Namun, apapun itu, khusus untuk Sinuan Gambir, ini berisi diaspora orang-orang Karo yang berasal dari dataran rendah di sekitar Pancur Batu, Sibolangit dan sekitarnya, yang dalam suku Karo lebih dikenal dengan sebuatan Karo Jahe, namun sudah bermukim di dataran tinggi Karo, yang disebut juga dengan istilah Karo Gugung, utamanya Kabanjahe sekitarnya.
Begitulah aktualisasi pengenalan diri, dalam contoh kasus Sinuan Gambir. Selain tidak kenal, maka tidak sayang, benar juga pepatah yang mengatakan bahwa "Di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung." Dalam Sinuan Gambir, terlihat bahwa orang Karo Jahe yang sudah bermukim sekian lama di gunung, memiliki cara berpikir, cara kerja dan lain-lain unsur budaya yang sudah lebih terlihat menyerupai orang Karo Gugung.
Apa yang menjadi penting terkait hal ini hingga dipakai sebagai instrumen ilustrasi adalah apa yang disebut sebagai etnonasionalitas. Istilah ini mudah dipahami dalam bentuk perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kepada saudara-saudara keturunan Tionghoa. Bahwa walaupun mereka sudah bukan merupakan warga negara RRT, namun kesatuan perasaan senasib dalam entitas keturunan Tionghoa, membuat mereka tidak pernah lupa kepada leluhurnya, sekalipun mereka sudah mencintai negara dan kota di mana mereka hidup kini.
Demikian juga halnya dengan tanah leluhur mereka. Pusat entitas asal-usul itu tidak lantas cuek bebek melepas pantauan atas para diasporanya di mana pun mereka berada. Bukan tidak mungkin karena inilah, RRT nyaris menyamai Amerika Serikat dalam segala hal, baik ekonomi, pertahanan keamanan, perkembangan teknologi, maupun hal lainnya, selain kepercayaan dan ideologi negaranya.
Begitupun Sinuan Gambir, baik di Jahe (hilir) maupun di Gugung (hulu), harusnya tetap merasa bertanggung jawab dalam entitas ke-Karo-annya, baik oleh karena asal-usul, keturunan, perkawinan, domisili, atau singkatnya, baik yang merasa asli, hasil asimilasi maupun akulturasi, semuanya bertanggung jawab atas sejarah dirinya, sekaligus ikut bertanggung jawab dalam upaya memajukan kota di mana ia berada kini, sekecil apapun tanggung jawab itu. Karena kesejahteraan kota itu adalah juga kesejahteraannya, di mana pun ia berada, siapa pun dia dan dari mana pun ia berasal.
Mengikuti pendapat Richard Templar dalam The Rule of Life, bahwa kaum manusia dari berbagai latar bila ditarik jauh ke belakang mungkin tidak ada yang tidak berhubungan, baik secara filogenetik maupun secara ontogenetik. Setidaknya, secara filogenetik mereka adalah sesama genus dan spesies seketurunan bani Adam. Dalam lingkup yang lebih kecil, secara ontogenetik mungkin ada yang keturunan Genghis Khan, yang bermukim di wilayah- wilayah yang termasuk jazirah yang pernah ditaklukkan orang yang bernama lain Temujin ini.
Atau sesama keturunan Hayam Wuruk, yang pernah bersama dengan patih Gajah Mada menguasai seluruh Nusantara bahkan sampai ke Siam dan Malaka melalui sebuah kerajaan yang bernama Majapahit, dan sebagainya sampai lingkup yang paling kecil.
Demikianlah hari ini, orang-orang diaspora yang berasal dari leluhur yang mendiami dataran transisional antara dataran rendah Pancur Batu, yang pada zaman VOC dulu disebut Arnhemia, dengan dataran tinggi Tanah Karo di gunung-gunung, yang antara lain berasal dari desa-desa bernama Sibolangit, Puangaja, Bengkurung, Bentimus, Rajaberneh, Rumah Kinangkung, Tambunen, Ujung Beringin, Buluh Awar, Laja, Saring Kulit, Selawang, Bukum, Sikeben, Sayum, Sembahe, Bandar Baru, Penen dan lain sebagainya, hari ini bertemu merajut silaturahmi, menyembuhkan rasa rindu kepada kampung halaman dengan bertemu teman sekampung halaman, dan juga berbagi kabar suka dan duka di perantauannya, dalam wadah yang disebut dengan Sinuan Gambir.
Entah kebetulan apa, yang jelas bukan hubungan semantik secara linguistik, namun ada juga kota yang bernama "Tartu" di Estonia, yang merupakan bekas pecahan Uni Soviet. "Tartu" adalah akronim dari "Tarigan Tua" dalam lingkup keluarga kita sebagai sub marga Tarigan di suku Karo. "Tartu" yang kecil sangat indah dengan ciri khas gedung-gedung kayu bertingkatnya.
"Menangislah bila harus menangis, karena kita semua manusia. Manusia bisa menangis dan manusia mengambil hikmah"
Setidaknya, manusia perlu komunitas, perlu persatuan sebagai sandaran, tidak saja dalam suka tapi juga dalam duka. Mereka, sesama manusia, adalah teman berbagi tawa, juga teman berbagi air mata.
Kini, meskipun sesekali masih juga terjebak kemacetan di pasar itu, saya tidak begitu kesal lagi. Saya sudah lebih mengenali pasar itu sebagai tempat di mana orang-orang yang mungkin sekampung halaman dengan saya, para Sinuan Gambir, yang sedang menjualkan hasil buminya ke pasar demi menyambung hidup dan asa keluarganya di kampung.