Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Mburo Ate Tedeh", Cara Lampau Menghalau Rasa Rindu yang Tetap Kekinian

24 Desember 2019   16:29 Diperbarui: 24 Desember 2019   16:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mburo Ate Tedeh" adalah frasa dalam Bahasa Karo yang bila diterjemahkan bebas ke dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan dengan temu kangen. Namun, dari asal katanya sendiri ada kontradiksi dalam pemaknaan ini secara langsung.

"Mburo" adalah aktivitas masyarakat agrikultur di mana seseorang, bisa anak-anak, remaja dan orang dewasa menghalau burung-burung pemakan biji-biji padi, mana kala bulir padi di sawah sudah mulai berisi hingga masa panen. 

Mereka yang menghalau burung-burung di sawah ini, biasanya menarik tali-temali yang terangkai jadi satu yang pusatnya ada di dangau atau "pantar" dalam Bahasa Karo, yang terhubung ke tiang-tiang pancang nun jauh di sudut-sudut sawah yang luas, yang sudah dilengkapi dengan kaleng-kaleng kosong atau tiang pancang dengan orang-orangan sawah yang dipakaikan baju bekas hingga menyerupai pak tani berpakaian lusuh.

Petani yang menarik jalinan tali-temali yang terhubung ke tiang-tiang pancang itu akan menimbulkan bunyi klontang-klontang yang berasal dari kaleng yang saling berantukan, sambil meneriakkan suara-suara "...wayah e wayah, wayah e wayah..." Teriakan ini sendiri diabadikan oleh seorang almarhum komponis nasional legendaris dari Kabupaten Karo bernama Djaga Depari, menjadi sebuah lagu yang berjudul sama, Wayah e Wayah. Artinya kurang lebih sederhana, "hus...hus...pergilah burung, jangan makan padiku ini, hus...hus..." Begitulah kira-kira. Hehe.

Menjadi kontradiksi, dengan pengertian sederhana ini, bila kata "Mburo" yang bermakna harafiah "Menghalau" ditautkan dengan frasa "Ate Tedeh" yang bermakna "Rasa Rindu" atau "Rasa Kangen", sehingga "Mburo Ate Tedeh" menjadi bermakna "Menghalau Rasa Rindu" atau "Menghalau Rasa Kangen". 

Sementara padanan katanya yang sering digunakan dalam Bahasa Indonesia adalah "Temu Kangen". Bagaimana pertemuan kangen bisa terjadi dalam sebuah aktivitas menghalau, bukankah menghalau rasa rindu atau kangen, harusnya berarti mengusir rindu atau kangen, bukan malah mempertemukannya.

Sedikit agak menjadi ribet memang, bila pemaknaan secara paralel kata-kata dari satu bahasa ke bahasa lainnya, dilakukan secara langsung tanpa melihat konteksnya. Barangkali dengan dasar itu pula mengapa segolongan orang yang sudah terbiasa menggunakan bahasa etniknya, merasa bahwa seringkali maksud yang ingin disampaikannya terasa tidak kesampaian maknanya bila disampaikan dengan bahasa lain. Memang tidak mudah menemukan padanan kata dari setiap bahasa yang merupakan keunggulan utama ras manusia dan yang membedakannya dari spesies lainnya.

Tidak kurang banyak pakar yang sepakat dalam kepelbagaian latar belakang keilmuannya, bila membahas segala soal tentang ras manusia akan tiba pada kesimpulan yang kurang lebih sama, bahwa bahasa manusia adalah salah satu ciri kompleksitas intelegensianya, yang menyebabkannya menjadi spesies yang secara khas mampu menggalang kesamaan rasa dalam jumlah yang sangat massif. 

Lihat saja misalnya dalam sejarah Indonesia, tak kurang dari Sumpah Pemuda saja menempatkan Bahasa Indonesia menjadi salah satu unsur utama yang mampu mempersatukan semangat nasionalisme dan patriotisme Indonesia.

Tidak pernah kita dengar misalnya, ada serombongan gajah yang melakukan rapat para gajah dalam skala besar, sebesar warga satu kelurahan atau kecamatan misalnya, dengan maksud menyusun strategi penyerangan kebun ketela warga yang sudah menyinggung perasaan salah seorang dari anggota rombongannya. 

Kalaupun saat ini, sering kita mendengar ada muncul koloni tawon yang hidup di permukiman warga, atau yang paling anyar misalnya berita mengenai bermunculannya berbagai jenis ular di permukiman warga di beberapa tempat di Indonesia, tapi semua itu mudah ditumpas oleh manusia. Bahkan tidak kurang, hanya seorang Panji dari acara Panji Sang Petualang, mampu memberikan bantuan kepada petugas pemadam kebakaran kota untuk menangkapi ular-ular berbisa itu dengan tampak mudahnya.

Barangkali tidak sepadan dalam hal dampak, walaupun secara esensi prosesnya mungkin sama. Baik gajah, tawon atau ular itu pastilah juga berkomunikasi, tapi pasti juga tidak secanggih komunikasi manusia. Kalau tidak pasti mereka tidak mudah ditumpas. 

Komunikasi manusia yang berisi sekumpulan fakta, data dan informasi, yang mengalir dalam sebuah alur proses yang melibatkan tidak saja analisis berbasis logika, tapi juga emosi, intuisi dan perasaan, sehingga oleh karenanya manusia juga melakukan aktivitas eksegesis dalam komunikasinya. 

Manusia menafsir kata-kata dalam bahasa, tidak sekedar membaca. Membaca data dan informasi lebih terasa hanya sekadar respons sensorik yang berlangsung secara mekanis bawaan, yang juga adalah kemampuan yang dimiliki oleh satwa-satwa.

Kembali ke acara Mburo Ate Tedeh atau Temu Kangen, barangkali tidak sepenuhnya keliru juga. Temu kangen dalam konsep cara lampau menghalau rasa rindu melalui Mburo Ate Tedeh, masih tetap bisa berasa kekinian sesuai konteksnya, karena dilakukan oleh manusia yang hidup pada masa kini. Mereka yang dipertemukan dalam sebuah acara kebersamaan yang digerakkan oleh kenangan-kenangan masa lalu, sebenarnya memang bertemu untuk menghalau rindu, menghalau kangen.

Namun, pertemuan Mburo Ate Tedeh seperti itu tidak sekadar temu kangen sentimentil yang lebih terasa seperti prom night misalnya. Itu adalah tradisi anak SMA kelas terakhir di Amerika atau Eropa, yang dengan semangat masa muda dan mungkin juga diiringi gelegak gairah cinta monyet masa mudanya, yang bersepakat bertemu di sebuah pesta dansa atau disko. 

Mburo Ate Tedeh adalah konsep lampau manusia sebagai hasil proses berpikir yang digali dan dihidupi dari nilai-nilai hidup keseharian sesuai konteksnya. Oleh karenanya, ia penuh makna filosofi dan semangat humanisme, bahkan mungkin religius juga. Bukankah Tuhan ada di mana-mana, mengapa tidak di sebuah pesta juga?

Sebagai hasil proses berpikir dan olah rasa, tentulah orang yang sanggup melaksanakan Mburo Ate Tedeh adalah orang-orang yang dewasa. Sebuah pertemuan gagasan, ide dan harapan, sambil juga bertukar celoteh dan candaan. Tentu itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh tawon, gajah, ular atau monyet, yang menyerang pemukiman warga secara musiman. Tanpa maksud peyoratif merendahkan satwa-satwa yang juga adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang saya juga sering tidak setuju untuk direndahkan secara seenaknya oleh manusia, siapakah manusia?

Melibatkan mereka, satwa-satwa ini, ke dalam tulisan tentang Mburo Ate Tedeh ini adalah cara mudah untuk mencoba menunjukkan perbedaan Mburo Ate Tedeh dengan reuni atau temu kangen yang sering disalahartikan atau di-downgrade maknanya oleh suami, istri, pasangan atau bahkan seorang alumni sendiri, sebagai sebuah ritual tahunan yang berpotensi menjerumuskan manusia lama ke cinta lama bersemi kembali. Itu mungkin insting alami yang dimiliki oleh satwa, lalu apa bedanya dengan manusia?

Lihat saja misalnya kisah dramatik antara anak dan ibu gajah dalam film Dumbo. Di sana dijelaskan tentang gajah sebagai makhluk yang tidak mudah melupakan keluarganya, orang yang dicintainya. Tapi tentu tidak elok mensejajarkan cinta gajah dengan rasa cinta atau mengasihi sesama manusia. Namun, kalau hanya soal cinta lama bersemi kembali, apa yang membedakan kualitas manusia dan gajah?

Tidak, kami melakukan sesuatu yang jauh di atas itu. Kalau bisa dikatakan, Mburo Ate Tedeh adalah sesuatu yang beyond prom night, lebih dari sekadar ngumpul dan berdansa. Memang tidak mudah, di tengah berbagai kesibukan dan berbagai kepentingan mendesak yang berbeda pada setiap alumni untuk bisa berkumpul bersama teman-teman masa SMA, yang bahkan tidak pernah bertemu hingga puluhan dan belasan tahun.

Kalau dalam rangka itu sambil bertukar celoteh, candaan, bernyani dan berdansa ria bersama keluarga dan teman-teman, tentu juga bukanlah sebuah masalah, toh etika dan makna selalu sesuai konteksnya. Maka dari itu, tidak salah juga memandang Mburo Ate Tedeh sebagai temu kangen atau prom night bagi manusia yang melihat dari persepktifnya, bahkan melampaui. Manusia masa kini perlu untuk #BebaskanLangkah dan #FWDBebasBerbagi.

Mengutip peribahasa Latin, "Tempora mutatur et nos mutatur in illis", waktu berubah dan kitapun berubah di dalamnya, maka Mburo Ate Tedeh, dari masa lampau adalah cara yang bertransformasi mengikuti semangat kekinian yang tetap relevan untuk menghalau rasa rindu dan mempererat persahabatan.

Kami hanya teman-teman yang mencoba mengundang sesama teman untuk datang berbagi kenangan demi masa depan. Komunitas Keluarga Besar SMU Negeri 1 Kabanjahe yang masuk pada 1998 dan lulus pada 2001 (disingkat KBS 98/01) yang segera akan menginjak umur 3 tahun pada 2020 nanti, kembali melaksanakan acara Mburo Ate Tedeh pada Senin, 23 Desember 2019, yang lalu, bertempat di Reb'ba Cafe & Dining, Komplek Villa Berastagi Highland-Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

KBS 98/01 di Reb'ba Cafe & Dinning-Berastagi (Dokpri)
KBS 98/01 di Reb'ba Cafe & Dinning-Berastagi (Dokpri)
Evaluasi dan Pembahasan Program Kerja KBS 98/01 di Reb'ba Cafe & Dinning-Berastagi (dokpri)
Evaluasi dan Pembahasan Program Kerja KBS 98/01 di Reb'ba Cafe & Dinning-Berastagi (dokpri)
Acara Kebersamaan dan bernanyi bersama keluarga KBS 98/01 di Reb'ba Cafe & Dinning-Berastagi (dokpri)
Acara Kebersamaan dan bernanyi bersama keluarga KBS 98/01 di Reb'ba Cafe & Dinning-Berastagi (dokpri)
Sebagai salah satu pilihan tempat untuk menikmati dinner bersama pasangan dan keluarga, termasuk komunitas Anda, tempat ini cukup nyaman karena dikelilingi oleh balutan suasana tenang dan jauh dari keriuhan dilengkapi pemandangan gunung gemunung perbukitan alam Kota Wisata Berastagi dan hamparan ladang warga yang tampak di kejauhan pada pagi dan siang hari, dan tentu saja udara sejak berselimut halimun tipis nan eksotis pada malam harinya.

Tetaplah bersahabat teman-teman, hingga makin banyak yang meyakini bahwa di atas semua yang kita lakukan, hanya dengan satu maksud, menghimpun semua potensi persahabatan yang kita miliki bermodal kenangan masa SMA untuk kebaikan seluruh kita. Tuhan memberkati kita semua. Mejuah-juah, Horas.

#BebaskanLangkah #FWDBebasBerbagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun