Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ke Badigulan Aku Kan Kembali

3 Februari 2020   01:50 Diperbarui: 3 Februari 2020   02:08 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pemburu dan anjing pemburu kembali dari perburuan, di track perburuan di sekitar Lembah Badigulan (dokpri)

Tidak kurang dari 27 tahun yang lalu, pada tahun 1993, saya bersama adik dan sepupu saya berjalan beriringan di sepanjang tepian tanggul sungai. Sesekali kami harus agak memutar lebih jauh dari tepi sungai karena semak belukar dan onak duri membuat tubuh mungil kami tidak mungkin menembusnya.

Kami berjalan dari bagian hilir sungai yang ada di Desa Sukanalu hingga ke hulu di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Kami menyusuri sungai ditemani kakek kami yang menjala ikan di dalam sungai.

Sesekali dia menyelam menjebak ikan yang bersembunyi di lubuk-lubuk bagian sungai yang lebih dalam. Bila mendapatkan ikan yang sudah cukup banyak, dia akan memanggil kami yang hanya bertugas menyusuri sungai sambil menenteng kantung jaring yang berisi ikan-ikan hasil tangkapannya.

Itu adalah perjalanan satu arah, berjarak lebih kurang 8 kilometer menyusuri sepanjang tepi sungai. Tidak ada jalan kembali bagi penjala ikan, ke hulu adalah tujuan untuk pulang.

Begitupun kenangan. Bagi anak laut, maka laut adalah rumah tujuan pulang, biasanya. Mengutip lirik lagu Jikustik, "Hatiku tertanam di setiap jengkal tanah di hutan belantara. Kakiku tertanam di setiap jengkal tanah yang menuju muara", demikianlah bagi anak gunung, hutan dan sungai, tidak ada tempat lebih baik untuk kembali selain ke sungai, hutan dan gunung.

Mengasingkan diri dari pekerjaan bersama teman-teman, kami melakukan setidaknya tiga kali perjalanan kembali ke Badigulan setelah 25 tahun pada tahun 2018 yang lalu. Itu adalah tanggal 13 Januari, 18 Februari, dan 25 Februari 2018.

Bersama teman setelah menjala ikan di sekitar Lembah Badigulan, pada 13-01-2018 (dokpri)
Bersama teman setelah menjala ikan di sekitar Lembah Badigulan, pada 13-01-2018 (dokpri)
Bersama teman menyusuri tepi sungai di Lembah Badigulan, pada 18-01-2018 (dokpri)
Bersama teman menyusuri tepi sungai di Lembah Badigulan, pada 18-01-2018 (dokpri)
Bersama teman di sekitar Lembah Badigulan, pada 25-02-2018 (dokpri)
Bersama teman di sekitar Lembah Badigulan, pada 25-02-2018 (dokpri)
Badigulan sebenarnya adalah sumber mata air yang berada di atas gunung di Desa Serdang yang masih termasuk wilayah Kabupaten Karo. Kawasan di balik gunung tempat beradanya sumber mata air itu sudah termasuk wilayah Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Desa Serdang sendiri dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang 45 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo.

Air yang berasal dari sumber mata air Badigulan ini, adalah sumber air minum bagi warga di Desa Serdang dan desa lain di sekitarnya. Air dialirkan cukup dengan pipanisasi, karena gravitasi cukup mengantarkan air siap minum ke kamar mandi umum di desa, bahkan langsung ke rumah-rumah warga.

Jernihnya mata air Badigulan (dokpri)
Jernihnya mata air Badigulan (dokpri)
Adalah hal yang ironis memang, di saat teknologi makin maju, kita kini justru membeli air mineral dalam kemasan, yang dikelola oleh perusahaan swasta besar dan terkadang bahkan perusahaan multinasional, yang untuk mendaftar menjadi karyawannya saja tidak mudah. Padahal mereka menjual air yang berasal dari perut bumi kita sendiri.

Saya masih mengalami sendiri, bagaimana segarnya langsung meneguk air yang berasal dari mata air Badigulan Desa Serdang ini. Saya harus jujur mengakui, rasa air dari pancuran tempat air ini mengucur setelah tiba di kampung dari gunung, jauh lebih segar dari rasa air mineral dalam kemasan yang katanya sudah melewati proses sterilisasi ultra violet. Itu adalah masa ketika saya masih di bangku sekolah dasar pada tahun 1990. Sekarang pun masih seperti itu di desa ini.

Mata air Badigulan adalah bagian yang menyuplai air Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu yang bermuara ke Selat Malaka. Air mengalir ke kaki gunung, menganak sungai ke sungai-sungai yang melewati berbagai desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga bermuara ke Selat Malaka, berkumpul dengan air dari sungai-sungai negara lain di Laut Cina Selatan hingga bersatu di Samudra Pasifik.

Bersama teman menyusuri sungai di sekitar Lembah Badigulan (dokpri)
Bersama teman menyusuri sungai di sekitar Lembah Badigulan (dokpri)
Menjala ikan bersama teman di sungai sekitar Lembah Badigulan (dokpri)
Menjala ikan bersama teman di sungai sekitar Lembah Badigulan (dokpri)
Alam senantiasa menanggung beban atas kehidupan semua makhluk yang berpijak di atas tanahnya, hidup dan berenang di dalam perairannya, terbang di udaranya, bahkan yang bersembunyi dalam diam di lapisan di bawahnya. Ia mencukupkan kebutuhan semua yang hidup, meskipun pasti tidak akan cukup untuk memuaskan keserakahan sekalipun sedikit orang.

Bersama teman-teman, kami kembali ke Badigulan. Seharian berbau lumpur sawah, bertemankan kera dan serangga, mendengarkan kicau burung dan gemericik suara sungai, memandang langit, gunung, tebing hingga lembayung senja bergelayut di ufuk Barat.

Dahulu kala, Trivium dan Quadrivium mungkin saja tercipta berawal dari candaan Socrates dan Plato yang berbagi kekonyolan di bawah pohon Aras, di kelas alam terbuka pada sebuah tempat di kaki Olympus.

Bersama teman menyusuri sungai di sekitar lembah Badigulan (dokpri)
Bersama teman menyusuri sungai di sekitar lembah Badigulan (dokpri)
Bagi hati yang tertanam di setiap jengkal tanah di hutan belantara dan sungai yang menuju muara, kembali ke Badigulan bukan saja demi menjaga jejak kenangan tetap terbaca. Namun, itu adalah bagian pengenalan potensi wilayah bagi manusia-manusia yang hidup di sekitarnya. 

Meskipun tidak seakbar Grand Canyon di Amerika, tapi tebing-tebing di berbagai tempat di sepanjang aliran sungai yang mengairi lahan sawah sepanjang jalurnya mulai dari Desa Serdang, Desa Bulanjahe, Desa Bulanjulu, dan Desa Buntu Kecamatan Barusjahe ini, menghadirkan pemandangan tebing ngarai yang unik dengan beragam flora, fauna dan ikan-ikan yang masih mengarungi dengan tenang sungai-sungainya.

Dua orang ibu membajak sawah irigasi di sekitar lembah Badigulan (dokpri)
Dua orang ibu membajak sawah irigasi di sekitar lembah Badigulan (dokpri)
mandi di sungai sekitar lembah Badigulan (dokpri)
mandi di sungai sekitar lembah Badigulan (dokpri)
warga lokal menjala ikan di sungai Lau Raja, sekitar lembah Badigulan (dokpri)
warga lokal menjala ikan di sungai Lau Raja, sekitar lembah Badigulan (dokpri)
Walau bukan seperti senja ketika matahari turun ke dalam jurang-jurang Mandalawangi Pangrango yang didatangi Soe Hok Gie, datang kembali ke dalam ribaan, ke dalam sepi dan dinginnya Badigulan, segera akan membawa kita merasakan bahwa di sini kita tidak sekadar mengenali manfaat dan guna dari sebuah aliran sungai dan sumber mata airnya. 

Di sini kita akan mengenal cinta, keindahan dan keberadaan sumber kelangsungan hidup lingkungan dan segala isinya. Maka patutlah kita menerima keberadaanya apa adanya. Alam yang indah dan kaya tidak lantas serta merta menjadi layak untuk dieksploitasi seenaknya.

Sebagian hal seperti pantas dan lebih baik untuk diterima apa adanya saja, demi kebaikan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun