Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sinuan Gambir dalam Tawa dan Tangis, Tempat Mengambil Hikmah

24 Februari 2020   00:40 Diperbarui: 24 Februari 2020   00:35 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Tartu di Estonia yang indah (Sumber foto: www.pinterest.co.id)

 Ungkapan "Tak Cinta Maka Tak Sayang" adalah sebuah pepatah Melayu yang sudah sangat tua dan sangat sering diucapkan. Terutama dalam kebiasaan orang-orang Melayu saat pertama kali memperkenalkan dirinya, atau memperkenalkan apapun hal yang baru.

Namun, dalam praktiknya, sering kali kekurangpengenalan kita akan sesuatu hal memang menjadi penyebab awal mengapa kita justru tampak seperti turut memupuk bertumbuhnya generasi "wow efect", karena hampir setiap hal bagi manusia saat ini adalah hal yang biasa.

Mulai dari hal-hal yang paling baik, hingga hal-hal yang paling buruk, adalah hal-hal yang biasa bagi manusia masa kini. "Apa sih yang tidak ada? Hampir tidak ada hal yang baru dalam hidup saat ini", demikianlah pikir manusia itu. Oleh sebab itu, apa yang dinanti oleh manusia saat ini umumnya adalah hal-hal yang menarik hatinya karena mampu menimbulkan kesan "wow" bagi dirinya.

Sama seperti ungkapan, "Penyesalan selalu datang belakangan", karena manusia masa kini sudah merasa ungkapan itu kuno, maka ia menambahkannya dengan candaan, katanya "Karena kalau datang duluan namanya pendaftaran". Begitu pun dengan rasa cinta dan rasa sayang, sering kali muncul setelah ada kesan "wow" yang timbul dari dalam hati.

Jadi memang datangnya cinta kini sudah tidak cukup dari mata turun ke hati. Tidak sama seperti datangnya lintah, dari sawah turun ke kali.

Sebelum Juli tahun 2017, setiap kali berkendara dari Tanah Karo ke kampung halaman ayah saya di dusun Tebing Ganjang yang termasuk wilayah Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, ketika melewati sebuah pasar yang ada di Desa Sibolangit Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang, saya termasuk salah seorang yang pasti merasa jengkel karena sering terjadi kemacetan saat hari pasar berlangsung.

Pasar yang disebut "Tiga Sibolangit" itu (Tiga = pasar dalam Bahasa Karo), memang adalah sebuah pasar tradisional yang berada tepat di pinggir jalan nasional yang menghubungkan beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dengan kota Medan. Bahkan menghubungkan beberapa kabupaten di Provinsi Aceh dengan kota Medan. Jadi sudah pasti sangat padat lalu lintasnya.

Pasar "Tiga Sibolangit" adalah sentra jual beli hasil bumi yang berlangsung seminggu sekali, setiap hari Jumat. Masyarakat yang menjual hasil-hasil bumi berupa buah, sayur, gula aren, ternak, dan sebagainya itu, berasal dari berbagai desa yang ada di Kecamatan Sibolangit. Desa Puangaja, Bengkurung, Bentimus, Rajaberneh, Rumah Kinangkung, Tambunen, Ujung Beringin, Buluh Awar, Laja, Saring Kulit, Selawang, Bukum, Sikeben, Sayum, Sembahe, Bandar Baru, Penen, dan lain sebagainya, adalah beberapa nama desa di antaranya, di samping beberapa desa lain di sekitarnya.

Selain beberapa hasil bumi di atas, ada satu komoditi lain yang merupakan komoditi khas di pasar ini, yakni "Parira". Itu adalah kata untuk petai dalam Bahasa Karo, maka "Tiga Sibolangit" juga dinamakan "Tiga Parira".

Petai (dokpri)
Petai (dokpri)
Karena dulunya pasar ini mungkin cukup legendaris, maka ada sebuah lagu pop daerah dalam Bahasa Karo yang ditulis dengan judul "TIGA SIBOLANGIT". Isi liriknya sebagai berikut:

Tiga bage i Sibolangit mbarenda
Tiga Sibolangit mbarenda, tiga parira
Enterem jelma si erbinaga ku tiga
Maba durin parira galuh lacina

 Simedanak anak perana ras singuda-nguda
Seh kal riahna akapna i tengah tiga
Lit si ngerana tawa-tawa ras atena ngena
Lit ka nge deba si sirang arih-arihna
De kena jilena bage bali ras rudang-rudang
Rudang merim mejile mole-ole i duru embang

Nde mbaru meberkat jilena lanai terpecat-pecat
Erbahan pusuhku bage lanai siat

(Sumber : Henry Guntur Tarigan, Piso Surit, 1990, halaman : 220)

Bila diterjemahkan, isinya kira-kira adalah sebuah gambaran, bahwa "Tiga Sibolangit" yang disebut juga "Tiga Parira" adalah sebuah pasar yang ramai, tempat orang berjual beli. Orang menjual durian, petai, pisang dan cabe.

Anak-anak, pemuda dan pemudi, semuanya senang ke pasar ini. Ada yang bersenang-senang dengan pujaan hatinya, tapi ada juga yang putus cinta di sana.

Lalu, entah kiasan tentang "keindahan" pasarnya dulu, ataukah ini pujian langsung bagi gadis jelita yang ada di pasar, katanya: "Dikau cantik seindah bunga-bunga, yang harum mewangi dan seperti mendayu-dayu di tepi jurang. Wahai gadis cantik rupawan, tiada sesatu pun yang kurang pada dirimu, dan hatiku tak kuasa dibuatnya."

Kembali ke rasa jengkel akibat kemacetan yang sering terjadi bila kebetulan melewati pasar ini. Ada sebuah titik balik ketika saya ikut bergabung dengan sebuah komunitas atau persatuan kawan sekampung halaman, yang disebut sebagai "Persadan Sinuan Gambir".

Bila diterjemahkan secara langsung, maka itu artinya kurang lebih "Persatuan Para Petani Gambir". Saya kurang paham makna historis nama komunitas ini. Ya, "gambir" adalah sejenis bahan pelengkap untuk orang memakan sirih, selain kapur, buah pinang dan daun sirih tentunya. Itu adalah tanggal 1 Juli 2017.

Masa itu adalah penghujung libur panjang lebaran tahun 2017. Persadan Sinuan Gambir merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke-24, di sebuah objek wisata yang merupakan sungai tempat pemandian bernama "Namo Karang", yang terletak di Desa Kidupen Kecamatan Juhar Kabupaten Karo.

Ulang Tahun Sinuan Gambir ke-24, 1/2/2017, di Namo Karang (dokpri)
Ulang Tahun Sinuan Gambir ke-24, 1/2/2017, di Namo Karang (dokpri)
Suasana pemandian di Namo Karang, 1/2/2017 (dokpri)
Suasana pemandian di Namo Karang, 1/2/2017 (dokpri)
Persadan Sinuan Gambir bisa dibilang adalah perkumpulan diaspora orang-orang Karo. Penekanan atas penjelasan asal usul ini bukanlah sesuatu yang berbau rasis, karena perkumpulan ini sendiri terdiri atas orang-orang yang berasal dari berbagai suku, bahkan dulunya terdiri atas anggota yang berasal dari lintas agama.

Kata Karo sendiri, bisa merujuk ke orang Karo totok sebagai identitas kesukuan. Bisa juga merujuk ke aspek geografis historis, dimana apa yang dulunya disebut sebagai Tanah Karo sendiri, sebenarnya saat ini ada yang sudah termasuk wilayah Kabupaten Simalungun, Deli Serdang, Langkat, Kota Binjai, Serdang Bedagai, Kota Medan dan sekitarnya. Atau bisa juga merujuk ke kesatuan sistem sosial kultural dalam tatanan sistem hidup dan kekerabatan yang secara mayoritas didominasi nilai-nilai budaya Karo dari sebagain orang yang walaupun bukan suku Karo, tapi sudah hidup sekian lama di dalam, di antara dan di sekitar nilai itu. Atau bisa juga tidak termasuk satupun dari kriteria ini.

Namun, apapun itu, khusus untuk Sinuan Gambir, ini berisi diaspora orang-orang Karo yang berasal dari dataran rendah di sekitar Pancur Batu, Sibolangit dan sekitarnya, yang dalam suku Karo lebih dikenal dengan sebuatan Karo Jahe, namun sudah bermukim di dataran tinggi Karo, yang disebut juga dengan istilah Karo Gugung, utamanya Kabanjahe sekitarnya.

Begitulah aktualisasi pengenalan diri, dalam contoh kasus Sinuan Gambir. Selain tidak kenal, maka tidak sayang, benar juga pepatah yang mengatakan bahwa "Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung." Dalam Sinuan Gambir, terlihat bahwa orang Karo Jahe yang sudah bermukim sekian lama di gunung, memiliki cara berpikir, cara kerja dan lain-lain unsur budaya yang sudah lebih terlihat menyerupai orang Karo Gugung.

Apa yang menjadi penting terkait hal ini hingga dipakai sebagai instrumen ilustrasi adalah apa yang disebut sebagai etnonasionalitas. Istilah ini mudah dipahami dalam bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kepada saudara-saudara keturunan Tionghoa. Bahwa walaupun mereka sudah bukan merupakan warga negara RRT, namun kesatuan perasaan senasib dalam entitas keturunan Tionghoa, membuat mereka tidak pernah lupa kepada leluhurnya, sekalipun mereka sudah mencintai negara dan kota di mana mereka hidup kini.

Demikian juga halnya dengan tanah leluhur mereka. Pusat entitas asal-usul itu tidak lantas cuek bebek melepas pantauan atas para diasporanya di mana pun mereka berada. Bukan tidak mungkin karena inilah, RRT nyaris menyamai Amerika Serikat dalam segala hal, baik ekonomi, pertahanan keamanan, perkembangan teknologi, maupun hal lainnya, selain kepercayaan dan ideologi negaranya.

Begitupun Sinuan Gambir, baik di Jahe (hilir) maupun di Gugung (hulu), harusnya tetap merasa bertanggung jawab dalam entitas ke-Karo-annya, baik oleh karena asal-usul, keturunan, perkawinan, domisili, atau singkatnya, baik yang merasa asli, hasil asimilasi maupun akulturasi, semuanya bertanggung jawab atas sejarah dirinya, sekaligus ikut bertanggung jawab dalam upaya memajukan kota di mana ia berada kini, sekecil apapun tanggung jawab itu. Karena kesejahteraan kota itu adalah juga kesejahteraannya, di mana pun ia berada, siapa pun dia dan dari mana pun ia berasal.

Mengikuti pendapat Richard Templar dalam The Rule of Life, bahwa kaum manusia dari berbagai latar bila ditarik jauh ke belakang mungkin tidak ada yang tidak berhubungan, baik secara filogenetik maupun secara ontogenetik. Setidaknya, secara filogenetik mereka adalah sesama genus dan spesies seketurunan bani Adam. Dalam lingkup yang lebih kecil, secara ontogenetik mungkin ada yang keturunan Genghis Khan, yang bermukim di wilayah- wilayah yang termasuk jazirah yang pernah ditaklukkan orang yang bernama lain Temujin ini.

Atau sesama keturunan Hayam Wuruk, yang pernah bersama dengan patih Gajah Mada menguasai seluruh Nusantara bahkan sampai ke Siam dan Malaka melalui sebuah kerajaan yang bernama Majapahit, dan sebagainya sampai lingkup yang paling kecil.
Demikianlah hari ini, orang-orang diaspora yang berasal dari leluhur yang mendiami dataran transisional antara dataran rendah Pancur Batu, yang pada zaman VOC dulu disebut Arnhemia, dengan dataran tinggi Tanah Karo di gunung-gunung, yang antara lain berasal dari desa-desa bernama Sibolangit, Puangaja, Bengkurung, Bentimus, Rajaberneh, Rumah Kinangkung, Tambunen, Ujung Beringin, Buluh Awar, Laja, Saring Kulit, Selawang, Bukum, Sikeben, Sayum, Sembahe, Bandar Baru, Penen dan lain sebagainya, hari ini bertemu merajut silaturahmi, menyembuhkan rasa rindu kepada kampung halaman dengan bertemu teman sekampung halaman, dan juga berbagi kabar suka dan duka di perantauannya, dalam wadah yang disebut dengan Sinuan Gambir.

Entah kebetulan apa, yang jelas bukan hubungan semantik secara linguistik, namun ada juga kota yang bernama "Tartu" di Estonia, yang merupakan bekas pecahan Uni Soviet. "Tartu" adalah akronim dari "Tarigan Tua" dalam lingkup keluarga kita sebagai sub marga Tarigan di suku Karo. "Tartu" yang kecil sangat indah dengan ciri khas gedung-gedung kayu bertingkatnya.

Kota Tartu di Estonia yang indah (Sumber foto: www.pinterest.co.id)
Kota Tartu di Estonia yang indah (Sumber foto: www.pinterest.co.id)
Bagian Kota Tartu di Estonia yang kumal (Sumber foto: www.pinterest.co.id)
Bagian Kota Tartu di Estonia yang kumal (Sumber foto: www.pinterest.co.id)
Namun, selain ada yang indah, ada juga yang kumal, menandakan bahwa di sana pun ada suka dan ada duka. Bila mengutip syair lagu tentang kesamaan manusia berjudul "Air Mata" dari grup band Dewa 19, katanya:
"Menangislah bila harus menangis, karena kita semua manusia. Manusia bisa menangis dan manusia mengambil hikmah"

Setidaknya, manusia perlu komunitas, perlu persatuan sebagai sandaran, tidak saja dalam suka tapi juga dalam duka. Mereka, sesama manusia, adalah teman berbagi tawa, juga teman berbagi air mata.

Kini, meskipun sesekali masih juga terjebak kemacetan di pasar itu, saya tidak begitu kesal lagi. Saya sudah lebih mengenali pasar itu sebagai tempat di mana orang-orang yang mungkin sekampung halaman dengan saya, para Sinuan Gambir, yang sedang menjualkan hasil buminya ke pasar demi menyambung hidup dan asa keluarganya di kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun