Hari itu, Senin, 29 Oktober 2018. Saya ditugaskan oleh pimpinan untuk mengikuti sebuah rapat di gedung DPRD di kampung kami, untuk membahas rancangan kebijakan umum anggaran APBD Tahun 2019. Undangan rapat yang seharusnya dijadwalkan pada jam 10:00 wib pagi itu saya hadiri terlambat sekitar 30 menit. Saya agak terengah-engah, karena harus menaiki tangga yang cukup terjal dengan badan yang cukup tambun. Ditambah lagi, saya terlambat.
Namun, rapat itu belum dimulai pada saat saya masuk ke ruangan rapat. Mengambil tempat duduk paling pojok di ujung barisan kursi bagi peserta dari unsur pemerintah daerah, saya menghempaskan diri duduk di kursi, dan mulai menenangkan diri sambil mengatur nafas.
Karena rapat tidak kunjung dimulai, sebagian orang mulai gelisah. Ada yang berjalan hilir mudik keluar masuk ruangan. Ada juga yang asyik sendiri dengan telefon genggamnya, entah sedang membaca berita atau bermain game.
Saya sendiri yang sudah lebih tenang dari 15 menit yang lalu. Saya memainkan telefon genggam sekenanya saja. Saya membuka-buka berbagai portal berita yang merilis berbagai macam berita di sana. Saya tertarik dengan salah satu artikel dari Kompasiana yang diposting oleh Kompas.com. Saya tidak ingat itu artikel waktu itu tentang apa.
Kami yang ada di ruangan itu memang sudah agak bosan menunggu. Selesai membaca artikel itu sampai tandas, saya tertarik ingin memberi komentar atas ulasan di artikel itu. Saya menuliskan komentar dan mencoba mengirimnya. Namun, muncul peringatan bahwa saya harus login untuk bisa memberi komentar. Artinya, saya juga harus memiliki akun baru bisa login.
Iseng-iseng karena bosan menunggu, saya mendaftar untuk membuat akun. Setelah berhasil membuatnya, saya login dan kembali ke artikel yang tadi ingin saya beri komentar. Akhirnya, sayapun bisa memberikan komentar di artikel itu.
Peserta rapat itu masih juga belum korum, dan kami masih harus menunggu. Saya melanjutkan mengulik-ulik setiap sudut dashboard akun Kompasiana saya yang baru dibuat itu. Saya mencoba menu untuk menulis. Maka dashboard halaman menulis segera tampil dengan segala panel bantuannya. Lalu, apa yang akan saya tulis? pikirku.
Hari itu, adalah satu hari setelah peringatan hari Sumpah Pemuda ke-90 pada 28 Oktober 2018. Sehari sebelumnya, tepat pada peringatan hari Sumpah Pemuda itu, saya memang ada menulis sebuah tulisan yang cukup panjang, menurut teman-teman yang berkomentar, di akun facebook saya. Tulisan itu, saya beri judul "Relevansi Semangat Sumpah Pemuda di Tengah Tantangan Era Post-Truth."
Isinya adalah apa yang muncul di benak saya setelah mendengar sambutan Menteri Pemuda dan Olah Raga yang dibacakan oleh inspektur upacara, disandingkan dengan tantangan pemuda-pemudi di masa kini, yang saya lihat di kampung ini dan pemuda-pemudi di berbagai tempat di dunia melalui media, baik cetak maupun elektronik.
Pemuda yang hidup di zaman modern ini, dengan barang-barangnya yang canggih, menjadi makhluk yang membangun pengertiannya dengan cara yang sama sekali berbeda dengan masa-masa dua puluh tahun yang lalu. Maka, di masa kini, apa yang dulu saya anggap benar bisa saja menjadi salah saat ini. Bahkan apa yang dirasa benar oleh orang lainpun bukan sekadar seperti apa yang tampak di permukaan, yang bagi saya tampak sebagai sebuah kesalahan. Tapi ini, bukan tentang kebenaran di era post-truth yang sukar dimengerti itu. Ini tentang ulang tahun Kompasiana yang ke-11 pada tahun ini, jadi bukan sesuatu yang serius-serius begitu. Hehe.
Saya menambahkan berbagai pandangan pada tulisan itu, baik yang berasal dari respons teman-teman saya di kolom komentar, maupun yang saya cari dari referensi lain. Tulisan berjudul "Relevansi Semangat Sumpah Pemuda di Tengah Tantangan Era Post-Truth" itu menjadi artikel pertama yang saya tulis di Kompasiana. Itu tercatat bertanggal 29 Oktober 2018, pukul 16:38 wib dan diperbarui pada 4 November 2018 pukul 11:26 wib.
Saat tulisan ini saya buat, artikel itu tercatat telah dilihat sebanyak 374 kali, yang mungkin 100 kalinya dilihat oleh saya sendiri yang seperti sangat bergairah karena mendapat mainan baru, walaupun tidak ada orang, yang kemudian saya tahu namanya Kompasianer, Â yang memberi rating maupun memberi komentar di artikel itu.
Hari ini, karena saya melihat ada info Kompasiana bahwa Kompasiana akan berulang tahun yang ke-11 pada bulan ini. Saya teringat bahwa itu sama dengan bulan ketika pertama kali saya mendaftar menjadi seorang Kompasianer. Saya mencari tahu lebih dalam di menu penjelasan Tentang Kompasiana, setelah hampir setahun saya ikut bergabung di dalamnya. Betapa saya sangat kurang perhatian kepada kekasih baru saya ini, wkwkwk. Ini tidak lucu.
Di sana dijelaskan, bahwa Kompasiana adalah sebuah platform blog dan publikasi online yang dikembangkan oleh Kompas Cyber Media sejak 22 Oktober 2008. Di tahun pertama kehadirannya, Kompasiana dibangun sebagai blog jejaring internal untuk jurnalis dan karyawan Kompas Gramedia. Memasuki tahun 2009, produk yang didirikan oleh Pepih Nugraha ini berubah menjadi platform blog untuk semua orang. Nama Kompasiana sendiri diambil dari nama kolom yang diisi oleh Pendiri Harian Kompas, PK Ojong.
Dengan demikian, tanggal di mana saya mendaftar menjadi Kompasianer adalah 7 hari 10 tahun kemudian pada bulan yang sama dengan hari lahirnya Kompasiana. Saya ingat, kalau perasaan saya begitu berbunga-bunga setelah memposting artikel pertama itu. Saya ingin lagi, lagi dan lagi. Maka pada hari-hari awal itu, ada beberapa artikel yang saya kirim dihapus oleh tim moderasi Kompasiana, karena saya tidak mengetahui ada aturan tentang jeda waktu minimal satu jam sebagai jarak antar artikel yang dikirim. Saya begitu bernafsu. Hahaha.
Saya merasa seperti seorang pemuda yang diterima cintanya oleh seorang gadis jelita yang selama ini hanya ada di mimpi-mimpinya. Jatuh cinta pada pandangan pertama di sebuah kencan buta. Maka, pada setiap pertemuannya seakan dia tidak ingin ada waktu terbuang. Segala hal akan dicumbuinya dengan begitu bernafsu, dan dihapuslah artikel yang melanggar itu.
Memparafrase sebuah bagian lirik lagu patah hati berjudul "Waktu Yang Salah," yang dinyanyikan oleh Fiersa Besari featuring Thantri Sri Sundari pada album "Tempat Aku Pulang," saya merasakan kalau kita, aku dan Kompasiana, adalah "rasa yang tepat di waktu yang tepat." Sekalipun sebenarnya aku menemukannya di waktu rapat dinas, tapi rapat itu sendiri batal digelar karena peserta rapat tetap tidak korum.
Lalu mengapa saya mengutip syair lagu patah hati kalau saya begitu jatuh hati dengan Kompasiana? Sejak bergabung di sini, saya merasa seperti medapatkan tempat untuk mencurahkan semua hal yang saya pikirkan dan rasakan dengan sangat bergairah. Saya teringat pada ucapan seorang teman masa SMA yang mengatakan kalau hampir tidak ada bedanya rasa patah hati dan jatuh cinta. Saya tanyakan mengapa, katanya keduanya bisa menyebabkan rasa sesak di dada.
Maka, untuk sebuah rasa yang tepat di waktu yang tepat, saya berharap Kompasiana akan tetap memberi kisah kita sedikit waktu, karena aku yakin semesta mengirim Kompasiana untukku. Itulah yang bikin aku makin sayang sama Kompasiana. "Selamat ulang tahun sayangku, panjang umur dan sehat selalu. Rinduku sungguh tidak bisa diatur, karena kuyakin semesta mengirim dirimu untukku, jangan pernah engkau jauh dariku."Â
#11TahunKompasiana #BeyondBlogging
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H