Dalam tanda kutip adalah nama sebuah vila yang sama dengan nama sebuah perusahaan oto bis, Sigantang Sira, yang sudah sejak tahun 1970an melayani angkutan penumpang jurusan Kabanjahe-Berastagi, Sumatera Utara. Vila milik keluarga Tarigan ini dikelola secara mandiri sejak tahun 2019.
Dia, pak Tarigan, salah seorang anak dari delapan bersaudara, yang mengelola tempat ini adalah seorang pensiunan BUMN perkebunan yang berkantor di Jakarta. Dulunya, bangunan bergaya Belanda ini diperkirakan digunakan sebagai pesanggrahan bagi petinggi militer Belanda.
Tempatnya memang khas resor, berada di kaki Bukit Gundaling, Berastagi, dengan latar pemandangan Gunung Api Sibayak dan hamparan kota Berastagi di bawahnya. Sebuah foto yang bertanda tahun 1920 terpampang di sudut ruang tengah bangunan, yang dilengkapi sebuah tungku untuk berdiang. Kemungkinan bangunan ini sudah berdiri sebelum tahun 1920.
Tahun 1970, bangunan ini dibeli oleh almarhum orang tua pak Tarigan. Kemudian ditempati hingga tahun 1974. Setelahnya, vila ini disewakan beberapa kali ke orang-orang yang berminat dengan berbagai keperluan. Hal ini berlanjut hingga tahun 2009.
Sejak tahun 2009, meskipun sudah tidak disewakan, namun keluarga belum tinggal menetap di vila ini, sehingga kondisi bangunan dan halaman kurang terawat. Oleh karenanya, pak Tarigan dan keluarga sepakat untuk lebih fokus merawat vila itu untuk tujuan wisata. Lagipula lokasinya memang berada di sekitar objek wisata kota Berastagi, Sumatera Utara.
Sejak tahun 2019, pak Tarigan yang sudah pensiun dari BUMN di Jakarta ini, dengan kesepakatan keluarganya merehab vila Sigantang Sira, dan mulai dibuka untuk wisatawan umum. Ini adalah penginapan yang dikelola dengan model homestay. Ada 9 kamar eksotis dengan desain ruangan bergaya Belanda, yang bisa ditempati di vila ini.
Tidak saja soal urusan menjual pemandangan dan hawa sejuk kota wisata Berastagi, menginap di vila ini juga membawa suasana nostalgik klasik nan historik. Ada beberapa vila lainnya yang juga bergaya arsitektur Belanda di sekitar bukit ini.
Sistem sosial di masyarakat masih menerima penentuan harga ongkos angkutan penumpang umum, dengan ukuran standar harga barang yang dinilai berharga pada masa itu. Tidak lain benda itu adalah "sira," sebuah kata yang dalam Bahasa Indonesia berarti garam. Jadi, ongkos penumpang oto bis Sigantang Sira yang melayani trayek Kabanjahe-Berastagi pada waktu itu seharga segantang garam.