Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Mburo Ate Tedeh", Cara Lampau Menghalau Rasa Rindu yang Tetap Kekinian

24 Desember 2019   16:29 Diperbarui: 24 Desember 2019   16:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Acara Kebersamaan dan bernanyi bersama keluarga KBS 98/01 di Reb'ba Cafe & Dinning-Berastagi (dokpri)

Barangkali tidak sepadan dalam hal dampak, walaupun secara esensi prosesnya mungkin sama. Baik gajah, tawon atau ular itu pastilah juga berkomunikasi, tapi pasti juga tidak secanggih komunikasi manusia. Kalau tidak pasti mereka tidak mudah ditumpas. 

Komunikasi manusia yang berisi sekumpulan fakta, data dan informasi, yang mengalir dalam sebuah alur proses yang melibatkan tidak saja analisis berbasis logika, tapi juga emosi, intuisi dan perasaan, sehingga oleh karenanya manusia juga melakukan aktivitas eksegesis dalam komunikasinya. 

Manusia menafsir kata-kata dalam bahasa, tidak sekedar membaca. Membaca data dan informasi lebih terasa hanya sekadar respons sensorik yang berlangsung secara mekanis bawaan, yang juga adalah kemampuan yang dimiliki oleh satwa-satwa.

Kembali ke acara Mburo Ate Tedeh atau Temu Kangen, barangkali tidak sepenuhnya keliru juga. Temu kangen dalam konsep cara lampau menghalau rasa rindu melalui Mburo Ate Tedeh, masih tetap bisa berasa kekinian sesuai konteksnya, karena dilakukan oleh manusia yang hidup pada masa kini. Mereka yang dipertemukan dalam sebuah acara kebersamaan yang digerakkan oleh kenangan-kenangan masa lalu, sebenarnya memang bertemu untuk menghalau rindu, menghalau kangen.

Namun, pertemuan Mburo Ate Tedeh seperti itu tidak sekadar temu kangen sentimentil yang lebih terasa seperti prom night misalnya. Itu adalah tradisi anak SMA kelas terakhir di Amerika atau Eropa, yang dengan semangat masa muda dan mungkin juga diiringi gelegak gairah cinta monyet masa mudanya, yang bersepakat bertemu di sebuah pesta dansa atau disko. 

Mburo Ate Tedeh adalah konsep lampau manusia sebagai hasil proses berpikir yang digali dan dihidupi dari nilai-nilai hidup keseharian sesuai konteksnya. Oleh karenanya, ia penuh makna filosofi dan semangat humanisme, bahkan mungkin religius juga. Bukankah Tuhan ada di mana-mana, mengapa tidak di sebuah pesta juga?

Sebagai hasil proses berpikir dan olah rasa, tentulah orang yang sanggup melaksanakan Mburo Ate Tedeh adalah orang-orang yang dewasa. Sebuah pertemuan gagasan, ide dan harapan, sambil juga bertukar celoteh dan candaan. Tentu itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan oleh tawon, gajah, ular atau monyet, yang menyerang pemukiman warga secara musiman. Tanpa maksud peyoratif merendahkan satwa-satwa yang juga adalah makhluk ciptaan Tuhan, yang saya juga sering tidak setuju untuk direndahkan secara seenaknya oleh manusia, siapakah manusia?

Melibatkan mereka, satwa-satwa ini, ke dalam tulisan tentang Mburo Ate Tedeh ini adalah cara mudah untuk mencoba menunjukkan perbedaan Mburo Ate Tedeh dengan reuni atau temu kangen yang sering disalahartikan atau di-downgrade maknanya oleh suami, istri, pasangan atau bahkan seorang alumni sendiri, sebagai sebuah ritual tahunan yang berpotensi menjerumuskan manusia lama ke cinta lama bersemi kembali. Itu mungkin insting alami yang dimiliki oleh satwa, lalu apa bedanya dengan manusia?

Lihat saja misalnya kisah dramatik antara anak dan ibu gajah dalam film Dumbo. Di sana dijelaskan tentang gajah sebagai makhluk yang tidak mudah melupakan keluarganya, orang yang dicintainya. Tapi tentu tidak elok mensejajarkan cinta gajah dengan rasa cinta atau mengasihi sesama manusia. Namun, kalau hanya soal cinta lama bersemi kembali, apa yang membedakan kualitas manusia dan gajah?

Tidak, kami melakukan sesuatu yang jauh di atas itu. Kalau bisa dikatakan, Mburo Ate Tedeh adalah sesuatu yang beyond prom night, lebih dari sekadar ngumpul dan berdansa. Memang tidak mudah, di tengah berbagai kesibukan dan berbagai kepentingan mendesak yang berbeda pada setiap alumni untuk bisa berkumpul bersama teman-teman masa SMA, yang bahkan tidak pernah bertemu hingga puluhan dan belasan tahun.

Kalau dalam rangka itu sambil bertukar celoteh, candaan, bernyani dan berdansa ria bersama keluarga dan teman-teman, tentu juga bukanlah sebuah masalah, toh etika dan makna selalu sesuai konteksnya. Maka dari itu, tidak salah juga memandang Mburo Ate Tedeh sebagai temu kangen atau prom night bagi manusia yang melihat dari persepktifnya, bahkan melampaui. Manusia masa kini perlu untuk #BebaskanLangkah dan #FWDBebasBerbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun