Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencintai Negeri sebagai Bentuk Kebijaksanaan dalam Ilmu Pengetahuan

2 Mei 2020   20:04 Diperbarui: 2 Mei 2020   23:11 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama anak-anak yang bermain sepak bola di tanah lapang SD Inpres Desa Serdang, 2019 (Dokpri)

Scient a est Sapientia, ilmu pengetahuan adalah sumber kebijaksanaan. Demikianlah sepenggal ungkapan dari terjemahan berbahasa Latin.

Mengkaitkan hubungan antara ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan, maka pikiran kita mungkin akan langsung terhubungkan dengan sekolah sebagai tempat menimba ilmu. Namun, pengalaman yang sudah berumur cukup tua ternyata membuktikan bahwa sekolah dalam arti formal bukan sumber ilmu pengetahuan satu-satunya.

Apalagi bila dihubungkan dengan pengalaman kita sebagai orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah, atau bahkan kita sendiri sebagai pelajar yang belajar di rumah setiap hari pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini. Ternyata, ilmu dan pengetahuan berhubungan erat dengan keluarga dan rumah sebagai lingkungannya.

Baca juga : https://www.kompasiana.com/teotarigan/5be23781ab12ae12ff396612/non-scholae-sed-vita-discimus

Sebagaimana pengalaman orang tua di Tiongkok pada zaman dahulu, yang berpendapat bahwa pembentukan perilaku luhur dan etika sebagai sebuah keutamaan hidup, yang tercermin dalam Pelajaran Di zi gui. Itu berasal dari tatanan hubungan yang paling erat di antara anggota keluarga. Itu adalah modal dasar untuk kemudian sampai kepada cara berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain.

Karakter yang baik merupakan dasar untuk melahirkan dan mengembangkan kasih sayang dan moralitas di masyarakat. Disanalah terasa pentingnya pendidikan rumah tangga dalam membentuk etika dan norma kehidupan yang sehat dan baik bagi seseorang.

Ilmu dan pengetahuan yang ditimba dan berkembang dalam tatanan hubungan di antara anggota keluarga, selanjutnya menjadi bekal anak untuk mempelajari ilmu lain. Pertimbangannya adalah, karena kalau anak tidak dididik dengan benar, ilmu lain yang ia pelajari bisa menjadi bumerang bagi bangsa dan negara. Oleh sebab itu, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia seutuhnya, sehat jasmani dan rohani, untuk bisa menjadi andalan keluarga, serta mengabdi kepada bangsa dan negara.

Bersama anak-anak yang bermain sepak bola di tanah lapang SD Inpres Desa Serdang, 2019 (Dokpri)
Bersama anak-anak yang bermain sepak bola di tanah lapang SD Inpres Desa Serdang, 2019 (Dokpri)
Hal ini sebagaimana ajaran Konfusius, bahwa seorang anak seharusnya dididik sejak dini untuk berbakti dan patuh kepada orangtua serta menunjukkan kasih sayang sesama saudara, sebagai konsep dasar utama pendidikan. Kemudian mengembangkan kewaspadaan diri dan peduli terhadap lingkungan hidup hingga menjadi orang yang bisa diandalkan.

Setelah memenuhi syarat pendidikan moral yang mendasar, barulah mempelajari keahlian dan keterampilan lainnya berdasarkan bakat dan kemampuan masing-masing. Pengalaman panjang dari pendidikan Tiongkok ini, tampak dalam perilaku anak murid yang terbiasa belajar dan mengikuti ujian dengan tekun seolah-olah diawasi, sekalipun tidak ada guru yang mengawasi.

Hal itu adalah gambaran pepatah bijak kuno yang mengajarkan bahwa "Bila membawa wadah kosong, bawalah seperti membawa barang berisi. Saat masuk ruangan kosong harus tetap santun seperti ada orangnya." Model itu juga yang menanamkan sikap khawatir bila mendengar pujian, bersyukur bila mendengar kritikan, hingga melahirkan orang-orang yang tulus dan berjiwa besar menjalani kehidupan.

Kebijaksanaan lain yang mungkin muncul dari pencarian ilmu dan pengetahuan yang seperti ini adalah sesuatu yang tergambar dalam ungkapan "Sebelum membebankan kepada orang lain, tanyakan kepada diri sendiri. Bila diri sendiri tidak menginginkan, jangan meminta orang lain melakukannya."

Mengingat tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional, juga mengingatkan saya kepada kehidupan silam pada tahun 1990, saat menjadi siswa sekolah dasar di SD Inpres Desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Itu adalah singkatan dari sekolah dasar instruksi presiden, sebuah sistem pendidikan dasar yang dikembangkan sejak masa orde baru, yang ada di kampung kami.

Jalan desa di depan halaman SD Inpres Desa Serdang Kec. Barusjahe, 2019 (Dokpri)
Jalan desa di depan halaman SD Inpres Desa Serdang Kec. Barusjahe, 2019 (Dokpri)
Ibu yang seorang guru di sekolah itu membuat kami bisa tinggal di sebuah bangunan rumah dinas bagi guru-guru SD Inpres itu. Bangunan 3x3 meter dengan satu ruang kamar mandi itu dihuni oleh kami berempat. Ibu, dua adik saya yang masing-masing berumur empat tahun dan satu tahun, serta saya sendiri yang berumur 7 tahun.

Sementara bapak tinggal di kampung lain sebagai seorang pendeta pelayan jemaat. Kami bertemu hanya dua hari dalam seminggu, pada Sabtu dan Minggu, saat kami datang ke kampung tempat dia melayani itu.

Rumah kecil itu tentu makin lama menjadi tidak muat bagi kami. Maka kami menambahkan sebuah bangunan berukuran 3x2 meter di belakang sebagai dapur berdinding "salimar". Itu adalah istilah dalam bahasa Karo untuk menyebut dinding tepas yang dianyam dari bambu.

Sementara atapnya "tarum butar". Itu juga terbuat dari batang-batang bambu yang dibelah dua dan dijalin saling menimpa. Biasa juga dipakai oleh orang-orang kampung menjadi atap gubuk di ladang atau dangau di sawah.

Pengalaman masa kecil itu adalah sebuah kenangan yang sangat membekas bagi saya sebagai seorang siswa kelas 1 sekolah dasar. Sepulang sekolah biasanya akan kami isi dengan bermain-main bersama teman-teman sebaya di tanah lapang yang menjadi halaman depan yang mewah bagi rumah dinas mungil bagi guru-guru SD Inpres ini.

Saya mengingat dengan jelas dari kenangan masa lalu itu bahwa ibu adalah seorang wanita yang tangguh. Setiap pagi sebelum saya dan adik saya bangun tidur, ibu sudah pergi ke kamar mandi umum untuk mengambil air, untuk masak dan mandi. Sebab rumah ini tidak dialiri air pipanisasi.

Tahun 2019 yang lalu, pada sebuah kesempatan ketika saya menghadiri pesta adat ke kampung kami, saya hanya bisa menatap rumah mungil penuh kenangan ini, dari tanah lapang tempat bermain masa kecil kami. Seperti masa lalu, kini pun anak-anak itu masih bermain dengan riang di sana. Hanya saja bangunannnya tampak seperti sudah tidak dihuni.

Anak-anak bermain sepak bola di tanah lapang SD Inpres Desa Serdang, 2019 (Dokpri)
Anak-anak bermain sepak bola di tanah lapang SD Inpres Desa Serdang, 2019 (Dokpri)
Rumah penuh kenangan, bangunan rumah dinas guru SD Inpres Desa Serdang, 2019 (Dokpri)
Rumah penuh kenangan, bangunan rumah dinas guru SD Inpres Desa Serdang, 2019 (Dokpri)
Ibu yang mengambil air ke kamar mandi umum, menyiapkan sarapan pagi kami, kemudian berangkat mengajar dengan seragam kebesarannya di SD Inpres yang ada di seberang halaman depan rumah kami, adalah seorang pengajar utama dan guru bagi kami anak-anaknya. Ia yang mengajarkan ilmu pengetahuan kepada murid-murid dengan segala keterbatasannya sendiri pada masanya. Itupun adalah sebuah bentuk kebijaksanaan dalam pendidikan negeri bagi kami pada waktu itu.

Kini, pendidikan pun berkembang, berubah sesuai tuntutan. Besar kemungkinan, seiring perkembangan ilmu dan pengetahuan, kebijaksanaan pun berkembang.

Sesuai tema hari pendidikan nasional tahun ini, kita pun belajar dari Covid-19. Ya, begitulah, kita perlu belajar dari segala hal dan dari siapa saja. Seperti nasihat bijak dari Ki Hajar Dewantara, yang bernama lain Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, yang hari kelahirannya kita peringati sebagai hari pendidikan nasional ini, katanya "Apa pun yang dikerjakan seseorang, itu seharusnya bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, juga bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya."

Belajar dari Covid-19 di hari pendidikan nasional tahun ini, rasanya tidaklah salah untuk mengucapkan sebuah ungkapan lama sebagai sebuah bentuk kebijaksanaan, bahwa right or wrong Indonesia is my lovely country. Mencintai negeri bisa dalam bentuk sikap khawatir bila dipuji, dan bersyukur bila dikritik.

Memang sulit untuk dilakukan meskipun mudah diucapkan. Sekalipun salah, itu adalah hal biasa dalam belajar. Untuk mencintai memang tidak selalu mudah. Sama sukarnya dengan menemukan ketulusan dan jiwa besar.

Selamat Hari Pendidikan Nasional Tahun 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun