan dirinya, akibat sengsara karena terlalu lama ditindas dan terjajah.

Pengenalan atas diri kita sendiri dalam cermin sejarah secara jujur, mungkin akan membuat kita merasa mendapatkan dakwaan yang menyakitkan, tetapi itu adalah sebuah kenyataan. Dalam pada itu bukan lagi soal asing atau pribumi yang menjadi pokok permasalahannya, tetapi soal kesetiaan dan kecintaan pada negeri dan bangsa sendiri, yang tidak akan mungkin terjadi kalau tidak dimulai dengan mencoba mengenalinya sendiri secara jujur.

Referensi:
Surat Edaran Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 04 Tahun 2020 Tentang Peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2020
wikipedia.org

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun