Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Laki-laki atau Perempuan Sama Saja, Suasana Hatimu adalah Rasa Masakanmu

24 Mei 2020   09:46 Diperbarui: 24 Mei 2020   15:02 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pandangan masyarakat secara umum, khususnya di masyarakat dengan sistem patriarki, ada stereotip yang memandang bahwa memasak adalah salah satu fungsi atau tugas wanita. Namun, apakah memang demikian faktanya?

Kita bisa melihat mulai dari acara masak-memasak di rumah tangga. Ketika seorang ibu atau istri sakit, masih mungkinkah membebankan tugas memasak begitu saja kepada mereka? Bila demikian halnya, menjadi benarlah pendapat yang mengatakan bahwa perbudakan paling tua di atas muka bumi adalah penindasan terhadap wanita.

Kecuali bila memasak untuk makan di keluarga memang disiapkan oleh pembantu, atau segala sesuatu yang dimakan di keluarga memang dibeli dari luar dan bukannya dimasak, mustinya dalam situasi ibu atau istri tidak bisa memasak, semestinya bapak, suami, atau anak-anak, tidak terbatas laki-laki atau perempuan yang mengambil alih tugas untuk memasak.

Bila kita melihat ke berbagai tayangan tentang acara masak memasak di televisi, sering kali juru masak yang menjadi memperagakan cara-cara memasak dengan berbagai menu masakan dan beragam resep dibawakan oleh laki-laki.

Selanjutnya, bila kita menonton ajang pencarian bakat masak-memasak di televisi, dari tiga orang jurinya seringkali dua di antaranya adalah laki-laki. Kalaupun hanya satu di antaranya, maka laki-laki tidak jarang yang menjadi semacam juri kepalanya.

Kalau bukan karena keahliannya memasak, atau karena kejelian dan kecermatannya dalam mengenali seluk beluk bumbu masakan dan teknik pengolahannya, tidak mungkin seorang laki-laki mampu memberi penilaian yang tepat tentang cita rasa sebuah masakan, keculi bila ia memang berlagak ahli dan dipuja-puja tanpa perlu adanya alasan yang jelas. Itupun ciri masyarakat patriarki yang feodalistik.

Tanpa bermaksud diskrimintif terkait isu gender, apalagi merendahkan wanita, hubungan antara gender dengan mitos atau fakta terkait tugas siapakah sebenarnya memasak ini hanya untuk melihat sejauh mana kebenaran tentang fungsi memasak yang sering distereotip sebagai domain utama kaum wanita.

Kebenaran tentang masak-memasak yang mungkin juga jarang disadari, dapat ditemukan dalam sistem kekerabatan yang masih kental dengan nuansa adat.

Dalam sistem kekerabatan yang menganut sistem patriarki di masyarakat Karo, di mana garis keturunan dari laki-laki menjadi patron yang menentukan strata sosial seseorang dalam hirarki adat istiadat, biasanya para wanita yang bekerja untuk menyiapkan segala kebutuhan akan makanan selama acara berlangsung. Termasuk juga laki-laki yang berumah tangga dengan para wanita dari keluarga yang melaksanakan acara.

Jadi, bahkan dalam bentuknya yang paling tradisional dalam sebuah masyarakat adat pun tidak terjadi pembatasan tegas tentang fungsi memasak sebagai tugasnya kaum wanita saja. Laki-laki dan perempuan akan memasak pada waktunya.

Memasak (Dokpri)
Memasak (Dokpri)
Dalam hidup yang serba instan seperti zaman sekarang, manusia malah menjadi cenderung kurang peka dalam memandang hal ihwal memasak ini. 

Dalam pandangan praktis serba instan seperti ini, orang tidak mau lagi ambil pusing tentang apa yang dimakan, dari mana itu berasal, siapa yang membuatnya, dan apa manfaatnya. Yang penting enak, semua tinggal dibeli.

Maka, tidak heran. Dalam kehidupan dengan pola pikir dan perilaku seperti ini, uang tampak menjadi sesuatu yang segala-galanya dan paling penting. Sebab dengan uang, apapun bisa didapatkan, apa pun bisa dimakan. Manusia menjadi makhluk pemakan uang.

Memasak makanan sendiri, paling tidak membuat kita menjadi tahu khasiat dari bahan-bahan yang kita makan dalam makanan. Selain itu kita menjadi lebih menghargai makanan dan bahan-bahan, karena kita tahu bahwa untuk memasak makanan pun butuh pengorbanan, dan ada orang-orang yang berjuang di balik tersajinya makanan yang bisa kita makan.

Semestinya, kita tidak akan tega dan sampai hati menyia-nyiakan makanan bila kita melihat perjuangan, pengorbanan dan tekad bulat dari orang-orang yang menyiapkan makanan yang kita makan. Apalagi membuat hati orang yang memasak bagi kita menjadi kecut, apakah karena kurang enak disajikan dengan kurang sopan dan lain sebagainya.

Puji dan senangkan hati orang yang memasak bagimu, sebab sukacitanya menentukan rasa makanan yang kamu makan. Demikan juga, bila kamu diberi tanggung jawab memasak makanan, baik laki-laki ataupun perempuan, senangkanlah hatimu sendiri apapun yang terjadi. Sebab suasana hatimu adalah rasa masakanmu.

Apakah kita masih menyadari bahwa suasana hati orang-orang yang menyiapkan makanan kita berhubungan langsung dengan lezat atau tidak, sehat atau tidaknya makanan yang kita makan?

Jangan-jangan, dengan cara berpikir yang serba instan di zaman yang semakin dipenuhi hal-hal yang bisa bikin heran, merasa cukup hanya dengan ada uang karena dengan uang maka semua bisa dibeli dan didapatkan, entahkah itu kehormatan, pujian dan sanjungan, apalagi hanya makanan, turut menyumbang lamanya masa hidup kita kini yang juga tampaknya semakin instan. Semuanya terasa berjalan dan berlalu dalam waktu yang semakin singkat dan berlalunya buru-buru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun