Hari itu, Minggu, 8 Desember 2019, saya menemani istri berbelanja ke Pusat Pasar Kabanjahe membeli kebutuhan dapur selama seminggu. Saya memarkir kendaraan di depan kios agen koran, bermerek "S.Pelawi", karena di sana ada rambu huruf "P" besar berlatar warna biru, artinya di sana tidak dilarang parkir.
Saya menunggu di situ. Pada hari Minggu banyak kios yang tutup di pasar ini, sebagian lagi mungkin akan buka usai pemiliknya mengikuti kebaktian Minggu pagi di gereja.
Tidak jauh dari kios agen koran ini, ada seorang ibu yang menggelar lapak di depan sebuah kios yang tutup dan memajang buku-buku di lapak itu. Ibu itu adalah Mak Perdo.
Kini bila ada yang membeli bukunya, umumnya adalah anak-anak SMP dan SMA, yang membeli kamus atau buku kumpulan soal-soal ujian setiap menjelang musim ujian.Â
Selain kamus dan buku-buku latihan soal, dia juga ada menjual beberapa judul novel, baik novel karangan penulis Indonesia yang sudah dikenal sejak angkatan Balai Pustaka, maupun novel karangan penulis yang jarang didengar namanya.
Setelah melihat-lihat sebentar, saya menawar untuk membeli novel bekas berjudul "Burung-Burung Rantau", karangan Y.B. Mangunwijaya, yang merupakan cetakan pertama (cover baru) Agustus 2014, dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta, dan diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tentu saja isi di luar tanggung jawab percetakan.
Saya membeli novel itu seharga Rp. 30.000. Kata Mak Perdo hari itu, baru satu buku itulah yang laku dia jual.
Novel yang sarat dengan nilai filsafat kehidupan ini kalau menurut saya tergolong bagus. Berlatar di Jakarta, Yunani, Swiss, India, juga Kepulauan Banda, novel ini sarat dengan ide filosofis atas manusia Indonesia generasi baru. Generasi yang secara mental spiritual sudah merantau melampaui batas-batas nasional.Â
Ia memberi makna yang segar atas globalisasi dengan segala kesempatan emasnya. Bila dikaji secara mendalam, nilai dalam novel ini bisa berujung pada revolusi mental bagi pembacanya, di dalamnya terjadi dialektika dan pertempuran pikiran serta konflik batin antar generasi pada sebuah keluarga.
Namun, seperti percetakan yang tidak bertanggung jawab terhadap isi buku, demikian juga kualitas novel "Burung-Burung Rantau" dengan latar filsafat lintas negara, baik  Indonesia, Yunani, Swiss, dan India, yang bisa hadir di Kabanjahe karena dijual oleh Mak Perdo, ternyata tidak mampu bertanggung jawab terhadap pendapatan harian Mak Perdo dari hasil penjualan buku. Sayang sekali, padahal itu buku bagus, dan barangkali masih ada buku-buku bagus lainnya yang dijual Mak Perdo.
Ia mendapatkan buku-bukunya dari agen penjualan buku di Medan. Sesekali ada juga agen yang datang menawarkan buku kepadanya. Namun, saat ini memang buku-buku yang dijual oleh orang-orang seperti Mak Perdo sudah kalah dengan warnet dan mesin pencari di internet yang dengan mudah menghadirkan apa saja yang ingin diketahui manusia langsung di depan matanya.
Bahkan, ada satu toko buku di kampung ini yang dulunya sangat terkenal, termasuk saya juga pernah meminjam buku dan komik di sana saat masih di bangku SMP, melalui Mak Perdo saya tahu kalau pemilik toko buku itu saat ini sudah menjadi penjual bumbu masak. Mak Perdo sendiri, dulunya sebelum menjual buku adalah seorang penjual daun sirih dan kelengkapannya. Di kampung ini sirih memang menjadi "kudapan" khas bagi sebagian besar ibu-ibu, khususnya yang sudah berumah tangga dan dalam acara-acara pesta adat.
Saat saya tanyakan apa rencananya, bila minat orang-orang untuk membeli buku terus semakin merosot sehingga dagangannya semakin sepi, dia mengatakan mungkin dia akan ikut suaminya saja, mengolah tanah dan bercocok tanam di ladang sebegai petani.
Itu adalah sebagian realitas, bahwa waktu dan perubahan sudah menggulung tikar penjual buku hingga beralih menjadi penjual bumbu. Sebagian lainnya mungkin saja akan kembali mengolah tanah dan bercocok tanam di ladang-ladang. Seperti Burung-Burung Rantau, waktu memungkinkan setiap orang menjadi berubah dan merantau melampaui batas-batas umum kebiasaan. Barangkali bagi sebagian orang, berubah dan merantau untuk sekadar menyambung hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H