Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bersyukurlah Kalau Pusing, Setidaknya Kita Masih Punya Kepala

22 Februari 2020   20:28 Diperbarui: 22 Februari 2020   20:49 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalagi yang lebih menyenangkan daripada kesempatan menyeruput kopi hangat bersama teman-teman kerja sebelum memulai aktivitas rutin pada sebuah pagi yang dingin berangin?

Banyak hal yang tampaknya pelik untuk dibahas di meja rapat atau tampak rumit saat dikerjakan di meja kerja, menjadi terasa ringan saat dibahas bersama diselingi canda tawa bersama rekan-rekan kerja di atas meja warung kopi yang hangat pada sebuah pagi.

Dengan mengutip hasil riset seorang antropolog yang juga seorang etnograf lapangan berkebangsaan Polandia, Bronislaw Malinowski, bahwa untuk merumuskan suatu kebijakan pembangunan, kita tidak bisa memakai perspektif tungggal, atau bahkan mengadopsi bulat-bulat dimensi berpikir yang dianggap sudah mapan.

Menurut hasil risetnya, tidak jarang sistem hidup tradisionil yang dianggap konyol, ketinggalan zaman dan bahkan tidak masuk akal dengan segala tradisi, adat istiadat dan keyakinan lokalnya oleh peradaban maju, sebenarnya sama kompleksnya dengan yang tradisionil dengan segala nilai-nilainya yang dianggap ketinggalan, seperti mengopi bersama sebelum memulai kerja misalnya.

Ngopi sambil mengobrol tentang pekerjaan bersama rekan kerja di atas sebuah meja warung kopi, adalah juga sebuah bentuk pembahasan substantif dengan menjunjung nilai-nilai kesantaian dalam semangat keterbukaan dengan suasana yang ringan dan segar.

Santai, terbuka, ringan dan segar tidak harus menghilangkan nilai-nilai penting dari suatu proses berpikir yang analitis untuk menemukan berbabagi alternatif solusi yang paling mungkin untuk dilaksanakan dalam menjawab berbagai persoalan yang justru tampak sulit saat dipikirkan secara serius.

Dengan kata lain, adalah fakta bahwa sesuai kondisi lokalnya, tidak selamanya persoalan pelik dapat diselesaikan melalui pembahasan serius di meja rapat atau meja kerja, tapi cukup diselesaikan dengan seteko tuak lokal asli di bawah pohon beringin, atau dengan segelas kopi di atas meja warung kopi, yang dinikmati bersama rekan-rekan kerja.

Barangkali, begitulah sebuah teori hanya akan berharga bila itu sesuai dengan konteksnya, orang awam mungkin lebih mengenalnya dengan ungkapan "Karena begitulah kearifan lokal di sini".

Bila memandang hidup adalah sebuah kesempatan, maka hidup yang kontekstual sesuai dengan kearifan lokal adalah sebuah kesempatan berharga untuk dapat dipakai sebaik-baiknya. Itu adalah sebuah kesempatan untuk dapat mengerjakan berbagai hal yang berguna sekaligus menikmatinya.

Bila bukan demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mungkin cukuplah bila berguna bagi orang-orang yang terbantu dengan pekerjaan yang kita bisa kerjakan bersama-sama dengan rekan kerja.

Pada suatu pagi yang dingin berangin, saat mengopi bersama rekan kerja sebelum memulai hari, selain perbicangan yang hangat dan diselingi canda tawa yang pecah, saya tergelitik pada sebuah tulisan yang tertulis di dua sisi dinding mug keramik yang dipakai oleh penjaga warung menyajikan kopi hitam pada pagi itu. Tulisnya, "Bersyukurlah kalau kita masih bisa pusing! Karena pusing adalah salah satu tanda atau bukti bahwa kita masih punya kepala!"

Tulisan itu adalah kreatifitas kesenian hasil produksi label Joger. Label ini sudah sangat umum diketahui sebagai penghasil barang-barang manufaktur, entah pakaian, souvenir dan pernak-pernik yang sering muncul dengan meme atau gambar dengan tulisan-tulisan yang menggelitik. Baik sebagai kritik sosial atau hanya sekadar menghibur dengan bahasa-bahasa satir.

Menggunakan gaya bahasa dengan makna yang sebenarnya, dari sudut pandang farmasi, barangkali ungkapan di mug keramik kedai kopi itu bisa bermakna bahwa tidak semua rasa pusing disebabkan oleh bibit penyakit yang karenanya harus diberi obat. Setidaknya kepala yang pusing bisa menjadi alarm rasa syukur bahwa kita masih mempunyai kepala dan karenanya kita masih bisa bersyukur.

Dari sudut pandang religiusitas, mungkin tidak memadai sebagai sebuah pesan rohanis, tapi juga tidak salah memandang ungkapan itu sebagai cara cerdik untuk mengkritik ketidakmampuan manusia mensyukuri hal-hal yang mereka punyai, karena terlalu terpaku mengejar hal-hal yang belum mereka miliki. Padahal belum tentu yang tidak dimiliki itu adalah sesuatu yang perlu bagi mereka.

Untuk perasaan pusing karena alasan yang terakhir ini, pusing karena terlalu terpaku mengejar hal-hal yang belum tentu perlu, maka obat yang perlu bagi rasa pusing yang ada sebenarnya hanyalah sebuah hati yang gembira. Karena ternyata hati yang gembira adalah obat, tapi semangat yang patah memusingkan kepala

Menghubungkan antara semangat kerja dan kisah kepala pusing yang tertulis di dinding mug keramik di atas meja warung kopi, dengan kisah hidup John Forbes Nash, Jr., seorang matematikawan berkebangsaan Amerika Serikat, mungkin tidak terlalu tepat, tapi barangkali bisa dicoba.

Nash yang lahir pada tanggal 13 Juni 1928 dan meninggal pada 23 Mei 2015 dalam usia 86 tahun, adalah seorang yang genius di bidang matematika sekaligus penderita skizofrenia. Ia adalah peraih penghargaan Nobel Memorial Prize in Economic Sciences, pada tahun 1994, bersama pakar teori permainan Reinhard Selten dan John Harsanyi. Pada tahun 2015, ia juga dianugerahi penghargaan bersama Louis Nirenberg atas penelitiannya mengenai persamaan diferensial parsial nonlinier.

Kisah John Nash ini sudah diangkat ke sebuah film produksi Hollywood, berjudul A Beautiful Mind, yang diadopsi dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Sylvia Nasar. Di sana diceritakan tentang kegeniusan matematis Nash dan perjuangannya melawan penyakit mental.

Tentu pusing-pusing kepala tidak bisa disejajarkan dengan skizofrenia. Namun, kedua hal ini sama-sama terjadi di kepala. Nilai perjuangan Nash dan pendampingan yang penuh cinta setia dari istrinya di tengah penyakitnya, ternyata membuktikan bahwa prestasi bisa berasal dari orang seperti apapun juga. Belum lagi bila kita menghitung nilai perjuangan kisah cinta dari istrinya yang tetap bertahan mencintai dan mendampingi Nash yang kompleks.

Maka layaklah, bila pikiran di kepala yang kecil ini mampu menerima dan menjalani kenyataan-kenyataan yang tidak selamanya indah dalam kehidupan disebut sebagai pikiran yang indah, a beautiful mind. Bagaimana tidak, Nash yang tidak seluruh hidupnya indah, tapi dengan pikiran-pikiran indahnya, mampu menghasilkan karya-karya di bidang teori permainan, geometri diferensial, dan persamaan diferensial parsial yang telah membuka jalan bagi ilmuwan-ilmuwan lain untuk mempelajari faktor-faktor yang mengatur kemungkinan berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.

Tulisan ini diinspirasi oleh tulisan tentang kepala pusing pada dinding mug keramik di atas sebuah meja warung kopi, sambil merenungi kisah John Nash. Tampaknya dari sana, tidak salah untuk merumuskan sebuah opsi kesimpulan sementara tentang arti mencintai sebagai sebuah bentuk fungsional tindakan kasih yang didorong oleh motif kecil dalam luasnya keindahan alam pikiran yang tidak terbatas.

Tindakan yang seperti itu mampu mengalahkan perasaan keterpaksaan dalam sebuah hubungan yang di permukaan terkadang lebih tampak sebagai sebuah kewajiban dan di dalamnya seringkali muncul keinginan untuk menyerah dan pergi melarikan diri dari kenyataan. Terkadang ada perasaan bersalah karena kenyataannya yang demikian.

Namun, lebih sering ada rasa takjub, karena ternyata dengan sedikit saja dorongan kecil untuk mengasihi dari alam pikiran yang tidak terselami, itu sudah lebih dari cukup untuk menjaga cinta tetap bertahan. Sebuah pikiran yang indah, kecil tapi lebih dari cukup. A beautiful mind, small but more than enough.

Selalu saja ada alasan untuk bersyukur dalam hidup di antara segala hal yang ada dan yang terjadi. Sekalipun sulit untuk menerima kenyataan pada saat mengalaminya, tapi selalu saja manusia pada akhirnya mampu berkata bahwa semua akan indah pada waktunya.

Referensi:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/John_Forbes_Nash,_Jr.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun