Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Kak Tangko Bunga", Dokumentasi Dongeng Tuntutan Kreativitas Ketika di Rumah Saja

9 Mei 2020   18:15 Diperbarui: 9 Mei 2020   19:19 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The myths and legends associated with ravens - Telegraph (elegraph.co.uk)

Bentuk kepatuhan pada himbauan pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang untuk membatasi interaksi sosial dan menjaga jarak dari kerumunan, membuat hari-hari kini kebanyakan orang, terutama di daerah-daerah yang terdampak virus Corona lebih banyak di rumah saja. Makin lama hal ini berlangsung, selain menimbulkan masalah bagi ekonomi rumah tangga karena terganggunya aktivitas "cari makan", juga menimbulkan beban psikologis, yang tampak pada rasa bosan, stress maupun frustasi.

Berkebun meskipun dalam skala lahan yang sangat sempit atau bahkan hanya pada wadah barang-barang bekas atau pot-pot kecil, sudah. Mengeksplorasi berbagai jenis bahan dan menu makanan yang selama ini bahkan tidak pernah dimasak, sudah. Tiba-tiba menjadi youtuber dengan beragam konten, mulai dari yang paling masuk akal, hingga yang paling konyol, sudah. Bahkan sudah ada yang berurusan dengan masalah hukum dengan konten yang mereka buat.

Semua hal ini dan beragam aktivitas lainnya dalam daftar yang sangat banyak untuk disebutkan, dilakukan di sela-sela kenormalan baru urusan pekerjaan, pendidikan dan ibadah yang dilakukan dari rumah. Semuanya itu berlangsung dalam ruang dan waktu mandiri yang nyaris tanpa pengawasan. Hanya kita dan yang Maha Kuasa yang tahu apa yang kita lakukan, bahkan anggota keluarga pun bisa tidak.

Melakukan hal yang sama berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama memang mudah sekali menyebabkan kebosanan. Menyiasati hal ini, kita dituntut untuk setiap hari semakin kreatif bila tidak ingin mati bosan.

Keluar dilarang, di rumah saja pun bikin kita terancam. Ya, terancam ekonomi, terancam akal sehat, terancam jiwa sehat, hingga hilang kesadaran.

Usaha kreatif untuk mengatasi segala ancaman ini, baik yang dilakoni oleh orang tua, maupun oleh anak-anak yang harusnya bermain dan belajar, adalah sebuah bentuk kreasi yang menuntut semangat perjuangan dan pengorbanan, yang tidak kalah hebat dari perjuangan dan pengorbanan dalam arti sebenarnya atas segala hal yang layak disebut ancaman. Oleh karenanya, hal-hal itu sayang sekali bila tidak didokumentasikan.

Ada sebuah cerita rakyat Karo yang berjudul "Kak Tangko Bunga" atau bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "Burung Gagak Pencuri Kapas". Ini adalah sebuah cerita rakyat yang biasa diceritakan oleh seorang ayah/ibu kepada anaknya, atau kakek/nenek kepada cucunya. Biasanya pada malam hari sebagai cerita pengantar tidur.

Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung hiduplah seorang nenek dan dua orang cucunya. Ketika hari beranjak siang sang nenek menjemur kapas di halaman rumahnya. Ia lalu memanggil kedua cucunya menjaga jemuran kapasnya, sebab ia hendak pergi mandi ke pemandian.

Satu cucunya tuli, yang satu lagi buta. Ketika sang nenek pulang dari pemandian, dilihatnya kapas itu sudah tidak ada lagi di jemuran.
Katanya kepada cucunya: "Di mana kapas yang tadi dijemur itu?"

Cucunya yang buta menjawab: "Tadi aku mendengar suara, kak...kak... Tapi aku tidak yakin apakah itu yang telah mencurinya".

Lalu cucu yang tuli berkata : "Tadi aku melihat burung besar berwarna hitam. Burung itu menelan kapas yang dijemur, tapi aku tidak mendengar suara apa-apa. Saat hendak kupanggil, burung itu sudah duluan terbang".

Sang nenek pun memohon kepada burung Gagak yang disangkakan oleh cucunya telah mencuri untuk mengembalikan kapas yang telah ditelannya.

Burung Gagak menjawab: "Aku tidak ada menelannya, kapas itu bisa saja di teras atas rumahmu"

Lalu sang nenek mencarinya ke tempat itu, tapi tidak ada di sana.

Lalu kata burung Gagak lagi: "Mungkin di teras bawah".

Sang nenek kembali mencari ke sana, tapi di situ pun tidak ada.

Burung Gagak kembali berkata : "Mungkin kapas itu ada di atas para-para dapur".

Sang Nenek mencari lagi ke para-para dapur, tapi di sana pun tidak ada.

Lalu, sang nenek berpikir keras, bagaimana caranya membuat kapasnya kembali.

Dia pun meminta bantuan kepada sumpit, katanya : "Oh, sumpit, tolong bantulah aku. Lesakkan anak sumpitmu ke arah burung Gagak itu, karena ia mencuri kapasku".

Kata si Sumpit: "Aku tidak mau".

Lalu sang nenek menemui parang, katanya :  "Oh, parang, tolong bantulah aku. Belahlah sumpit itu, karena ia tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Kata parang: "Aku tidak mau".

Lalu sang nenek meminta tolong kepada bara api, katanya : "Oh, bara api, pangganglah parang itu, yang tidak mau membelah sumpit, sumpit yang tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Kata bara api: "Aku tidak mau".

Lalu sang nenek pergi minta tolong kepada sungai, katanya : "Oh, sungai, padamkanlah bara api itu, yang tidak mau memanggang parang, parang yang tidak mau membelah sumpit, sumpit yang tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Kata sungai : "Aku tidak mau".

Lalu sang nenek pergi mendatangi tebing, katanya : "Oh, tebing bantulah aku, bendunglah sungai itu, yang tidak mau memadamkan bara api, bara api yang tidak mau memanggang parang, parang yang tidak mau membelah sumpit, sumpit yang tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Kata tebing menjawab : "Aku tidak mau".

Sang nenek hampir putus asa mencari bantuan mengatasi masalahnya. Namun, ia masih berusaha dengan menjumpai kerbau. Katanya : "Oh, kerbau, tolong bantulah aku, seruduklah tebing itu, yang tidak mau membendung sungai itu, sungai yang tidak mau memadamkan bara api, bara api yang tidak mau memanggang parang, parang yang tidak mau membelah sumpit, sumpit yang tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Kata kerbau menjawab : "Aku tidak mau".

Lalu sang Nenek pergi menjumpai rotan, katanya : "Oh, rotan, bantulah aku, jeratlah kerbau itu, yang tidak mau menyeruduk tebing itu, tebing yang tidak mau membendung sungai, sungai yang tidak mau memadamkan bara api, bara api yang tidak mau memanggang parang, parang yang tidak mau membelah sumpit, sumpit yang tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Si Rotan menjawab : "Aku tidak mau".

Lalu sang Nenek menjumpai tikus, katanya : "Oh, tikus, tolong bantu aku, gigitlah rotan itu, yang tidak mau menjerat kerbau, kerbau yang tidak mau menyeruduk tebing itu, tebing yang tidak mau membendung sungai, sungai yang tidak mau memadamkan bara api, bara api yang tidak mau memanggang parang, parang yang tidak mau membelah sumpit, sumpit yang tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Kata tikus menjawab : "Aku tidak mau".

Lalu sang Nenek menjumpai kucing, katanya : "Oh, kucing, terkamlah tikus itu, yang tidak mau mengigit rotan, rotan yang tidak mau menjerat kerbau, kerbau yang tidak mau menyeruduk tebing, tebing yang tidak mau membendung sungai, sungai yang tidak mau memadamkan bara api, bara api yang tidak mau memanggang parang, parang yang tidak mau membelah sumpit, sumpit yang tidak mau melesakkan anak sumpit ke arah burung Gagak. Burung Gagak itu sudah  mencuri kapasku".

Lalu, kata kucing menjawab : "Dimana kah gerangan tikus itu? Aku akan menerkam dan memakannya".

Mendengar itu, kucing yang takut diterkam kucing, menjawab : "Jangan terkam aku, aku akan mengigit rotan itu".

Lalu kata rotan : "Jangan gigit aku, aku akan menjerat kerbau itu".

Kerbau berkata : "Jangan jerat aku, aku akan menyeruduk tebing itu".

Tebing menjawab: "Jangan seruduk aku, aku akan membendung sungai itu".

Kata sungai : "Jangan bendung aku, aku akan memadamkan bara api itu".

Kata bara api menjawab : "Jangan padamkan aku, aku akan memanggang parang itu".

Parang itu berkata : "Jangan panggang aku, aku akan membelah sumpit itu".

Lalu kata sumpit : "Jangan belah aku, aku akan melesakkan anak sumpitku ke arah burung Gagak itu".

Burung Gagak itupun takut mendengar sumpit akan melesakkan anak sumpit ke arahnya, katanya : "Jangan lesakkan anak sumpit ke arahku, aku akan mengembalikan kapas itu", sembari memuntahkan kapas yang telah dicurinya.

Beberapa pengajaran moral yang terdapat dalam cerita ini adalah, bahwa sekalipun disangkal, perbuatan jahat yang ditutupi akan tetap terbongkar cepat atau lambat. Pencarian akan kebenaran sendiri bukanlah sebuah perkara yang mudah, tidak semua pihak yang memiliki kemampuan akan segera mau bertindak membantu.

Itupun adalah sebuah kenyataan, bahwa perjuangan senantiasa perlu dibarengi dengan pengetahuan dan ketekunan, hingga berbuah sesuai harapan. Cerita tentang Kak Tangko Bunga, adalah sebuah bentuk cerita rakyat yang membutuhkan kecerdasan dalam menemukan kekuatan dan kelemahan berbagai hal dalam hidup. Itu hanya akan dapat ditemukan bila pencarian dibarengi dengan kecermatan, konsisten dan persisten.

Persis seperti seorang anak yang mendengarkan cerita ini, bila tidak mengikuti alurnya, alur campuran dalam maju dan mundur cerita dari awal hingga ke akhir dan kembali lagi ke awal, hanya bisa diikuti bila ia memang menaruh minat pada sesuatu yang butuh kecermatan dan sistematis. Bila tidak, maka ia mungkin akan meminta ayah, ibu, kakek atau neneknya untuk mengulang kembali bagian cerita yang terluput.

Itupun adalah suatu bentuk tantangan bagi ayah, ibu, kakek atau nenek yang menceritakannya. Karena bukan tidak sering, sesuatu yang sistematis bila sering mendapatkan gangguan akan mendatangkan serangan rasa kantuk lebih awal. Maka sebagai cerita pengantar tidur, ini tidak ubahnya dengan metode menghitung domba atau kuda yang seolah tampak melompat-lompat dalam samar di atas kelopak mata di antara anak dan orang tua yang akan segera beranjak tidur di Eropa.

Mendokumentasi "Burung Gagak Pencuri Kapas" dalam "Kak Tangko Bunga" yang telah menjadi cerita pengantar tidur anak-anak dalam belaian suara generasi ke generasi dari masa lampau itu, adalah semacam ekskavasi atau penggalian reruntuhan peninggalan arkeologis kesusasteraan. Itu adalah bagian warisan kekayaan seni budaya suku bangsa kita, yang begitu beragam, bermanfaat menyatukan keluarga, sambil mengenalkan akar nilai-nilai budaya dan identitas asli kita.

Sebagaimana para pakar memprediksi bahwa bahkan setelah pandemi ini berakhir, keruntuhan sistem sosial dan nilai-nilai normal dalam kemapanan pandangan kita selama sebelum adanya pandemi ini, Corona Virus Disease-19 (Covid-19) dan dampak hebat yang ditimbulkannya akan tetap hangat mengisi ruang-ruang percakapan masyarakat dunia hingga satu atau dua dasawarsa setelahnya.

Sebagaimana virus ini tidak tampak secara kasat mata sebagai lawan yang bisa diperangi, demikian juga cerita rakyat tumbuh dalam penuturan dari mulut ke mulut, tanpa tahu siapa pengarangnya, dan yang pertama mencetuskannya. Ini pun sebagai bagian dari bentuk disclaimer, bila ditemukan versi narasi dan penafsiran yang berbeda atas cerita yang sama, sebagaimana sering dijumpai dalam umumnya cerita rakyat.

Namun, ia hidup lama dan diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Bila hari ini tidak diingat lagi, entah bagaimana caranya besok atau lusa ia timbul lagi, menjadi cerita yang konon katanya, tapi selalu ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun