Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"S.Pelawi" Bertahan di Antara Gempuran Media Digital

13 Oktober 2019   00:07 Diperbarui: 13 Oktober 2019   06:47 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lampu Teplok (sumber foto: pinterest.com - mbambangse)

Saat itu adalah masa-masa pada dekade 90-an. Itu adalah masa antara saya masih duduk di bangku sekolah dasar hingga SMP. Sesekali kami ikut ibu ke kota. Maklum, pada masa itu kami tinggal di kampung yang jaraknya sekitar 20 km dari kota. 

Perjalanan tidak mudah, bukan saja karena kondisi jalan belumlah beraspal hotmix seperti saat ini, tapi karena jalan aspal memang masih terputus-putus pada waktu itu. Sebagian diaspal sebagainnya lagi masih jalan tanah berbatu, memang ada juga bekasnya seperti pernah diaspal sebelumnya.

Namun, yang terutama adalah karena transportasi masih susah pada waktu itu. Angkutan mobil penumpang hanya ada satu. Itupun seringkali hanya beroperasi dua kali sehari. 

Sekali saat mengantar dan membawa pulang anak-anak SMP dan SMA pulang pergi. Di kampung kami hanya ada SD, begitu sampai hari ini. Operasi mopen kali kedua adalah saat mengantar dan membawa pulang warga kampung yang menjual hasil kebunnya ke pasar sayur-mayur di kota. 

Sesekali pernah juga kami menemani kakek dan nenek menjualkan cabe, tomat, markisah atau buncis hasil kebunnya ke pasar.

Pernah suatu ketika, kami, saya dan adik saya, menemani ibu membeli barang yang diidam-idamkannya, dari uang yang terkumpul hasil menabung sekian lama. Saya dan adik sayapun bahkan ikut menabung uang logam receh pecahan 25, 50 dan 100 Rupiah untuk dana tambahan membeli barang itu. Saat itu saya kelas tiga SD, sementara adik saya kelas satu.

Kami begitu bersemangat demi mendengar ibu berencana membelikan lampu petromaks untuk penerangan di rumah. Itu adalah jenis lampu dengan sumbu dari jaring-jaring sejenis benang halus.

Itu berfungsi sebagai sumbu pijar yang berpendar sebagai hasil pembakaran minyak Karosene yang menjadi gas dipicu oleh pembakaran Spiritus dengan tekanan injeksi hasil pemompaan udara pada tabung udara yang ada pada bagian bawahnya. 

Spiritus adalah alkohol yang terdenaturisasi, tersusun dari etanol, bisa juga metanol, yang merupakan jenis alkohol yang biasa dipakai sebagai bahan bakar. Wujudnya berupa cairan berwarna biru yang terasa dingin dan mudah sekali menguap.

Lampu Petromaks (sumber foto: https://www.pinterest.com - budilinuwih)
Lampu Petromaks (sumber foto: https://www.pinterest.com - budilinuwih)
Barangkali, karena itu jugalah lampu petromaks ini kami sebut juga sebagai lampu gas di kampung kami. Karosene adalah kata Bahasa Inggris untuk minyak tanah. Karena mekanisme injeksinya menggunakan tekanan dari udara yang dikompresi, maka lampu ini harus dipompa secara reguler. 

Bila cahayanya meredup, itu adalah pertanda udara ditabungnya harus dipompa lagi. Tak jarang kami berebutan hendak memompanya, yang tentu saja kalaupun diberi izin, maka sayalah yang memompanya. Karena ukuran lampu itu masih terlalu besar buat adik saya untuk dipompa.

Penjelasan saya ini bukan penjelasan ilmiah. Ini hanyalah deskripsi utuh atas memori yang tersisa di benak saya tentang lampu petromaks ini, karena benda itu memang benar-benar menjadi benda idaman kami satu keluarga pada masa itu. 

Saya ingat sekali, kami bersama ibu membeli lampu itu dengan uang logam recehan yang kami bawa ke kota dengan bungkusan plastik. Bungkusan itu lumayan besar dan agak berat.

Sebelum adanya petromaks ini, sumber penerangan di rumah hanya dari dua atau tiga lampu teplok. Lampu ini berbahan bakar minyak tanah, dengan sumbu yang terbuat dari kain yang menyerap minyak dan dibakar di ujungnya. 

Dibakar langsung seperti itu membuat cahayanya datang sekaligus bersama asap pekat yang menghasilkan jelaga. Maka, tak jarang saat bangun pagi, lubang hidung kami menjadi hitam karenanya. 

Itu karena kami belajar sambil tengkurap di tikar dengan lampu teplok di antara kepala kami yang terangguk-angguk di atas kertas.

Lampu Teplok (sumber foto: pinterest.com - mbambangse)
Lampu Teplok (sumber foto: pinterest.com - mbambangse)
Pada masa itu, sumber listrik di kampung memang sudah ada. Itu berasal dari sebuah mesin diesel yang hanya akan dihidupkan mulai pukul 6 sore dan akan dimatikan pukul 10 malam. Listrik itu berbayar, karenanya tidak semua penduduk kampung mampu memasang jaringan listrik ke rumahnya, kamipun tidak.

Benda lain yang juga menjadi barang mewah pada waktu itu adalah sebuah radio transistor kecil. Saya tidak ingat, berapa lama setelah lampu petromaks ada di rumah, baru kami membeli radio transistor itu. 

Pada masa itu belum ada gelombang FM di panel frekwensinya. Tapi, suara radio yang berkerisik itupun sungguh sangat menghibur di kala malam menjelang tidur.

radio transistor (sumber foto: pinterest.com - Kylea Borges)
radio transistor (sumber foto: pinterest.com - Kylea Borges)
Biasanya, ibu akan memutar frekwensi menuju gelombang di stasiun radio yang menyiarkan lagu-lagu keroncong atau tembang kenangan. Hiburan singkat ini hanya akan berlangsung hingga pukul 9 malam. Setelahnya kami harus segera tidur. 

Padahal belajar atau mengerjakan PR pun baru selesai 30 menit yang lalu. "Psssss..... ," begitulah lampu petromaks itu berbunyi apabila dipadamkan, dengan membuka perlahan penutup tabung udaranya.

Kenangan ini adalah pengantar yang panjang dari artikel yang sebenarnya saya tujukan untuk mengenangkan bagaimana sebuah toko buku pada masanya dulu adalah sebuah tujuan penting kami yang lain, mana kala kami menemani ibu kami ke kota, entah sekadar berbelanja ke pasar atau karena ada barang berharga yang penting sekali untuk kami beli, seperti lampu petromaks atau radio transistor kecil, misalnya.

Itu adalah "Toko Buku" S. Pelawi. Saya dan adik saya, senang sekali bila dibelikan Majalah Bobo oleh ibu kami di toko ini. Majalah ini bukannya setiap minggu bisa kami dapatkan. Biasa alasannya karena majalahnya belum datang dari Medan, karena ada hambatan di jalan.

Sering sekali kami justru mendapatkan Majalah Bobo bekas dari sanak keluarga kami yang tinggal di kota Medan, yang lebih jauh lagi dari kampung kami. Untuk ke sana kami harus menempuh dua jam perjalanan lagi. Itu kami lakukan hanya sesekali, saat silaturahmi tahun baru atau ada acara keluarga yang penting untuk dihadiri keluarga kami di rumah sanak saudara kami itu.

Sejalan waktu dan bertambahnya usia kami, bapak pun melanggani majalah Bobo untuk kami, yang datang seminggu sekali ke rumah kami. Datangnya sekalian dengan langganan koran bapak yang setiap hari sampai di depan pintunya. 

Entah bagaimana bapak mencukupkan gajinya untuk membayar bulanan koran dan Majalah Bobo kami. Padahal untuk bisa membeli lampu petromaks dan radio transistor itu, lama sekali kami harus menabung uang logam recehan karenanya.

Sesekali pernah juga saya bersama kakek atau bibi, membeli buku komik Si Petruk karangan Tatang S di sini. Atau hanya sekadar buku kumpulan teka teki silang, yang tanpa kusadari sebenarnya menjadi sumber kosa kata yang menjadi basis bahasa yang utama bagi saya yang tinggal di kampung pada waktu itu.

Hari ini, ketika saya mengantarkan istri berbelanja ke pasar, saya kebetulan memarkir kendaraan di depan Toko Buku S. Pelawi ini. Kebetulan toko buku yang kini sudah lebih cocok disebut kios agen koran ini, berada dekat dengan toko tempat kami bersama ibu dulu membeli lampu petromaks. Maka, dari sanalah kenangan masa lalu ini muncul kembali. 

Saya duduk di kursi plastik yang ada di depan dipan kecil tempat koran-koran digelar. Saya membeli koran Kompas edisi Sabtu, 12/10/2019. Saya mengobrol dengan penjaga kios ini. Saya memberitahu, kalau dulu saat kecil suka membeli majalah Bobo di sana. Ia tersenyum.

Saya bertanya apa kepanjangan huruf "S" pada merek "S. Pelawi" itu, katanya tidak etis untuk dia katakan. "S" itu adalah inisial dari almarhum ayahnya, dan Pelawi itu adalah marga dari ayahnya. 

"Saudara kandung almarhum ayahpun, semua dinamai dengan nama berawalan "S." Jadi, itu sudah menjadi semacam trade mark keluarga", katanya.

S. Pelawi ini, sudah menjadi agen koran di kota ini sejak tahun 1970. Sebelum menempati salah satu kios di sudut di pusat pasar Kabanjahe ini, awalnya selama 5 tahun, sejak tahun 1965 hingga awal 1970-an, mereka berjualan di kaki lima pojokan pusat pasar ini. Tidak jauh dari tempatnya berjualan sekarang, juga dari tempat kami membeli lampu petromaks dulu.

Penjual koran teman saya berbincang adalah anak dari S.Pelawi itu. Katanya oplah penjualan koran di "Toko Buku" nya ini sudah turun sekitar 40% dalam beberapa tahun belakangan ini. Itu pun, 70% dari oplah saat ini umumnya permintaan dari desa-desa di kecamatan-kecamatan yang jauh dari kota. 

Hanya 30% oplah korannya ada di kota. Katanya, khususnya kalangan mengangah ke atas di kota ini sudah malas membaca koran sejak internet memungkinkan orang-orang membaca berbagai media online.

Maka, ketika saya bertanya tentang buku, kata abang ini, paling-paling yang ada hanya tinggal buku pendukung untuk pelajaran anak sekolah. Tidak banyak lagi novel atau majalah apapun di sini. Ada satu novel dia tunjukkan, hanya satu, Laskar Pelangi, dan beberapa eksemplar majalah tergantung di kosen pintu kiosnya. 

Barangkali, S.Pelawi adalah salah satu ujung tombak penjaga tradisi mengopi sambil membaca koran yang masih bertahan di antara gempuran media digital yang menghantarkan media-media cetak menuju senja kalanya. 

Kalau toko buku memang ada beberapa. Tapi kalau agen koran, setahu saya hanya dia yang ada di kampung ini. Entah sampai kapan ia akan bertahan.

Halaman depan Medan Prijaji, 2 April 1910 (sumber foto: majalahversi.com)
Halaman depan Medan Prijaji, 2 April 1910 (sumber foto: majalahversi.com)
Hari ini, melihat sekilas kios koran ini, seolah mengulang roman sejarah yang ada kaitannya dengan koran. Apa lagi kalau bukan soal Surat Kabar "Medan Prijaji" yang merupakan surat kabar nasional pertama yang menggunakan Bahasa Melayu. Terbit pertama kali di Bandung pada Januari 1907, didirikan oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo alias Minke. 

Cerita lengkap tentang Medan Prijaji ini, dalam versi novel roman sejarah dituliskan dengan sangat menarik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah.

Bedanya, kalau Medan Prijaji tertatih dalam pendiriannya karena lahir di tengah cengkraman kolonial Belanda dan keterbatasan rakyat pribumi yang miskin dan tidak terdidik, maka koran-koran yang dijual S.Pelawi kini tertatih karena gempuran media digital. 

Bila ada yang bertanya apa pentingnya koran sementara saat ini sudah ada media digital, barangkali sama halnya dengan pertanyaan apa pentingnya lampu petromaks sementara saat ini sudah banyak lampu LED yang bahkan sudah bisa bertahan berjam-jam dengan listrik bersumber dari baterai ion Lithium. 

Itu hanya soal rasa, dan rasa setiap orang tentu berbeda-beda. Kalau tidak, maka tidak akan ada memori yang melekat sebegitu kuatnya atas sesuatu hal bagi seseorang, sementara bagi sebagian orang lain terpikirpun tidak tentang hal itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun