Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arti Penting Menyepi bagi Ibu Bumi

25 Maret 2020   16:15 Diperbarui: 26 Maret 2020   04:28 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://gph.is/g/EGgPzBd

Tanggal 25 Maret 2020 adalah perayaan hari raya Nyepi Tahun Baru Saka 1942. Ini adalah hari besar keagamaan yang unik. Dikatakan perayaan, tapi dilakukan dalam keheningan yang sama sekali jauh dari hingar bingar dan kebisingan.

Ini adalah hari yang cocok untuk merenungkan kembali apa sebenarnya maksud dan tujuan keberadaan manusia di bumi dan apa sebenarnya yang dicari manusia dalam hidup ini.

Refleksi dari hari raya Nyepi juga relevan memberikan sebuah warna keheningan ketika manusia menarik diri dari hiruk pikuk dan hingar bingar yang sangat memekakkan telinga dan mengaburkan mata hati sebagai akibat dari beragam pembelaan dan pembenaran diri, caci maki.

Bahkan tipu muslihat, hingga beragam fitnah serta ujaran kebencian yang melingkupi berbagai aspek kehidupan di tengah beragamnya hubungan di antara sesama manusia yang mengalami keretakan oleh karenanya.

Sebelum perayaan Nyepi, mengingat pengalaman ketika di Bali, dilakukan upacara Melasti. Ini adalah upacara yang bertujuan untuk penyucian diri dalam menyambut hari raya Nyepi oleh seluruh umat Hindu. Upacara Melasti ini digelar dengan menghanyutkan "kotoran alam" menggunakan air kehidupan.

Menghubungkan antara Melasti, Nyepi dan Bumi, adalah sebuah cara ringkas untuk memahami hubungan eksistensi manusia, dan upaya pencariannya di Bumi dalam pandangan tentang Teori Gaia. Ini adalah sebuah gagasan dengan inti tentang pencarian akan "Ibu Bumi".

Gagasan tentang Gaia, sebagaimana dijelaskan dalam buku "50 Gagasan Besar yang Perlu Anda Ketahui" karangan Ben Dupre, secara inheren dan holistik menegaskan bahwa sistem sebagai suatu keseluruhan jauh lebih signifikan daripada bagian-bagian pokoknya.

Merujuk pada gagasan ini, Lovelock mendeskripsikan manusia dalam kaitannya dengan Bumi sebagai "Hanya spesies yang lain yang bukan pemilik ataupun pengurus planet ini."

Dalam karya terbaru Lovelock, dia memandang bahwa manusia atau Homo Sapiens bahkan telah menjadi sumber infeksi bagi bumi. Manusia telah membuat Gaia, Ibu Bumi, menderita demam dan kondisinya segera akan memburuk hingga keadaan seperti koma.

Lagi kata Lovelock, menuju kesembuhannya, Gaia membutuhkan lebih dari 100.000 tahun, dan kita manusia adalah salah satu yang paling bertanggung jawab untuk menanggung segala konsekuensinya.

Dalam bahasa sederhana, Lovelock menjelaskan konsekuensi itu dengan mengatakan bahwa Bumi mungkin bertahan, betapa pun buruknya kita memperlakukannya, tetapi keberlangsungan itu mungkin tidak harus mencakup diri kita sebagai manusia.

Tak kurang juga dalam novel fiksi "Dunia Sophie", digambarkan bahwa pada masa yang disebut sebagai malam sepanjang 1.000 tahun, mulai dari masa Yunani Kuno sampai awal masa Renaisans, kurang lebih dalam rentang waktu tahun 585 Sebelum Masehi sampai 1.200 Masehi.

Apa yang kini disebut sebagai penyakit influenza itu, berasal dari kata influence, yang diyakini pada masa itu sebagai penyakit yang diakibatkan oleh pengaruh jahat dari bintang-bintang.

Sekalipun pada masa kini penyakit influenza dipandang sebagai penyakit ringan yang cukup disembuhkan dengan istirahat, pada zaman dulu manusia cukup cemas oleh karenanya. Barangkali karena ilmu kedokteran dan farmasi pun belum semaju saat ini.

Namun, dalam kenyataannya, influenza yang sebenarnya disebabkan oleh virus itu, ternyata bukalah apa-apa bila dibandingkan dengan berbagai jenis virus lainnya yang menyebabkan kematian cukup banyak di berbagai negara di dunia.

Misalnya saja, virus Ebola, yang teridentifikasi pertama kali pada tahun 1976, menjangkit di 9 negara dengan kasus yang tercatat sebanyak 33.577 kasus dan jumlah kematian sebanyak 13.562 jiwa. Atau virus H1N1, yang teridentifikasi pertama kali pada tahun 2009, menjangkit di 214 negara dengan kasus yang tercatat sebanyak 1.632.258 kasus dan jumlah kematian sebanyak 284.500 jiwa.

Sementara itu, untuk virus Covid-19 sendiri, yang teridentifikasi pada tahun 2020, hingga 31 Januari 2020 saja dilaporkan menjangkit di 23 negara, dengan kasus yang tercatat sebanyak 9.812 kasus dan jumlah kematian sebanyak 213 jiwa.

Namun, hingga 24 Maret 2020, dilaporkan bahwa angka positif Corona sudah mencapai 381.739 kasus dari berbagai negara terdampak di seluruh dunia, dengan kasus meninggal sebanyak 16.558 jiwa dan kasus sembuh sebanyak 102.429 jiwa. 

Daftar perbandingan berbagai jenis virus selengkapnya ada pada tabel berikut, sebagaimana dilansir dari https://gph.is/g/EGgPzBd.

Sumber : https://gph.is/g/EGgPzBd
Sumber : https://gph.is/g/EGgPzBd
Namun, pandangan Lovelock yang menyatakan bahwa manusia atau Homo Sapiens telah menjadi sumber infeksi bagi bumi, dan membuat Ibu Bumi menderita demam bahkan memburuk menuju keadaan seperti koma, tidak berdiri sendiri.

Dalam sebuah artikel berjudul "Cegah Kepunahan Massal, PBB Rilis Rencana Penyelamatan Bumi" yang dilansir dari https://nationalgeographic.grid.id, ditulis oleh Gita Laras Widyaningrum, bertanggal 15 Januari 2020, disebutkan bahwa menurut para ilmuwan telah terjadi setidaknya lima kepunahan massal sebelumnya selama 500 juta tahun, yang diakibatkan oleh tabrakan meteor, erupsi gunung berapi dan zaman es.

Selanjutnya  dijelaskan bahwa jika tidak ada upaya yang signifikan untuk mencegahnya, kita sedang menghadapi kemungkinan terjadinya "kepunahan massal yang keenam".

Istilah kepunahan massal keenam merupakan istilah yang digunakan beberapa ilmuwan untuk mendeksripsikan keruntuhan populasi flora dan fauna di seluruh dunia.

United Nation Convention on Biological Diversity, sebuah badan di PBB yang mengurusi keanekaragaman hayati, telah merilis rancangan proposal yang menjabarkan kerangka kerja untuk menangani masalah menurunnya populasi keanekaragaman hayati untuk menyelamatkan planet Bumi.

Proposal ini rencananya akan diresmikan pada Oktober 2020 pada pertemuan puncak keanekaragaman hayati di Kunming, Tiongkok. Entahlah, setelah masalah pandemi global Corona ini, apakah hal itu masih akan berjalan sesuai dengan rencana.

Proposal ini merujuk kepada sebuah laporan dari Worl Wide Fund for Nature (WWF) pada 2016 yang menemukan fakta bahwa populasi hewan vertebrata seperti mamalia, burung dan ikan, mengalami penurunan hampir 60% antara tahun 1970 hingga 2012. WWF adalah sebuah organisasi non-pemerintah internasional yang menangangi masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan.

Laporan lainnya dari PBB pada tahun 2019 lalu mengungkapkan bahwa antara 500 ribu-1 juta spesies sedang mengalami kepunahan. Jumlah kepunahan ini "puluhan hingga ratusan kali lebih tinggi daripada rata-rata, selama 10 juta tahun terakhir".

Irnonisnya, perkiraan kepunahan massal yang keenam ini terjadi akibat aktivitas manusia, dengan skala dampak kepunahan yang lebih parah dari sebelumnya. Jadi sejalan dengan pandangan Lovelock yang memandang manusia telah berkembang menjadi sumber infeksi bagi bumi.

Mengutip kembali pendapat Stephen Hawking, seorang fisikawan dan filsuf kontemporer dari Inggris yang mengatakan bahwa "Semesta kurang berarti apa-apa jika tidak menjadi rumah bagi orang-orang yang anda cintai".

Maka menjadi tanggung jawab bersama bagi seluruh umat manusia di seluruh penjuru bumi untuk mencegah pandangan Lovelock yang menyatakan kemungkinan bahwa Bumi mungkin bertahan, tetapi tidak mencakup diri kita sebagai manusia tidak menjadi kenyataan.

Sebagai tambahan informasi, bahwa Stephen Hawking, penemu teori asal usul alam semesta Big Bang itu, meninggal dunia dalam usia 76 tahun tepat pada hari perayaan Melasti di Bali, pada tanggal 14 Maret 2018, atau 3 hari sebelum perayaan hari raya Nyepi tahun baru Saka 1940. Itu adalah dua tahun yang lalu.

Selamat menyepi, merenungkan kembali bagaimana caranya agar bumi bisa menjadi rumah bagi semua dengan cinta kasih yang melandasinya. Cinta kasih yang mengikat, menyatukan, dan menyempurnakan.

Menyepi akan membawa kita kepada perenungan untuk kembali ke titik nol, yang jauh dari keramaian. Sebuah perilaku yang sangat relevan dengan kebutuhan dan keselamatan kita bersama saat ini.

Menyepi juga menjauhkan kita dari amarah, dengki, dan iri, hingga bisa menyelami diri untuk menemukan jati diri, bertanya pada hati yang paling dalam, dan disanalah ada pencerahan, sinar suci yang Maha Agung.

Selamat Hari Raya Nyepi 2020, Tahun Baru Saka 1942 bagi saudara-saudara yang menjalankannya.

Referensi: nationalgeographic.grid.id | cnnindonesia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun