Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Ada Manusia yang Terlahir Jahat, Siapakah Kita?

17 April 2020   11:20 Diperbarui: 18 April 2020   01:12 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam serial sains "Cosmos: Possible World", di National Geographic, dijelaskan tentang sebuah pertanyaan klasik yang mungkin masih tetap menjadi pertanyaan hingga saat ini, "Siapakah manusia?". Konsep tentang siapakah manusia, dimulai sejak zaman Plato. Kata Plato, "Manusia adalah makhluk berkaki dua yang tidak berbulu."

Konsep itu diejek oleh Diogenes, dengan membawa seekor ayam yang dicabuti bulunya ke dalam kelas Plato dan menyuruh murid- muridnya untuk menghormati ayam botak itu. Konsep Plato kemudian disempurnakan oleh Aristoteles, muridnya. Aristoteles menambahkan bahwa "Manusia adalah makhluk sosial dan binatang politik".

Menjadi menarik untuk mencermati hubungan antara manusia dan binatang dalam arti yang sebenarnya, yang mendasari mengapa Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk binatang politik. Kita bisa melihat faktanya satu persatu.

Apakah yang menjadikan manusia lebih istimewa dari makhluk hidup dan ciptaan lainnya?

Pertama, manusia adalah makhluk sosial. Kenyataannya, semut, rayap, lebah, bahkan punya sistem sosial yang lebih baik dari manusia. Baik semut, rayap, dan lebah, hidup dalam sebuah koloni yang besar dengan seekor ratu yang menjadi pusat komando, dimana ketertiban dan kerjasama adalah sebuah nilai yang tampak jelas, baik dalam hal membangun sarang, mencari makan, reproduksi dan regenerasi.

Kedua, manusia adalah makhluk yang unggul dalam seni. Ternyata burung lebih artistik dan berdedikasi dalam hal seni. Hal ini tampak dari keindahan, kerumitan dan daya tahan saat burung membangun sarang.

Ketiga, manusia adalah makhluk yang menggunakan teknologi. Beberapa dokumentasi menunjukkan bahwa kera dan simpanse, bahkan ubur- ubur mampu menggunakan alat-alat yang bukan alamiah bawaan pada tubuhnya, baik untuk mencari makan maupun perlindungan diri. Sederhana memang, saat kera atau simpanse menggunakan tangkai ilalang untuk memancing semut di sarangnya untuk makan, atau ubur-ubur yang menggulung tubuhnya dalam tempurung untuk berlindung.

Keempat, manusia adalah makhluk yang tahu cara mengasihi. Ternyata untuk soal mengasihi, gajah merawat anaknya selama atau bahkan lebih lama dari kita manusia merawat anak kita. 

Lalu apa istimewanya manusia dibandingkan mahkluk ciptaan lainnya? Astrofisikawan Neil deGrasse Tyson, sang pembawa acara mengatakan "Satu-satunya pembeda manusia dengan makhluk hidup lainnya kemungkinan hanyalah keinginan neurotik kita untuk merasa istimewa".

Apa yang bisa menjadi penjelasan dalam pandangan seperti ini, misalnya tampak dalam konsepsi manusia tentang agama sekalipun. Zoroaster, pada zaman dulu adalah agama yang dominan dari Yunani hingga India.

Dalam kepercayaan Zoroaster, Dewa Ahura Mazda adalah dewa yang baik, sedangkan Dewa Angra Manyu, adalah dewa yang jahat. Bagi manusia sejak zaman dulu, sudah menjadi pemahaman bahwa dewa-dewi, atau sebutan lainnya untuk menyatakan sesuatu di luar manusia yang dipandang mempunyai kuasa melampaui manusia, juga memiliki sisi baik dan sisi jahat dalam dirinya.

Kita juga bisa melihat seekor anjing yang biasanya adalah jenis hewan piaraan yang bahkan sering menjadi sahabat dekat manusia. Ketika virus rabies menyerang, maka anjing yang jinak pun bisa menjadi monster yang siap memangsa manusia sahabat dekatnya.

Ada juga kera Makaka Jepang, yang terkenal adalah salah satu spesies yang sangat mengasihi anggota kerabatnya mereka. Dalam sebuah riset, kera Makaka akan lebih memilih tidak makan dibandingkan harus menyiksa anggota kerabatnya, bila makanan adalah kompensasi atas tindakan kekerasan. Kera Makaka senang berendam di air panas bersama kawanannya.

Kejamnya anjing yang terjangkit virus rabies, dan rasa kasih yang tampak di antara kera Makaka Jepang, yang bahkan mengasihi kera yang bukan kerabat mereka sekalipun adalah ujung-ujung ekstrem keanekaragaman hayati, dalam hubungannya dengan akal dan perasaan setiap spesies.

Keempat contoh perbandingan antara manusia dan hewan di atas, rasanya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa akal dan perasaan bukanlah karunia istimewa yang hanya dimiliki manusia dan oleh karenanya merasa dirinya lebih istimewa dari hewan dan makhluk ciptaan lainnya. Semua makhluk hidup dan ciptaan harus hidup dalam harmoni dan kesetaraan, di atas bumi yang satu dan menua, yang membutuhkan pemeliharaan.

Kesamaan setiap spesies lainnya adalah soal perlindungan untuk meneruskan kehidupan kerabat mereka. Itu sering muncul dalam bentuk pertarungan antara "kita" melawan "mereka". Semua orang tampaknya tidak akan tinggal diam bila sudah merasa terusik terkait dengan keluarganya.

Begitupun dengan hewan. Seekor banteng yang berada di tangga lebih rendah rantai makanan, mungkin akan tetap melawan seekor singa sekalipun itu adalah predator alami bagi mereka, apabila yang terancam dimangsa adalah anak banteng yang lahir dari rahimnya sendiri. Lalu apa bedanya banteng dengan kita dalam hal mengasihi keluarga?

Siapakah Kita Manusia Sebenarnya?
Saat Persia kalah dari Alexander Agung, di mana sebelumnya Persia adalah satu-satunya negara adi daya di dunia, maka hampir seluruh dunia dikuasai oleh Alexander Agung. Itu adalah bentang kawasan mulai dari Yunani hingga India, Eropa dan Afrika.

Pada saat yang sama di India Utara, raja Chandra Gupta direbut kekuasaannya oleh Ashoka, anak tirinya yang membunuh 99 saudara tirinya demi kekuasaan. Ashoka memerintah dengan kejam.

Puncaknya, Ashoka menaklukkan kerajaan Selatan, bangsa Kalingga, yang tak berdaya mempertahankan dirinya. Usai perang, datang seorang murid Buddha menemui Ashoka untuk menegur kesalahannya, katanya "Raja yang perkasa, engkau berkuasa merampas nyawa ribuan orang sesuka hatimu. Sekarang, berikanlah kehidupan kepada seorang bayi malang yang telah kehilangan nyawanya ini", sambil sang murid itu menyerahkan jasad seorang bayi malang yang telah terbujur mati, menjadi korban perang.

Ashoka tertegun dan pucat. Sejak hari itu, Ashoka berubah dan mulai menebarkan kebaikan dan memberikan perlindungan ke semua orang di kerajaan-kerajaan yang pernah ditaklukkannya di India.

Ia mengumumkan ajakan untuk bersikap baik kepada semua hewan. Ia juga menyatakan bahwa semua agama memperoleh pengakuan yang sama. Ia membuka rumah-rumah sakit, bahkan rumah sakit bagi fakir miskin. Ia juga membuka sekolah-sekolah, bahkan memandang bahwa wanita memperoleh hak yang sama untuk menjadi Bikhuni.

Beberapa hal yang menjadi penekanan Ashoka adalah memastikan sumur-sumur dan sumber air digali dengan baik, untuk memastikan semua hewan mendapatkan air. Membuat tempat-tempat berteduh sehingga para pengelana merasa nyaman di perjalanan.

Ashoka juga mengirim utusan Buddha dari India untuk mewartakan semangat mengasihi sesama dan semua makhluk hidup hingga ke Timur Tengah. Dekrit itu dituliskan di sebuah batu dalam bahasa Aramik, bahasa yang dipakai Yesus. Itu adalah peristiwa yang terjadi pada 200 tahun sebelum kelahiran Yesus.

Dalam sebuah buku berjudul Long Walk to Freedom, Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, menceritakan pengalamannya selama 19 tahun ditahan di Pulau Robben, dan seorang Komandan bernama Badenhorst yang terkenal paling kasar di antara komandan yang lain. Sesaat sebelum Badenhorst akan meninggalkan pulau karena digantikan, ia menanyakan apakah Mandela baik-baik saja dan berharap Mandela akan tetap baik-baik saja sepeninggalnya nanti.

Pada akhirnya, Mandela menyadari bahwa Badenhorst sebenarnya tidak jahat. Kebiadaban itu menyisip ke dalam hatinya karena sistem yang tidak manusiawi.

Hari ini, Nelson Mandela dikenal dengan pernyataannya bahwa sebenarnya tidak ada manusia yang terlahir jahat. Bukti bahwa manusia berperilaku seperti hewan karena ia dihargai untuk berperilaku kasar. Apakah kita masih merasa paling berhak untuk menganggap diri paling istimewa di antara makhluk yang lain?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun