Selain tradisi Ikscon Yatra yang dilaksanakan selama 10 hari oleh para peziarah dan pemuja Dewa Krisna di India, yang membutuhkan sekitar 1,2 ton kembang kol, 1,2 ton kentang, 1,2 ton tomat dan 3,2 ton sayuran lainnya, sebagai bahan untuk menyiapkan kebutuhan sarapan, makan siang dan makan malam sekitar 5.000 porsi sekali makan, pada sebuah episode lain dari India's Mega Kitchen di National Geographic, ada lagi sebuah tradisi keagamaan yang dilaksanakan di Timur India.
Adalah tradisi perayaan Kalachakra Bodh Gaya, yang dilaksanakan selama 12 hari dan diikuti oleh ribuan orang.
Itu juga berarti sebuah tradisi perayaan yang memerlukan banyak bahan makanan. Beberapa menu sajian makan selama perayaan ini adalah susu mentega, teh, kue pipih Tibet dan tentu saja berbagai jenis sayuran.
Kedua tradisi keagamaan itu, dalam kaitannya dengan berbagai bahan makanan dari sayuran, hanyalah sedikit contoh bagaimana milyaran manusia yang hidup saat ini sangat membutuhkan tersedianya sayur-sayuran, tidak saja sebagai tradisi tapi juga sebagai sumber pasokan nutrisi penting bagi manusia di belahan bumi manapun di dunia.
Baca juga: Enigma Evolusi di Madagaskar dan Pelajaran tentang Makanan dari Govardhan
Bila sayuran yang tersaji dinikmati oleh konsumen, maka di sisi lain tidak kalah penting untuk menjadi perhatian adalah para petani sebagai produsen dan para pedagang sebagai distributor. Mereka dan kita semua, bisa dikatakan adalah orang-orang di pusaran sayuran.
Mencoba melihat mulai dari sudut pandang konsumen hingga produsen, di antara keduanya kali ini kita akan mencoba melihat para pedagang sayuran sebagai orang-orang di pusaran sayuran. Sebuah potret pedagang sayur di pusat pasar Kabanjahe.
Adalah Mamak Frengky, seorang pedagang sayuran yang menjadi langganan kami yang sudah berjualan sayuran di pusat pasar Kabanjahe selama lebih kurang 22 tahun.Â
Dalam dunia kepegawaian, barangkali masa kerja ibu ini adalah masa kerja dari seorang pegawai yang setidaknya sudah termasuk golongan Pembina Tingkat I, atau berpangkat IV/b, atau komisaris besar atau seorang kolonel. Artinya, itu adalah sebuah masa yang cukup panjang.
![Mamak Frengky, seorang pedagang sayuran di Pasar Kabanjahe (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/whatsapp-image-2020-04-26-at-22-46-45-5ea5b12c097f363dc945b8b4.jpeg?t=o&v=770)
Saya tidak tahu apakah dia juga sampai kepada pemahaman filosofis tentang berdagang, khususnya sayuran, sehingga tampaknya porsi sayur yang dijualnya rasanya selalu lebih banyak dari penjual sayur yang lain yang pernah kami beli.
Memang dalam perdagangan apa pun, biasanya langganan diperlakukan lebih dari pembeli biasa. Tapi seseorang tidak mungkin mampu memperlakukan siapapun istimewa bila bukan karena ada sebuah nilai yang sudah mengakar dalam dirinya.Â
Bisa saja kesadaran filosofis sudah menjadi nilai kesehariannya sekalipun tanpa di sadarinya. Paling tidak pedagang yang baik, sangat mengenal pepatah lama yang mengatakan bahwa pembeli adalah raja.
Memahami kesadaran pedagang sayuran dari sudut pandang konsumen, dengan memakai analogi yang dipakai oleh Bob Fisher dalam memahami perbandingan antar agama, maka penting bagi kita untuk menyadari perlunya berada di zona ambang.Â
Itu adalah sebuah ruang berpikir, dimana setiap pemikiran bisa saling bertemu karena masing-masing epistem mengekang kebenarannya sendiri untuk dapat menerima kebenaran epistem yang lain. Hal ini penting, karena menurut Fisher di situlah pertanyaan-pertanyaan, ide dan gagasan paling menarik bisa tercetus.
Bob Fisher memberikan sebuah analogi sederhana untuk menjelaskan bahwa sadar atau tidak, semua orang pada dasarnya berfilsafat. Oleh sebab itu, menurut Fisher secara alamiah semua orang adalah filsuf.
Filsafat pertandingan dalam American Football misalnya, filsafatnya adalah untuk mengantongi sang quarterback dan melakukan blitz kepada para cornerback.Â
Sementara itu, dalam sepakbola Inggris filsafatnya adalah untuk mengoper bola di antara ketiga pemain belakang lawan lalu mencoba mengejutkan lawan dengan melakukan operan bola panjang ke depan ke arah striker untuk mencetak gol.
Maka, bukan tidak mungkin bagi mamak Frenky filsafatnya adalah untuk memberikan keramahtamahan dan porsi sayuran lebih dari pedagang kebanyakan dan sayuran dengan kualitas sebaik mungkin agar dagangannya terjual cepat dan roda ekonomi tetap berputar pada orbit yang tepat.Â
Sedangkan, bagi saya sebagai pembeli filsafatnya adalah mendapatkan sayuran dengan kualitas terbaik dan dengan harga paling kompetitif.
![Salah satu sudut Pusat Pasar Kabanjahe yang menjual aneka sayuran (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/whatsapp-image-2020-04-26-at-22-46-45-1-5ea5b1da097f363d825afa63.jpeg?t=o&v=770)
![Salah satu sudut Pusat Pasar Kabanjahe yang menjual aneka sayuran (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/whatsapp-image-2020-04-26-at-22-46-45-7-5ea5b1eb097f364a42174c54.jpeg?t=o&v=770)
Salah satu hal yang mungkin menjadi kelemahan dalam pandangan ini adalah soal isu kemanusiaan, dimana ada juga nenek-nenek tua yang badannya bahkan sudah membungkuk, juga menjual sayuran di pasar ini, tapi menjadi sedikit kalah bersaing karena pasar adalah ruang bagi komodifikasi di mana isu kemanusiaan sering kalah dalam nilai.
Tampaknya, di pasar semua orang seperti lebih sibuk menghitung nilai prinsip ekonomi dari sudut pandang mereka sendiri, ketimbang mengarang hal-hal yang filosofis.Â
Hal ini pun lumrah, karena dalam filsafat, kesimpulan yang kita raih hanya terasa sekedar bersifat tentatif dan provisional. Kesimpulan-kesimpulan atas beragam pertanyaan seperti hanya akan membuka timbulnya pertanyaan selanjutnya.
Dalam kelas meteri kuliah filsafat dan teologi yang diajarnya di Westminster College, Oxford, Bob Fisher dengan nada kelakar mengatakan kepada murid-muridnya, bahwa ia akan merasa bangga jika di penghujung akhir kuliah ia berhasil mengembalikan anak muridnya sampai kepada pemikiran seorang bocah berusia 4 tahun. Menurutnya anak usia 4 tahun umumnya justru sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang paling bermutu.
Namun, pendekatan filosofis ini bersifat eksperimental. Cobalah ikut berbelanja ke pasar dan jangan ragu-ragu, dan yang terpenting dari segalanya, nikmatilah.
Dalam masa berjualannya selama 22 tahun di pasar ini, Mamak Frenky telah berpindah tempat setidaknya empat kali. Sebelum pindah ke sudut pasar dengan jalanan cukup becek saat ini, dia berjualan di lantai 2.Â
Namun, pasar ini pernah mengalami kebakaran hebat pada tahun 2008 yang lalu dan melalap lapak berjualan ibu ini yang berada di lantai dua pasar.
![Salah satu sudut Pusat Pasar Kabanjahe yang menjual aneka sayuran (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/whatsapp-image-2020-04-26-at-22-46-45-2-5ea5b0a1d541df2bf65658b2.jpeg?t=o&v=770)
![Salah satu sudut Pusat Pasar Kabanjahe yang menjual aneka sayuran (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/whatsapp-image-2020-04-26-at-22-46-45-4-5ea5b251097f360387075282.jpeg?t=o&v=770)
Itu adalah salah satu praktik hidup yang tidak mudah dan mungkin hanya dapat dilakoni oleh seseorang yang sudah sampai ke tahap epistem tertentu dimana ukurannya bukan saja soal mampu atau tidak, berkecukupan atau tidak, yang jelas sudah matang dalam sebuah epistem pemahaman. Kematangan memang tidak bisa dibeli, namun dapat diperoleh bila dijalani.Â
Kematangan diperoleh dari pengalaman, dan pengalaman selalu berhubungan dengan jam terbang, masa kerja. Kematangan itu adalah sebuah ganjaran dari masa bekerja secara terus menerus selama 22 tahun bagi ibu ini.
Ada sebuah fenomena empirik, di mana buah kates, atau pepaya yang matang akan jatuh ke tanah tanpa dipetik. Dalam kiasan bahasa Karo, gambaran ini digunakan untuk menggambarkan sikap seseorang yang mau memberi pertolongan bahkan sebelum diminta.
Narasi tentang orang-orang di pusaran sayuran, sebagaimana Mamak Frenky yang berjualan sayuran dan saya sebagai pembeli, adalah sebuah percobaan gambaran untuk menghubungkan manfaat dari sebuah ketangguhan, keramahtamahan, sikap tidak pelit sebagai seorang pedagang, dalam hubungannya dengan loyalitas pelanggan.Â
Kalau ternyata keduanya saling memberi manfaat dalam hubungan saling bertolong-tolongan, barangkali itu adalah bukti bahwa selain diikat nilai prinsip ekonomi, di pasar juga tidak kurang orang-orang diikat oleh hal-hal yang bernilai filosofis.Â
Selain itu tentu juga karena orang-orang membutuhkan sayuran sebagai salah satu sumber utama nutrisi.
![Salah satu sudut Pusat Pasar Kabanjahe yang menjual aneka sayuran (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/whatsapp-image-2020-04-26-at-22-46-45-3-5ea5b26e097f366424643455.jpeg?t=o&v=770)
Tentu sebagaimana pendapat Fisher, bahwa di penghujung akhir materi perlu untuk mengembalikan kita sampai kepada pemikiran seorang bocah berusia 4 tahun yang sering kali justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang paling bermutu.
Sebagai penutup, belajar dari studi fenomenologi yang disampaikan oleh salah satu tokoh historis besar fenomenologi, Gerardus van der Leeuw, dengan buku karangannya yang berjudul Phenomenologie der Religion (1933).Â
Ia menjelaskan bahwa ada suatu bentuk kesadaran yang kian berkembang bahwa realita terlalu kaya dan majemuk bagi kita, hingga sangat sulit untuk berharap bahwa suatu saat kita mungkin akan mampu menafsirkan dan menuangkan realita kedalam suatu falsafah tunggal dengan suatu metode tunggal.
Kekangan atau penundaan terhadap penilaian fenomenologis yang berdimensi tunggal dan memaksakan kehendak hanya baru dapat muncul setelah kita mengalami devosi, penyangkalan diri yang hangat secara spontan.Â
Pemahaman ini akan memberi kita kapasitas untuk melihat secara objektif esensi dari sebuah fenomena, bahkan mengupas subjektifitas suatu persepsi dan membawa kita berrefleksi, dengan kata lain menembus jauh akan apa yang tampak.
Mungkin selain untuk nutrisi, untuk hal inilah orang-orang masih tetap menanam, menjual dan membeli sayur. Tanpa sadar, manusia di pusaran sayuran ini, melakukan ini dan itu dalam perjuangan bersama umat manusia untuk memahami realitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI