Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.
Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.
Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.
Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.
Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu"
Demi mendengar nats itu dibacakan, saya mengenangkan seorang Mahatma Ghandi, yang begitu mengagumi Yesus dan pengajarannya, dan bahkan menjadi salah satu teladannya dalam menyuarakan kepentingan orang-orang dan masyarakat yang diwakilinya. Teladan dalam menyuarakan kebebasan dan kemerdekaannya.Â
Namun, sampai akhir hayatnya, Gandhi yang seorang Hindu tidak pernah menjadi seorang Kristen. Gandhi melihat begitu banyak orang yang mengaku pengikut Kristus, tapi justru dalam tindak kehidupannya jauh dari isi Khotbah Yesus di bukit. Konon, khotbah di bukit adalah salah satu hal yang selalu dibawa Gandhi di saku doti yang dipakainya.
Gandhi dengan wajah khas usia tuanya yang tersenyum, mengenakan kacamata, dan dengan sabuk putih di atas bahu kanannya, yang dikenal oleh dunia sebagai seorang yang penuh dengan kasih sayang, barangkali mewakili perasaan manusia-manusia yang sesungguhnya menangis dalam mimpinya, sekalipun ia tersenyum dalam kenyataan.Â