Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dalam Ikan, Badai dan Harapan Hanya Sejauh Lelucon dan Tragedi Kehidupan

28 April 2020   13:24 Diperbarui: 28 April 2020   13:25 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bantuan ini membuat tonggak kayu sisa hasil tebangan mampu bertahan hidup bahkan hingga beberapa dekade ke depan. Kita tidak bisa melihat fenomena ini secara kasat mata, karena rasa sakit pohon juga berjalan dalam waktu yang lambat, hanya 1 inchi/ menit.

Seperti miselium yang berjalan lambat pada pepohonan di Tanjung Harapan, maka barangkali samudra raya kehidupan juga membuat evolusi tetap berlangsung meskipun berjalan lambat dan nyaris tidak terasa.

Maka bila kini banyak negara di dunia yang semakin memperhatikan laut, seperti misalnya pemerintah Indonesia yang memiliki mimpi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, bukan tanpa alasan karena Tiongkok juga sudah lebih dahulu mengaktifkan rute perdagangan jalur sutera-nya yang juga melintasi samudra raya.

Seperti harapan yang juga kerap berasal dari badai yang dikirim dari tengah samudra, barangkali layaklah kita sedikit berpikir bahwa jalan evolusi juga akan semakin mendekatkan kehidupan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan air, seperti fiksi pada waterworld.

Bukankah Bumi kita adalah planet yang terdiri atas 70% lebih unsur air, dan menjadi tempat hidup dari lebih banyak makhluk? Maka mungkin sekali jika jalan evolusi akan membawa kembali makhluk-makhluk ke air.

Ini juga sebuah fenomena, meskipun dalam hal bahasa. Di kampung ini, lajim sekali bisa semua lauk disebut ikan. Jika seseorang menggulai ayam, maka akan terdengar biasa jika ada yang bertanya, "Apa ikannya?" untuk menanyakan apa yang menjadi lauk, maka akan dijawab "Ayam gulai". Atau jika ada yang memanggang babi, dan bila ada yang bertanya "Apa ikannya?" akan dijawab "Babi panggang".

Apakah hal ini karena kesadaran kolektif orang-orang bahwa pada akhirnya semua akan berevolusi dan pada akhirnya kembali menjadi ikan? Itu adalah sebuah kesimpulan yang konyol. Namun, konyol juga bukan berarti tidak mungkin bukan?

Kalaupun menyebut semua lauk sebagai ikan adalah sebuah kekonyolan, maka ini adalah sebuah fenomena kekonyolan yang evolutif. Kita berubah meskipun kita tidak sadar atau tidak mengakuinya.

Kata asli dalam bahasa Karo untuk menyebut lauk sebenarnya adalah "Bengkau". Maka, bila segala "Bengkau" bisa berubah menjadi "Ikan" dan dipahami secara kolektif sebagai "Lauk", barangkali itu datangnya dari sebuah intervensi pada sistem sosial tradisional yang berlangsung lama dan terus-menerus.

Bila intervensi bisa menghasilkan evolusi kata dalam bahasa menjadi "Ikan", mengapa tidak mungkin untuk berpikir bahwa evolusi juga bisa membuat berbagai spesies makhluk hidup menjadi ikan dalam arti sebenarnya? Dan bila ini mengerikan, bukankah kehidupan memang demikian adanya?

Bila tidak demikian, maka manusia mungkin tidak akan mampu menyebut Tanjung Badai sebagai Tanjung Harapan. Disebut apa sesuatu yang bisa menghasilkan harapan dari badai, kalau bukan sebuah tempat dengan kehidupan yang mengerikan sekaligus menakjubkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun