Saya membayangkan diri saya sendiri yang senang bila mendapatkan teman yang hangat. Itu adalah jenis teman yang senang beramah tamah, berpikiran terbuka, namun tetap bersikap sewajarnya.Â
Karena ramah tamah tidak harus berarti suka bicara, berpikiran terbuka tidak harus berarti suka mengumbar masalah pribadi, maka sewajarnya bisa berarti wajar menurut ukuran umum.
Saya sedikit merenung, barangkali karena itu orang-orang yang merasa terhubung entah karena apa saja, termasuk para para penulis di Kompasiana yang disebut Kompasianer saling menyapa dengan mengucapkan "salam hangat".Â
Umumnya manusia merasa senang bila ia merasa diterima dengan hangat. Lalu apakah ukuran umum sebagai standar acuan untuk menentukan kehangatan?
Sudah umum diketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang membutuhkan kehadiran manusia lainnya dalam hidupnya.Â
Lalu bagaimanakah menyatakan kehangatan sebagai sesama manusia dalam hubungannya dengan cara bersalaman yang memerlukan penyesuaian sehubungan dengan perlunya menjaga jarak sosial (social distancing) pada masa pandemi Corona ini?
Sebelumnya, kita perlu terlebih dahulu membahas beberapa perkara terkait kata "salam" dan mencari tahu asal kata "hangat", sebagai pembentuk frasa "salam hangat" yang sering kita pergunakan dalam hubungan sosial kita sehari-hari.Â
Salam hangat, nyata-nyata dituntut mengalami penyesuaian, kini dan juga mungkin berlangsung terus hingga nanti, bukan saja karena wabah penyakit, tapi mungkin saja karena pengaruh budaya dan situasi lainnya yang berubah dalam hubungan sosial manusia.
Salam dan Bersalaman
Salam adalah cara bagi seseorang untuk secara sengaja mengkomunikasikan kesadaran akan kehadiran orang atau pihak lain, untuk menunjukkan perhatian, dan/atau untuk menegaskan atau menyarankan jenis hubungan atau status sosial antar individu atau kelompok orang yang berhubungan satu sama lain.Â
Salam dapat diekspresikan melalui ucapan dan gerakan, atau gabungan dari keduanya. Salam sering, tetapi tidak selalu, diikuti oleh percakapan.